jpnn.com, JAKARTA - Dalam analisis yang disampaikan pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, Bripka MN yang menembak mati Briptu Khairul Tamimi di Lombok Timur, NTB, awalnya merupakan korban.
Hal itu disampaikan Reza mengacu pada motif Bripka MN menembak Briptu Khairul, yaitu rekan seprofesinya itu berselingkuh dengan istrinya.
BACA JUGA: Analisis Reza Indragiri: Bripka MN Menembak Mati Briptu Khairul pada Episode Ketiga
Diketahui, sangkaan untuk anggota Bhabinkamtibmas Polsek Wanasaba tersebut, yaitu Pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana hukuman mati.
Namun, Reza menyebut psikologi mengharuskan adanya cermatan terhadap proses mental Bripka MN. "Maka, kondisi mental MN juga harus dibaca agar pertanyaan 'mengapa' bisa terjawab," kata Reza kepada JPNN.com, Kamis (28/10).
BACA JUGA: Ini yang Terjadi 2 Hari Sebelum Briptu Khairul Tamimi Ditembak Bripka MN
Lulusan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta itu lantas menyodorkan empat episode depresi berdasarkan asumsi, MN menembak Briptu Khairul dengan amarah hebat.
Namun, Reza menyebut Kübler-Ross Model mengingatkan bahwa amarah hanya satu dari sebuah rangkaian episode perasaan manusia.
BACA JUGA: Ini Pengakuan Bripka MN Pembunuh Briptu Khairul soal Motif, Ternyata
"Alhasil, perlu dipahami episode-episode sebelum dan setelah amarahnya MN," ucapnya.
Berikut 4 episode depresi sebagaimana analisis Reza Indragiri:
Episode 1: Kesedihan mendalam.
Kesedihan mendalam sekaligus keterkejutan luar biasa yang dirasakan MN setelah tahu adanya hubungan terlarang antara istrinya dengan Briptu Khairul.
Episode 2: Pengingkaran.
Pada bagian ini, Bripka MN mencoba mengatasi kedukaannya dengan setumpuk pertanyaan atau pemikiran yang menolak kenyataan.
BACA JUGA: Reza Indragiri Mengamati Video Kapolres Nunukan Hajar Brigadir Sony, Ada yang Aneh
Episode 3: Amarah.
Jika pengingkaran tidak berhasil meredakan kesedihannya, masuklah MN ke episode ketiga, amarah hebat.
Boleh jadi, kata Reza Indragiri, penembakan terhadap TK dilakukan MN ketika ia berada pada episode ketiga tersebut.
Episode 4: Depresi.
Kondisi ini bisa terjadi bila MN gagal menenangkan batin. "Satu ujung depresi adalah, maaf, bunuh diri," kata peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia itu.
"Jika demikian gambaran kondisi batin MN, maka betapa pun ia hari ini duduk di kursi pelaku, tetapi peristiwa nahas ini bermula dari posisi MN sebagai korban," lanjut Reza.
Lantas, bagaimana hukuman dikenakan terhadap orang yang membunuh pasangan maupun teman selingkuh pasangan?
Reza menyampaikan keunikan hukum di beberapa negara. Di Filipina, di dalam KUHP-nya, sampai memuat pasal tersendiri tentang pembunuhan terkait perselingkuhan.
Di Filipina, korban perselingkuhan yang kemudian menghabisi pasangan maupun teman selingkuhannya cuma dihukum pembatasan jarak. Misalnya, kata dia, pelaku tidak boleh mendekati pasangan maupun teman selingkuhannya itu dalam radius sekian mil.
"Bukan hukuman mati, bahkan penjara sekali pun," ucap kata pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu.
Sementara di New South Wales, dalam kasus serupa, katanya, menurunkan dakwaan dari pembunuhan (first atau second degree murder) ke penganiayaan yang mengakibatkan orang tewas (third degree murder, manslaughter).
"Di Inggris juga ada infidelity plus sebagai bentuk pertimbangan khusus," kata konsultan pada Yayasan Lentera Anak itu.
Reza mengatakan ketiga contoh hukuman pada tiga negara itu satu tarikan napas dengan Pasal 49 KUHP. Bahwa, ada 'pemakluman' terhadap perbuatan pelaku mengingat awalnya adalah dia sebagai korban -perselingkuhan yang efeknya dahsyat-.
Untuk memperkuat argumentasi seberapa dahsyat efek perselingkungan itu, Reza menyodorkan data riset lima tahun di Amerika Serikat yang menemukan bahwa 50-65 persen bunuh diri di kalangan personel militer berawal dari perselingkuhan pasangan.
"Sesuai alur Kübler-Ross Model (episode depresi, red). MN memang tidak sampai bunuh diri. Tetapi, bukan berarti efek perselingkuhan terhadap dia bisa disepelekan," ujar Reza.
Oleh karena itu, kata Reza, gambaran kondisi guncangan jiwa Bripka MN perlu ditelaah lebih dalam. "Polisi yang menanganinya secara tuntas," ucapnya.
Dengan berasumsi pada empat episode depresi yang disampaikan, Reza mengamini ketika ditanya apakah Bripka MN bisa lepas dari ancaman hukuman mati sebagaimana ketentuan Pasal 340 KUHP.
"Ya. Asalkan, Pasal 49 (KUHP, red) terbukti," tandas Reza Indragiri Amriel. (fat/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam