jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan analisis soal kasus Brigadir RA tewas bunuh diri yang telah dianggap selesai oleh polisi dengan menutup kasus itu.
Sebelumnya, RA yang merupakan anggota Satlantas Polresta Manado, Sulawesi Utara yang tewas diduga bunuh diri di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada 25 April 2024.
BACA JUGA: Brigadir RA Tewas Bunuh Diri, Kapolri Singgung soal Motif
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel. Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com
Adapun keberadaan RA di Jakarta dalam rangka menjadi ajudan atau driver seorang pengusaha.
BACA JUGA: Kematian Brigadir RA saat Jadi Ajudan Pengusaha Harus Jadi Atensi Kapolri
"Bunuh diri. Case closed," ujar Reza Indragiri melalui keterangan tertulis yang diterima JPNN.com, Kamis (2/5).
Menurut Reza, polisi tampaknya menyimpulkan bunuh diri pada fakta (rekaman CCTV, misalnya) bahwa pihak yang menarik pelatuk senpi adalah Brigadir RA sendiri.
BACA JUGA: Brigadir RA Tewas, Sang Komandan Disentil Kompolnas
Namun Reza memunculkan pertanyaan, apakah karena pelatuk ditarik RA sendiri, maka serta-merta dan mutlak itu adalah bunuh diri?
"Tentu tidak," ucap penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Dalam analisis Reza, bayangkan RAT memang memegang senpi di dekat kepala tanpa niat dia tembakkan. Tiba-tiba petir menggeledek, RA kaget, pelatuk ditarik. Mati.
"Itu kecelakaan, bukan bunuh diri," ujar pakar yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu.
Asumsi lainnya,Brigadir RA memang menarik pelatuk, tetapi itu dia lakukan karena intimidasi.
"Maka bunuh diri bukanlah kasus tunggal. Ada pihak lain yang harus diuber polisi. Cek pasal 345 KUHP," kata Reza.
Oleh karena itu, Reza mengatakan sebab-musabab jari RA menarik pelatuk perlu dicari tahu polisi.
Reza menuturkan bahwa dari sudut psikologi forensik, kematiannya baru bisa disimpulkan sebagai bunuh diri hanya jika terpenuhi tiga syarat.
Pertama, perbuatannya sepenuhnya sukarela (voluntary).
Kedua, niatnya menarik pelatuk semata-mata untuk bunuh diri. Bukan melukai atau pun membuat cacat, misalnya.
Ketiga, pemahaman yang bersangkutan bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan kematian.
"Syarat ketiga terpenuhi. Syarat kedua, boleh ya boleh tidak. Syarat kesatu, entahlah. Untuk menjawabnya secara lengkap, butuh autopsi psikologi forensik. Masalahnya, kali ini psifor justru tak Polres Jaksel libatkan," kata Reza Indragiri.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam