Analisis Tajam Bang Reza soal Aksi MRI Membunuh Remaja dan Seorang Janda Muda

Minggu, 14 Maret 2021 – 02:50 WIB
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel saat menjadi narasumber Podcast JPNN.com. Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti kasus pembunuhan yang dilakukan tersangka MRI (21) terhadap Diska Putri (17), dan seorang janda muda berinisial EL (23), di Bogor, Jawa Barat.

Bang Reza lebih menyoroti tentang fakta bahwa hasil tes urine MRI dinyatakan positif narkoba.

BACA JUGA: Fakta Baru soal MRI, Pembunuh 2 Wanita Muda di Bogor, Ternyata...

"Pelaku pakai methamphetamine, ya. 'Wajar'-lah kalau perilakunya menjadi sangat agresif. Lima puluh kali lebih dahsyat daripada kokain," ucap Bang Reza kepada JPNN.com, Sabtu (13/3).

Reza mengatakan di samping memunculkan perasaan gembira (euforia) meluap-luap, meth juga merusak kimia dan fungsi otak. Bahkan bisa sampai memunculkan sifat paranoid yang ekstrem, serta perilaku mirip skizofrenia.

BACA JUGA: Polisi Lebih Berisiko Pakai Narkoba Dibanding Warga Sipil? Ini Penjelasan Reza Indragiri

Selain itu, katanya, meth merupakan satu-satunya obat yang memiliki hubungan sangat kuat dengan aksi pembunuhan.

"Pecandu meth punya risiko membunuh sembilan kali lebih tinggi daripada bukan pemakai," sebut peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia itu.

BACA JUGA: Moeldoko Seperti Itu, Jangan-jangan Indonesia Kembali Mengarah ke Orde Baru

Hal itu menurutnya menjadi problematik lantaran membunuh dan mengonsumsi narkoba sama-sama tindakan yang tidak baik. Jika digabung, pembunuh sekaligus pecandu memunculkan sosok penjahat jelek sempurna.

"Namun karena meth merusak otak, maka boleh jadi pembunuh tidak punya intensi dan kesadaran untuk membunuh," sambung pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM.

Dengan gambaran sedemikian rupa, Reza lantas mempertanyakan apakah kondisi di bawah meth akan memberatkan atau justru tidak berdampak apa pun terhadap ancaman pidana bagi MRI.

"Dengan kata lain, membunuh saat berada di bawah efek meth tetap salah. Harus dihukum. Namun tidak-serta pembunuh dengan kondisi seperti itu dapat dikenai pemberatan pidana," ucap Reza.

Terlebih lagi bila pelaku diketahui sudah tidak lagi mengonsumsi narkoba. Tetapi, katanya, pelaku bisa saja tetap melakukan kekerasan sebagai dampak kerusakan otaknya akibat meth.

"Pada titik itu, pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang otaknya rusak akibat meth tampaknya tak bisa disikapi laiknya pembunuhan yang dilakukan oleh orang tanpa kerusakan otak," tambah Reza.

Ketika ditanya apakah tindakan MRI membunuh dua wanita dalam dua pekan bisa dikategorikan sebagai pembunuhan berantai sebagaimana disampaikan polisi, Reza menjawab dengan teori.

Sebetulnya, kata Reza, penentuan serial killing, spree killing, dan mass killing memakai tiga unsur; jumlah korban, jumlah TKP, dan ada tidaknya jeda waktu antaraksi.

"Tanyalah polisi, sebutan 'pembunuhan berantai' oleh mereka itu apa ukurannya," pungkas pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau itu.

Sebelumnya Kapolresta Bogor Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro mengatakan tersangka MRI yang merupakan warga Bojonggede, Kabupaten Bogor itu mengonsumsi narkoba jenis sabu-sabu dan ineks.

"Hasil tes urine ternyata yang bersangkutan juga positif narkotika," kata Kombes Susatyo saat konferensi pers di kantornya, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/3).(fat/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler