Anas Tidak Terbukti Beri Uang untuk Pengurusan Izin Tambang

Kamis, 25 September 2014 – 04:02 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan Anas Urbaningrum yang menjadi terdakwa perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan kumulatif ketiga yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Dakwaan kumulatif itu terkait dengan pengeluaran uang Rp 3 miliar untuk pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kota Jaya di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Anggota majelis hakim, Prim Haryadi saat membacakan pertimbangan putusan atas Anas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/9) mengatakan, pada awal tahun 2010 ada pertemuan di Hotel Sultan. Pertemuan itu dihadiri Anas, Bupati Kutai Timur Isran Noor, Khalilur R. Abdullah Sahlawy alias Lilur, Muhammad Nazaruddin dan Gunawan Wahyu Budiarto. Mereka membicarakan IUP bagi PT Arina.

BACA JUGA: Peluang Pilkada Langsung dan DPRD Masih Sama Kuat

Dalam pertemuan itu dibicarakan bahwa PT Arina Kota Jaya akan mengantongi IUP seluas kurang lebih 5 ribu-10 ribu hektar yang berada di dua kecamatan di Kutai Timur, yaitu kecamatan Bengalon dan Kongbeng Kabupaten. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, pertemuan di Hotel Sultan telah disangkal oleh Anas, Isran, dan Lilur.

Namun, hanya  Nazar yang membenarkan ada pertemuan itu. Namun, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu tidak ingat kapan waktu pertemuan tersebut. "Sehingga di sini berlakulah asas unus testis nullus testis atau satu saksi bukan saksi," ujar Prim.

BACA JUGA: Peta Kekuatan Kabur Lagi

Dalam dakwaan, sambung majelis, Nazar memerintahkan Yulianis yang saat itu masih menjadi Wakil Direktur Keuangan Permai Grup untuk mengeluarkan dana Rp 3 miliar dengan menerbitkan tiga lembar cek untuk pengurusan IUP melalui Lilur. Hal ini dibenarkan oleh Lilur yang mengaku beberapa kali melakukan pertemuan dengan Nazar terkait tambang batubara.

"Sehubungan dengan keinginan Muhammad Nazaruddin untuk memiliki tambang batubara dalam jumlah besar di Kutai Timur," ujar majelis.

BACA JUGA: Majelis Hakim Tegaskan Anas Terbukti Terima Harrier

Untuk mewujudkan hal itu, Nazar meminta dicarikan 10 perusahaan yang akan digunakan untuk mengajukan permohonan IUP di Kutai Timur. "Ada sepuluh perusahan yang diajukan permohonan IUP kepada Pemda Kutai Timur. Namun dari semua perusahan tersebut hanya satu yang memenuhi syarat, yaitu PT Arina Kota Jaya yang mana pengurus dan pemegang sahamnya adalah saksi Sarifah yang juga karyawan Muhammad Nazaruddin," papar Prim.

Dia menyatakan, Lilur dalam rangka mengurus IUP itu menerima tiga lembar cek Bank Mandiri dari Nazar. Jumlahnya masing-masing Rp 2 miliar, Rp 500 juta dan Rp 500 juta.

"Namun dari ketiga lembar cek itu hanya satu lembar yang bisa dicairkan Lilur. Sedangkan dua lembar cek lagi tidak bisa dicairkan," beber majelis.

Hal itu, juga bersesuaian dengan keterangan Yulianis yang mengaku disuruh Nazar untuk membuat laporan kehilangan. Sehingga, cek-cek tersebut tidak bisa dicairkan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, majelis menilai Anas tidak memberikan bayaran sebesar Rp 3 miliar yang berasal dari Permai Grup kepada Lilur untuk pengurusan IUP PT Arina Kota Jaya. Dengan begitu, Anas tidak terbukti secara sengaja membayarkan atau membelanjakan harta yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.

"Menimbang bahwa karena salah satu unsur dalam dakwaan ini tidak terbukti menurut hukum maka unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi dan terdawa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan kumulatif ketiga. Oleh karenanya terdakwa dibebaskan dari dakwaan kumulatif tiga tersebut," tandasnya.

Dalam putusan, majelis hakim juga menyatakan Anas tidak terbukti melakukan pencucian uang sebagaimana dakwaan ketiga dan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan satu primair. Namun, Anas dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang kali sebagaimana dakwaan satu subsidair dan kedua.

Atas perbuatannya, Anas divonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan pencucian uang dilakukan secara berulang kali.

Selain itu Anas juga dihukum membayar denda sebesar Rp 300 juta subsidair  tiga bulan kurungan.

Anas juga dihukum membayar uang pengganti kerugian negara yang jumlahnya yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebesar‎ Rp 57.590.330.580 dan USD 5.261.070‎.

Apabila tidak bayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta benda disita jaksa penuntut umum dan dilelang untuk menutupi kekurangan. Kalau harta benda tidak mencukupi diganti pidana penjara dua tahun.(gil/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bos MURI Kagumi Peran TNI di Bidang Lingkungan dan Kemanusiaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler