Gunung Agung Erupsi

Andalkan Kode Alam Gunung Agung, Warga Kabur saat Mendung

Jumat, 01 Desember 2017 – 12:55 WIB
Nengah Tantri, istri dari Wayan Kantor saat memberikan makan sapi-sapinya di Dusun Juntal kaja, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Karangasem, Kamis (30/11). Foto: I Putu Mardika/Bali Express

jpnn.com, BALI - Warga di kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Agung seperti di Dusun Juntal Kaja, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem punya cara menyiasati status Awas Gunung Agung.

Di Juntal Kaja, suasana memang sudah sepi. Kawasan ini masuk zona merah atau berada di KRB III. Rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir jalan sudah banyak ditinggal mengungsi oleh penghuninya.

BACA JUGA: Lahar Gunung Agung Putus Akses 2 Desa di Karangasem

Namun di antara jejeran rumah yang sepi akibat ditinggal mengungsi, rupanya masih ada beberapa rumah yang masih dihuni pada siang hari. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa meskipun tetangga lainnya sudah pergi mengungsi.

Salah satunya adalah rumah milik Wayan Kantor. Pria berusia 73 tahun ini begitu sibuk memotong dedaunan untuk diberikan ternaknya seperti babi dan sapi di rumahnya. Dia memiliki puluhan ekor babi dan sedikitnya delapan ekor sapi.

BACA JUGA: PVMBG Fokus Pantau Gunung Agung, Cuek Disebut Hoaks

Saat Bali Express (Jawa Pos Group) menanyakan mengapa belum mengungsi, kakek yang memiliki lima cucu, ini mengaku memang tengah mengungsi di wilayah Desa Tianyar Timur. Hanya saja Wayan Kantor bersama istrinya Nengah Tantri rutin pulang ke rumah setiap siang hari. Di sana Wayan Kantor bisa memberi pakan ternak serta memanen biji mete di kebunnya.

“Tiang tetep ngungsi. Peteng maten tiang ke pengungsian di Desa Tianyar Timur. Yen lemah tiang mulih. Sambilang maang ngamah ubuhan. Sanje tiang malih ngungsi. (Saya tetap mengungsi. Malam saja pergi ke pengungsian di Desa Tianyar Timur. Kalau siang saya pulang ke rumah. Sambil memberi makan ternak. Sore kembali mengungsi)," ujarnya.

BACA JUGA: Gunung Agung Aneh, Misterius

Sembari memotong dedaunan, Wayan Kantor berbagi kisah tentang meletusnya Gunung Agung tahun 1963. Saat itu Wayan Kantor baru berusia sepuluh tahun. Dia pun sudah bisa mengembalakan sapi. Namun sayang, dua ekor sapi kesayangannya mati diterjang awan panas ketika terjadi letusan.

“Dugas letusan tahun 1963, tiang sube maumur 10 tiban. Be bisa ngubuh sampi. Pas letusan, sampin tiange mati dadua, kalain tiang mengungsi. Kene awan panas. Dugas to tiang ngungsi ke Tajun. (Saat letusan tahun 1963, saya baru berusia 10 tahun. Suah bisa mengembala sapi. Saat terjadi letusan, sapi saya mati dua ekor, karena ditinggal mengungsi. Terkena awan panas. Saat itu saya mengungsi ke Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng),” katanya.

Meski pernah mengalami pengalaman pahit sapinya jadi korban, namun Wayan Kantor tak kapok memelihara ternak saat erupsi. Dia enggan menjual sapi-sapinya lantaran harganya terlalu murah. Wayan Kantor mengaku pasrah dan tak akan membawa sapi-sapinya ke pengungsian.

“Koh tiang ngabe. Repot. Baang be dini. Saget mati kene lahar, kudiang men. Pasrah manten. (Malas saya bawa ke pengungsian. Biarkan di sini. Kalaupun mati terkena lahar, mau gimana lagi. Pasrah saja),” imbuhnya.

Dia juga tak menampik sering dibuat cemas dengan aktivitas Gunung Agung yang sangat misterius. Wayan Kantor hanya mengandalkan kode alam. Menurutnya, jika langit mendung, itu sebagai pertanda bahwa dia harus segera meninggalkan rumahnya menuju tempat aman.

“Asal gulem, tiang jeg melaib ke pengungsian, ajak kurenan tiange. Pidan dugas tahun 1963 masi keto. Gumine peteng lakar gununge meletus. To mekada tiang waswas. Enggalan mengungsi tiang ajaka jak bapane ke Tajun (Setiap mendung, saya pasti lari ke pengungsian sama istri. Dulu tahun 1963 juga begitu. Suasana gelap gulita saat gunung akan meletus. Keburu diajak ke Tajun mengungsi sama orang tua),” tuturnya.

Hal serupa juga diuraikan Komang Lara (58), yang bertetangga dengan Wayan Kantor. Dia mengaku tetap beraktivitas normal saat siang hari. sedangkan malam harinya dirinya bersama istri dan anak menghabiskan malam di tenda pengungsian, di wilayah Kubu.

“Kami tetap beraktivitas di siang hari. Kadang memberi makan babi. Biar tidak mati babinya. Kalau sapi tidak punya. Kalau sudah kabut saya mengungsi. Biar cari aman,” singkatnya. (bx/dik/yes/jpr)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dramatis, Evakuasi Paksa 2 Lansia di Lereng Gunung Agung


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler