jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menganggap syarat usia minimal capres/cawapres dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bukanlah bentuk diskriminasi yang menyalahi UUD 1945.
Guru besar ilmu hukum tata negara itu menganggap ketentuan tersebut ibarat syarat dalam pekerjaan saja.
BACA JUGA: Andai Usia Minimal Cawapres Dikorting MK, Semestinya untuk Pilpres 2029
“Itu persyaratan pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan persyaratannya berbeda-beda, termasuk persoalan usia,” kata Jimly yang dihubungi pada Minggu (15/10).
Tokoh yang akrab disapa dengan panggilan Prof Jimly itu mencontohkan perbedaan usia pensiun dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU TNI. UU ASN memungkinkan PNS yang menjadi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya pensiun pada usia 60 tahun.
BACA JUGA: Soal Pelesetan MK jadi Mahkamah Keluarga, Begini Respons Keras Elite Partai Garuda
Adapun UU TNI memuat ketentuan tentang prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai paling tinggi 58 tahun. Itu pun batas usia maksimal bagi tentara golongan perwira, sedangkan untuk tamtama dan bintara hanya sampai umur 53 tahun.
“Apakah itu bisa dinilai sebagai diskriminasi? Tentu tidak. Itu adalah syarat pekerjaan yang berbeda-beda asal diatur dengan UU,” tutur Jimly.
BACA JUGA: MK Bakal Putuskan Usia Minimal Cawapres, Hamdan Zoelva: Tidak Ada Standar Konstitusinya
Pendiri Jimly School of Law And Government itu menjelaskan DPR dan MK sama-sama sebagai pembentuk UU.
Jimly merujuk pendapat ahli hukum dari Austria Hans Kelsen tentang parlemen sebagai positive legislator, sedangkan MK sebagai negative legislator.
Hans Kelsen merupakan mantan anggota MK Austria yang juga guru besar ilmu humum di University of Vienna. Merujuk teori dari Hans Kelsen tersebut, Jimly mengatakan DPR merupakan positive legislator yang mengadakan pasal.
Adapun MK sebagai negative legislator yang meniadakan pasal. “Dicoret dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan konstitusi dan memunculkan norma baru,” kata Jimly.
Meski demikian, Jimly mengatakan apa pun putusan MK yang dibacakan besok tetap harus dihormati. Menurut dia, publik juga bisa menilai alasan MK, apalagi jika ada hakim konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
“Kita hormati walaupun kita tidak suka, terlebih kalau putusannya tidak aklamasi. Misalnya ada disentting opinion, malah itu menunjukkan adanya perdebatan internal (di MK),” kata Jimly.
Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mensyaratkan capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun sedang dalam tahap uji materi di MK. Salah satu pemohon uji materi itu ialah politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi.
MK akan memutus permohonan uji materi tentang batas minimal usia cawapres itu pada Senin besok (16/10). Seiring kian dekatnya pembacaan putusan itu, nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mencuat menjadi salah satu bakal cawapres.
Putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu disebut-sebut akan menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Namun, Gibran yang lahir pada 1 Oktober 1987 baru berusia 36 tahun. (jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Analisis Pakar soal Putusan MK terkait Usia Capres-Cawapres, Ini Paling Mungkin
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan