jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Abdul Kadir Karding ikut menyoroti tajam rencana revisi Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012.
Dia menolak tegas rencana perubahan peraturan itu. Alasannya, revisi tersebut dipastikan akan menekan dan merugikan masyarakat.
BACA JUGA: PP 109/2012 Dinilai Masih Mumpuni & Tepat Mengatur Ekosistem IHT, tak Perlu Direvisi
Karding mengatakan rencana revisi PP 109/2012 itu bukan didasari pada alasan kesehatan, sebagaimana kerap disampaikan pemerintah, terutama dalam hal ini Kementerian Kesehatan, maupun pihak-pihak yang mendukung.
Menurut dia, dorongan revisi ini ada lebih dikarenakan adanya intervensi internasional, yang kemudian menimbulkan tekanan-tekanan tertentu pada industri tembakau di Indonesia.
BACA JUGA: Soal Revisi PP 109, Pakar Sebut Rokok Elektrik Butuh Regulasi Tersendiri
“Itu kami duga sangat kuat bahwa alasan kesehatan itu hanyalah proxy saja, tetapi yang lebih menonjol dari regulasi-regulasi yang muncul di negara ini, termasuk revisi PP 109 ini maupun ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) itu adalah tekanan internasional,” beber Karding.
Wacana revisi PP 109/ 2012 kembali menjadi perhatian setelah dikeluarkannya Keppres 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
BACA JUGA: Revisi PP 109/2012 Dinilai Hanya Akan Mematikan Industri Rokok legal
Jika revisi ini diterapkan, maka berbagai aturan yang diberlakukan kepada industri rokok, yang sebelumnya sudah sangat ketat akan lebih diperketat lagi.
Beberapa perubahan akan meliputi di antaranya pembesaran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok, ditargetkan menjadi 90 persen luas kemasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di berbagai jenis media, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Karding menilai bahwa PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sudah sangat menekan dan represif bagi industri rokok selama ini dari hulu ke hilir.
Selama ini, perokok sering dianggap sebagai masyarakat marginal, karena larangan merokok di beberapa tempat diberlakukan secara eksesif.
Oleh karena itu, jika mau direvisi dengan yang lebih ketat, akan timbul dampak yang sangat besar, tidak hanya terkait pendapatan negara, namun juga kepada aspek ekonomi dan sosial.
“Pemerintah sebaiknya tidak gegabah dan jangan mudah tunduk pada dorongan asing, karena hal ini akan mengganggu ekosistem pertembakauan Indonesia. Banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada rokok, mulai dari buruh linting, pedagang, pemilik industri, dan lainnya, yang akan terancam kelangsungan hidupnya dengan adanya revisi ini,” imbuh Ketua Umum IKA Universitas Diponegoro (Undip) tersebut.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (Gapero Surabaya) Sulami Bahar juga tidak habis pikir dengan dasar dan tujuan pemerintah melakukan revisi PP 109/2012 adalah karena ingin menurunkan prevalensi perokok anak yang dianggap masih tinggi.
Menurut Sulami, pemerintah selama ini rancu. Data yang selalu dimunculkan terkait prevalensi perokok anak adalah data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) 2018 yang menyebut di angka 9,1 persen.
Padahal, lanjut Sulami, ada data yang lebih update dari BPS (Badan Pusat Statistik) yang menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu 3,87 persen pada 2019, menjadi 3,44 persen pada 2022.
”BPS ini kan instrumen yang dimiliki pemerintah juga, tapi kenapa tidak pernah dipakai? Kemudian, kalau datanya justru ada penurunan signifikan, terus apa urgensi revisi (PP 109/2012)?” kata Sulami.
Selain itu, dia juga menegaskan, bahwa proses pembentukan peraturan pemerintah pada revisi PP 109/2012 perlu dipertanyakan.
Pihaknya sebagai salah satu pemangku kepentingan utama merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan, dan keputusan perlu adanya revisi diambil secara sepihak.
Sulami merasa bagai dianaktirikan oleh pemerintah, karena walau industri rokok yang diwakilinya memiliki kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, namun juga dipojokan dengan berbagai aturan-aturan yang eksesif.
“Sama seperti banyak industri lain di tanah air, industri rokok merupakan industri yang legal dengan kontribusi yang juga signifikan, tetapi kenapa seperti tidak ada keberpihakan dari pemerintah, justru yang ada tekanan bertubi-tubi,” imbuhnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari