Anggota IDAI: Sudah Saatnya Indonesia Punya Regulasi BPA

Kamis, 14 Oktober 2021 – 17:49 WIB
Dokter spesialis anak Irfan Dzakir Nugroho memaparkan bahaya toksisitas BPA. Foto tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Dokter spesialis anak Irfan Dzakir Nugroho menilai sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi terkait Bisphenol A (BPA).

Dia menyebutkan beberapa negara di Eropa sudah menerapkan regulasi BPA. Di antaranya, Uni Eropa dan Kanada melarang BPA dalam produk bayi, di Perancis melarang penggunaan BPA secara total, demikian pula European Food Safety Authority (EFSA). 

BACA JUGA: Komnas PA dan PAUD Institute Ingatkan Masyarakat Soal Bahaya BPA

"Toksisitas BPA telah menjadi perhatian, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika karena menimbulkan berbagai penyakit," kata Dokter Irfan dalam dialog publik daring bertajuk 'Mendesain Regulasi BPA yang Tepat' yang digelar oleh Centre for Public Policy Studies (CPPS), Rabu (12/10).

Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini menambahkan efek BPA sangat luas di berbagai kelompok. Sudah banyak studi yang membuktikan hal tersebut, dan untuk mencegahnya dibutuhkan regulasi preventif yang menjauhkan masyarakat terutama anak-anak dari bahaya BPA.

BACA JUGA: Dokter Spesialis Anak Ingatkan Dampak BPA pada Wadah Plastik

Sementara Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar berpendapat isu mengenai risiko BPA sudah lama dibahas di beberapa negara Eropa. Namun, di Indonesia gaungnya belum terlalu luas. 

Dia menambahkan banyak merek botol susu bayi mengandung BPA seperti halnya gelas plastik, peralatan makan, dan lapisan sebagian besar kaleng dan kaleng makanan dan minuman.

BACA JUGA: BPPT Pastikan Uji Migrasi BPA Galon Guna Ulang BPOM Sangat Valid

Menurut Nia pemanasan berulang dari plastik polikarbonat dapat menyebabkan ‘larutnya’ BPA ke dalam pangan. Bagi bayi yang diberi makan secara artifisial dapat menelan BPA dosis ganda, mulai botol susu dan dari lapisan timah kaleng susu ke dalam susu bubuk yang dikonsumsi anak.

“BPA berbahaya ketika ada pemanasan berulang dari plastik. Jadi, memang BPA ini problematis karena ada di mana-mana," ujarnya. 

Dia menegaskan di Eropa, barang mengandung BPA sudah jelas tidak boleh sama sekali. Tidak hanya di botol dot bayi, tetapi juga di wadah makanan.

Nia mengingatkan bahwa BPA bisa menunjukkan sifat seperti hormon, dan bisa hadir di mana-mana pada lingkungan kita karena penggunaannya yang leluasa.

Nia lantas memberikan tiga tips bagi masyarakat. Pertama, berupaya menghindari BPA. Kedua, tidak mengonsumsi makanan kalengan. Ketiga, tidak memanaskan plastik kemasan.

Nia berharap pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA. 

“Harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA, dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” tegas Nia. 

Pada kesempatan sama Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait berpendapat dampak kesehatan BPA harus diinformasikan kepada masyarakat, khususnya dampak bagi anak. Hal itu selaras dengan Konvensi PBB dan UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengenai hak anak untuk sehat dan hak anak untuk hidup.

“Itu hak yang sangat fundamental yang dimiliki anak. Apalagi disebutkan hampir 50 persen anak-anak di Indonesia belum menikmati air susu ibu (ASI),” tuturnya.

Ditambahkannya BPOM sebagai wakil pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka harus kembalikan ke pemerintah.

Menanggapi itu Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali berpandangan keberadaan rencana pembangunan jangka menengah asional (RPJMN) tentang kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pemerintah meski secara spesifik Bappenas tidak menangani BPA. 

“Adanya kandungan yang berbahaya berupa BPA harus kita antisipasi. Regulasi detail seperti kandungan/komposisi itu ada di masing-masing kementerian/lembaga yang terkait,” ucapnya.

Karena itu, menurut Bahjuri, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, edukasi berupa promotif preventif. Kedua, gerakan hidup sehat. 

Bahjuri berpendapat perlu membuat dan menerapkan regulasi yang memang bisa diterapkan di Indonesia. Namun perlu mempertimbangkan pertanyaan lain.

"Seperti apakah ada alternatif selain BPA, apakah bahannya mudah dan lain sebagainya. Ada banyak kandungan kimiawi yang harus diperhatikan," pungkas Bahjuri. (esy/jpnn)


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler