jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, layanan transportasi berbasis aplikasi (online) sebenarnya belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan pada konsumen.
Menurutnya, keunggulan layanan transportasi online adalah kemudahan akses bagi penggunanya. "Konsumen dengan mudah mendapatkan taksi online daripada taksi konvensional," ujar Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Kamis (23/3).
BACA JUGA: Kenaikan Tarif Taksi Online Harus Dikaji Ulang
Namun, katanya, masih ada persoalan dalam layanan transportasi online. Misalnya, tidak ada standar pelayanan minimal yang jelas baik tentang armada ataupun pengemudinya.
Tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada angkutan konvensional. Sebab, taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non-rush hour.
BACA JUGA: Kapolri Sebut Kepolisian Bogor Lalai dan Tidak Proaktif
Pada rush hour, tarif taksi online jauh lebih mahal. “Apalagi dalam kondisi hujan,” sambungnya.
Karenanya Tulus menganggap revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek sebagai hal positif dalam rangka perlindungan konsumen. Aturan baru itu juga mengatur batas tarif.
BACA JUGA: Revisi PM 32 Berbanding Lurus Dengan Keselamatan
"Jadi untuk diberlakukan tarif bawah taksi online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas," katanya.
Hanya saja, katanya, hal yang harus diawasi adalah penerapan aturan batas bawah dan batas atas. Menurutnya, aparat akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran.
Taksi online juga belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau kecelakaan. Bahkan jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen, proses arbitrasenya ada di Singapura.
"Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen," urainya.
Sementara, operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam syarat dan ketentuan, operator transportasi online akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dibagikan ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi.
Sedangkan dalam konteks persaingan usaha, sambungnya, tidak boleh ada operator atau pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tariff. Sebab, predatory tariff akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya.
Di sisi yang lain, YLKI mendesak kepada operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanannya. Misalnya, kemudahan mengakses bagi konsumen semudah taksi online.
Jika perlu, Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional agar dibebaskan dari unsur inefisiensi. "Sehingga konsumen tidak menanggung tarif kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional," katanya.(cr2/JPG)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sopir Taksi Online Dikeroyok, Mobil juga Diamuk Massa
Redaktur : Tim Redaksi