Antara Ahok dan Cerita Jakarta Kota Tinja

Sabtu, 21 Maret 2015 – 20:07 WIB
Koh Ahok. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Fenomenal. Untuk sementara kata itu cukup pantas disematkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Mantan Bupati Belitung Timur yang keluar dari Partai Gerindra itu belakangan memang menjadi pusat perhatian. Disadari atau tidak, apa yang dilakukan dan diucapkan suami dari Veronica Tan itu jadi omongan orang...

BACA JUGA: Payah! Listrik di Jungle Land Padam, Pengunjung tak Diberi Kompensasi

Ahok, sapaan beken sang gubernur, baru-baru ini kembali membuat sensasi. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun tv yang ditayangkan live, Ahok tak kuasa menahan kesal.

Umpatan kasar keluar dari mulut orangtua dari Nicholas Sean, Nathania dan Daud Albeenner ini.

BACA JUGA: Wiranto Minta Ahok Tidak Menyerah

Kata tahi, bangsat, bego dan goblok terlontar dari pria berkacamata ini saat membicarakan hiruk-pikuk APBD DKI Jakarta.

Namun di akun twitternya, Kamis (19/3) lalu, Koh Ahok sudah meminta maaf menyadari emosi kebablasannya.

BACA JUGA: Wiranto Sesalkan Konflik di DKI Jakarta Masih Berlanjut

"Saya minta maaf kepada publik atas kejadian saat wawancara beberapa hari lalu. Saya sedang sangat kesal dgn kemunafikan. Tapi sikap saya jelas, untuk para koruptor dan kemunafikan, saya tdk akan pernah minta maaf utk ketidaksantunan saya terhadap mereka," kicau Ahok di @basuki_btp.

Sejumlah netizen mengapresiasi kata maaf Ahok. Meski tak sedikit juga yang tetap tak menerima, sikap atau perkataan itu keluar dari mulut pemimpin rakyat selevel gubernur.

Nah, dilansir dari situs historia, Jumat (20/3), Rahadian Rundjan menulis bahwa kata tahi bukan sekali ini keluar dari mulut Ahok. Bahkan tahun lalu, dia pernah menyebut Jakarta sebagai Kota Tahi saat mengomentari kepengurusan kawasan Kota Tua yang jauh dari kata becus.

Ternyata 'tahi' memiliki ceritanya sendiri dalam sejarah Jakarta (dulu Batavia). Tepatnya ketika pasukan Mataram menyerbu Batavia pada 1629. 

Raja Mataram, Sultan Agung (1593-1646) berambisi menaklukkan Batavia untuk memuluskan jalan menaklukkan Kesultanan Banten. Pasukan Mataram menyerbu Batavia dua kali, tahun 1628 dan 1629.

Adapun episode pertempuran yang berkaitan dengan “tahi” terjadi di salah satu menara benteng pertahanan Belanda, Hollandia, pada malam hari 20 Oktober 1629. 

Kisah tersebut ditemukan dalam buku karya penjelajah Belanda, Johan Nieuhof (1618-1672), Het Gezandtschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen Keizer van China (Kedutaan Besar dari Kongsi Dagang Belanda Republik Belanda kepada Tartar Cham, Kaisar Cina) yang kali pertama terbit pada 1665 di Belanda.

Kala itu, pertahanan Hollandia dipimpin oleh sersan asal Jerman, Hans Madelijn. Sudah kehabisan senjata untuk mempertahankan benteng dari pasukan Mataram, Hans menelurkan gagasan sinting. “Benteng itu dipertahankan oleh hanya 15 serdadu. Mereka kehabisan peluru, dan untuk bertahan terpaksa melemparkan segala macam benda yang bisa dilempar, konon termasuk isi tangki kakus,” tulis Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia.

Sejarawan Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, mencatat, “saat mereka diserang oleh peluru jenis baru ini, orang-orang Jawa itu langsung melarikan diri sambil berteriak jengkel, “0, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay (Oh, Belanda setan, kalian berkelahi pakai tahi!).”

“Ini adalah kata berbahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku yang ditulis oleh orang Jerman,” tambah Heuken.

Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung mengatakan kejadian itu dijadikan dalih untuk menghentikan pengepungan. “Akan tetapi Valentijn melihat bahwa bukan karena alasan inilah mereka mundur melainkan terutama juga karena mereka melihat datangnya pasukan pembebasan dari kota menuju ke arah mereka,” tulis de Graaf mengutip dari catatan penulis Belanda, Francois Valentijn (1666-1727).

Batavia gagal direbut dan prajurit Mataram pulang dengan terlunta-lunta. Orang Mataram kemudian menjuluki Batavia sebagai “Kota Tahi”, baik dalam artian umpatan maupun merujuk peristiwa konyol yang mereka alami di benteng Hollandia.

Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) dalam bukunya, History of Java, menulis bahwa julukan tersebut masih digunakan oleh orang-orang Jawa setidaknya sampai awal abad ke-19. Sebuah kampung bernama “Kota Tahi” juga pernah eksis sebelum namanya menghilang di pertengahan abad yang sama. Adapun di bekas lokasi situs benteng Hollandia kini berdiri pusat perbelanjaan Glodok. (adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jakarta Bakal Punya LRT: Murah, Cepat, Dijamin Nggak Stres


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler