Antara Politikus Mengaku Jujur dan Pelacur Mengaku Perawan

Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 11 Mei 2023 – 22:01 WIB
Perselingkuhan. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Seorang pria sedang melakukan pendekatan alias PDKT kepada satu wanita. Sang pria berkata, "Hai, saya politikus, tetapi saya jujur."

Si wanita menjawab, "Saya seorang pelacur, tetapi saya perawan."

BACA JUGA: Sandingkan & Bandingkan

Itulah dark humor di Inggris yang menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap para politisi. Secara umum publik memandang politisi tidak ada yang jujur dan identik dengan kebohongan.

Politikus yang mengaku jujur sama saja dengan pelacur alias PSK yang mengaku perawan.

BACA JUGA: Provinsi Dajal

Humor itu bisa saja berlebihan. Pasti banyak yang mengeklaim masih banyak politisi yang jujur.

Sangat mungkin kenyataannya juga seperti itu, tetapi gambaran umum tersebut sudah melekat pada para politisi di seluruh dunia. Pandangan bahwa politisi itu pembohong dan korup sudah menjadi stereotipe yang—apa boleh buat—sudah kadung melekat dan sulit dihapus.

BACA JUGA: Anas Urbaningrum, Revolusi & Kudeta Sunyi

Beberapa hari belakangan ini di Indonesia beredar video berisi pernyataan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy tentang 99 persen politisi di Indonesia korup.

Romi -panggilan akrabnya- menyatakan itu dalam sebuah wawancara siniar yang kemudian banyak menyebar di berbagai platform media sosial.

Mungkin tidak banyak yang kaget dengan pernyataan itu karena Romi bukan orang pertama yang mengatakannya.

Sudah banyak orang lain yang mengemukakan hal serupa meski narasinya tidak sama. Narasinya berbeda tetapi substansinya sama.

Pada 2020, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Oleh karena itu, umumnya para calon kepala daerah setelah terpilih akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut. 

Mahfud mengatakan calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong. Ketika sudah terpilih, mereka melahirkan korupsi kebijakan.

Hal ini menjadi gejala umum sejak pilkada dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Dengan sistem itu pula proses pilkada membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

High cost politics ini membuka peluang bagi para pemilik modal untuk menjadi cukong ataupun bandar politik penyedia modal.

Setelah menanam modal sebagai investasi politik, para cukong itu kemudian menagih dividen politik ketika jagoannya sudah berhasil memenangkan pilkada dan diangkat menjadi kepala daerah.

Tagihan itu dibayar dalam bentuk berbagai kebijakan daerah yang menguntungkan bandar. Proyek-proyek yang memakai dana APBD akan menjadi sasaran jarahan cukong.

Kepala daerah juga secara sengaja menerbitkan berbagai peraturan yang menguntungkan pemodalnya. Karena tersandera oleh utang politik kepada sang bandar, kepala daerah harus terus memutar otak untuk bisa melunasi utang politiknya itu.

Apa yang terjadi kemudian, kata Mahfud, dampak kerja sama dengan para cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang. Korupsi kebijakan itu biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan perizinan lainnya yang lebih merugikan masyarakat. ?

Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya daripada korupsi uang. Uang bisa dihitung, tetapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, izin penguasaan tambang yang tumpang-tindih, bisa membawa kerugian yang jauh lebih besar.

Romi menyebut angka yang lebih besar ketimbang Mahfud, yaitu 99 persen. Sama dengan analisis Mahfud, pandangan Romi menyebut pola korupsi terjadi dalam bentuk imbal balik bayar utang untuk melunasi biaya kampanyenya di pilkada.

Praktik yang sudah meluas ini seolah-olah dianggap sebagai hal yang lazim. Romi pernah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan di Surabaya pada 2019.

Romi yang saat itu memimpin PPP dan berstatus sebagai anggota DPR ditangkap karena menjadi makelar jabatan di lingungan Kementerian Agama.

Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada Romi. Namun, hukumannya dikorting menjadi setahun di tingkat banding yang vonisnya dikuatkan putusan Mahkamah Agung.

Romi bebas pada 2020 dan sekarang sudah balik lagi ke partainya. Kini dia langsung memegang posisi terhormat sebagai ketua dewan pertimbangan.

Pernyataan Romi seolah menjadi justifikasi tentang tindakan korup yang dilakukan oleh para politisi. Kalau 99 persen politisi korup, wajar saja Romi juga pernah terseret kasus korupsi.

Kabar terbaru, Romi dipolisikan oleh pengusaha Erwin Aksa karena defamasi atau pencemaran nama.

Romi mengaku ketika masih menjadi ketua umum PPP pada 2019 pernah menerima mahar sebesar Rp 35 miliar dari Erwin Aksa. Mahar itu untuk rekomendasi PPP bagi Erwin di Pilgub Sulawesi Selatan.

Namun, Romi menyebut cek itu ternyata kosong. Meski demikian, dugaan soal transaksi politik ini menjadi bukti baru kebenaran sinyalemen Mahfud MD.

Begitulah pesan yang sampai ke publik. Tentu hal ini menjadikan wajah politik dan politisi makin buram di mata publik.

Sikap dan pernyataan ini menjadi sinyal negatif bagi generasi milenial yang pertama kali memilih pada Pemilu 2024. Para pemilih pemula bersama pemilih muda yang usianya di bawah 40 tahun jumlahnya sekitar 50 sampai 53 persen.

Romi kembali ke dunia politik seolah-olah tanpa beban dosa korupsi. Dia seolah ingin cuci tangan dengan mengatakan bahwa semua politisi korup.

Orang-orang sejenis ini sudah banyak bermunculan di panggung politik nasional, apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikap sangat permisif kepada para mantan napi korupsi dengan mengizinkan mereka maju dalam kontestasi politik.

KPU seharusnya menjadi gatekeeper atau penjaga gerbang yang bisa menapis kemunculan para politisi busuk. Akan teetapi, dalam praktiknya KPU tidak berdaya untuk melakukannya.

Pernyataan Romahurmuziy itu akan makin menegaskan citra publik bahwa politik itu kotor. Humor mengenai politisi dan pelacur itu ‘sad but true’, menyedihkan tetapi kenyataannya memang demikian.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ikuti Uangnya, Tangkap Koruptornya


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler