Ikuti Uangnya, Tangkap Koruptornya

Senin, 03 April 2023 – 22:33 WIB
Tersangka kasus korupsi mengenakan rompi bertuliskan Tahanan KPK. Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.com

jpnn.com - Debat seru Menko Polhukam Mahfud MD dengan anggota Komisi III DPR RI pada Rabu lalu (29/3) menjadi pertunjukan utama yang menarik perhatian masyarakat Indonesia.

Mahfud digertak akan dipidanakan karena dianggap membocorkan rahasia mengenai transaksi janggal sebesar Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan.

BACA JUGA: Hedonisme dan Korupsi

Mahfud tidak mau kalah. Ia menggertak balik akan memidanakan anggota DPR yang menghalang-halangi upaya hukum.

Di tengah pertunjukan utama itu muncul pertunjukan sampingan alias side show yang tidak kalah menarik. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mencuri perhatian karena mengungkap ‘rahasia umum’ yang sebenarnya sudah bukan lagi menjadi rahasia.

BACA JUGA: King Maker dan Power Broker

Dalam kesempatan dialog itu, Bambang Pacul mengatakan bahwa seluruh anggota DPR adalah petugas partai yang tidak punya kewenangan politik apa pun. Para petugas partai itu hanya bisa tegak lurus, manut pada perintah pemilik partai.

Di tengah episode debat seru itu Mahfud MD mengingatkan Bambang Pacul supaya DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset yang sudah ada di parlemen sejak 2006. Dengan undang-undang itu, pemberantasan korupsi akan lebih mudah karena tersangka korupsi harus membuktikan sumber kekayaannya yang sah.

BACA JUGA: Crazy Rich ASN

Kalau tersangka korupsi tidak bisa membuktikan sumber kekayaannya yang halal, asetnya bisa dirampas melalui undang-undang.

Bambang Pacul merespons Mahfud dengan gaya blaka suta, blak-blakan. Legislator PDI Perjuangan tersebut menyebut Mahfud MD salah salamat kalau minta Komisi III DPR segera mengesahkan RUU yang mangkrak bertahun-tahun itu.

Bambang Pacul tidak memakai istilah petugas partai. Istilah itu dipopulerkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat menunjuk Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon presiden menjelang Pilpres 2014.

Ketika itu, Mega mengatakan bahwa Jokowi dipilih oleh PDIP menjadi capres dengan status sebagai petugas partai.

Sejak itu terminologi ‘petugas partai’ menjadi kosakata baru yang sering dikutip oleh banyak orang. Mega dikritik karena menempatkan posisi presiden —yang seharusnya menjadi simbol tertinggi negara— menjadi subordinat partainya.

Dengan menempatkan Jokowi sebagai petugas partai, berarti Megawati menempatkan PDIP sebagai institusi yang lebih tinggi daripada Indonesia sebagai entitas negara.

Meski banyak dikritik, terminologi itu menjadi terkenal karena menggambarkan situasi riil politik di Indonesia. Dalam sistem pemerintahan gado-gado ala Indonesia, petugas partai dan pejabat negara tidak ada bedanya, jumbuh menjadi satu.

Menteri-menteri kabinet umumnya adalah kader-kader partai. Para ketua umum partai pun ramai-ramai menjadi anggota kabinet.

Ketua umum partai menugasi anggotanya menjadi menteri. Para ketua umum partai itu juga menugasi diri mereka sendiri untuk menjadi menteri dalam kabinet.

Indonesia ‘bukan’ penganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga tidak menganut sistem pemerintahan parlementer. Indonesia menganut sistem pemerintahan yang ’bukan-bukan’.

Sistem gado-gado di Indonesia hanya khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Kenyataan itu sudah menjadi praktik politik yang lazim di Indonesia.

Oleh karena itu ketika Bambang Pacul mengungkap fenomena tersebut secara terbuka, anggota DPR lainnya tertawa dan bertepuk tangan. Sad but true. Pahit, tetapi itulah kenyataan politik di Indonesia.

Para anggota DPR tidak mewakili kepentingan rakyat, tetapi mewakili kepentingan pemilik partai.

Kritik keras membanjir kepada Bambang Pacul. Banyak yang menyebut pernyataan itu memalukan. Banyak yang menyebut DPR harus diganti dari Dewan Perwakilan Rakyat menjadi DPP Dewan Perwakilan Partai.

Bambang Pacul dituding tidak layak menjadi anggota legislatif karena tidak punya nyali untuk mengesahkan sebuah undang-undang.

Namun, seharusnya kredit layak diberikan kepada Bambang Pacul yang berani berterus terang mengungkap borok dalam sistem politik di Indonesia. Bambang Pacul mengatakan bahwa dia dan koleganya bisa bersikap garang dalam setiap rapat dengar pendapat.

Akan tetapi  begitu ada perintah untuk berhenti, mereka semua pasti berhenti. Bambang Pacul mengatakan bahwa kalau ada perintah dari ’ibu’, ia pun siap menjalankan perintah.

Sebaliknya, kalau ’ibu’ memerintahkan stop, tidak ada kata lain kecuali ‘siap’.

Dramaturgi itu akhirnya terungkap. Panggung depan atau frontstage para anggota dewan yang garang itu ternyata hanya permainan panggung belaka. Panggung belakang atau backstage para anggota dewan itu dikendalikan oleh para pemilik partai yang mempunyai kepentingannya masing-masing.

Terungkaplah bahwa RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal mangkrak beberapa tahun di DPR karena memang para pemilik partai tidak menghendaki kedua draf itu disahkan menjadi undang-undang.

RUU itu akan menjadikan pemberantasan korupsi di Indonesia lebih mudah. Selama ini, pemberantasan korupsi sulit menyasar sampai ke akar karena memakai prinsip follow the suspect atau telusuri pelakuknya.

Karena itu penelusuran kasus korupsi sering terhenti hanya pada pelaku kelas teri. Dalam beberapa kasus pembalakan hutan, misalnya.

Atau dalam kasus penambangan liar, sampai sekarang tidak ada pelaku utama, misalnya pemilik modal, yang terseret. Paling-paling yang menjadi terdakwa adalah petugas-petugas di lapangan yang sengaja dikorbankan.

Dengan UU Perampasan Aset mekanismenya akan diubah menjadi ‘follow the money’ atau telusuri aliran uangnya. Kalau aliran ini ditelusuri, akan terlihat bahwa ’air mengalir sampai jauh’ seperti aliran Bengawan Solo. Negara bisa menyita aset-aset yang tidak bisa dibuktikan asal-usulnya secara jelas.

Praktik gaya hidup hedonis yang dipamerkan banyak pejabat sekarang ini bisa dengan mudah diberantas dengan penerapan undang-undang perampasan aset. Undang-undang ini akan menjadi alat pemberantasan korupsi yang powerful.

Namun, senjata ampuh itu bisa memakan tuannya sendiri. Elite-elite politik itu pasti tidak bodoh untuk membiarakan diri  sendiri menjadi korban senjata makan tuan.

Praktik pertambangan liar dan pembalakan hutan akan menyasar pada banyak elite politik kalau undang-undang ini diterapkan.

Indonesia masih menerapkan prinisip praduga tak bersalah, presumption of innocent, dalam kasus pidana, termasuk korupsi. Seseorang tetap tidak bersalah sampai pengadilan bisa membuktikan.

Dengan undang-undang perampasan aset, mekanismenya diubah menjadi praduga bersalah atau presumption of guilty. Tersangka bersalah sampai bisa membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara halal.

Di Amerika Serikat (AS), mekanisme praduga bersalah sudah diterapkan. Hal ini bisa terjadi karena ada political will dari para penyelenggara negara.

Di Indonesia mekanisme ini tidak bisa diterapkan karena tidak ada niat politik dari para pemimpin politik nasional karena takut senjata makan tuan.

Presiden ke-33 AS Harry S. Truman punya ungkapan yang sangat terkenal, yakni ’The Buck Stops Here’ yang artinya semua uang berhenti di sini. Ungkapan itu tertulis pada tanda di meja kerjanya.

Maksudnya, semua putaran uang di Amerika berhenti di meja presiden. Maknanya, presiden bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di Amerika.

Di negara Wakanda ceritanya lain lagi. Presidennya sering berkata, ’Bukan urusan saya’.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pajak dan Demokrasi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler