Antara Quick Count dan Konflik Kepentingan

Kamis, 17 Juli 2014 – 21:47 WIB
Hamdi Muluk, saat memberikan keterangan pers terkait polemik quick count. Foto: M Fathra Nazrul Islam/JPNN.com

jpnn.com - HASIL hitung cepat (quick count) pemilu presiden (pilpres) 2014 yang berbeda-beda membuat masyarakat bingung. Perhimpunan Survei dan Opini Publik (Persepi) yang menaungi lembaga-lembaga survei pun bertindak.

Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) yang hasil hitung cepatnya memenangkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dipecat dari keanggotaan di Persepi. Keduanya dipecat karena menolak diaudit.

BACA JUGA: Doakan Rakyat Diberi Kekuatan

Karena menolak diaudit, kredibilitas kedua lembaga survei tersebut menjadi tanda tanya. Namun, bagi anggota Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk, keengganan diaudit tersebut menunjukkan ada yang salah dalam hitung cepat JSI dan Puskaptis.

"Tapi yang jelas dia nggak berani buka-bukaan, orang jadi tambah curiga jangan-jangan hasil anda yang nggak benar, itu logika paling simpel," kata Hamdi saat ditemui di Jakarta.

BACA JUGA: Sosok Jokowi Sebetulnya Lebih Dekat kepada SBY

Belajar dari kasus ini, Persepi berjanji untuk memperketat pengawasan terhadap kredibilitas lembaga survei. Hamdi menegaskan, organisasinya tak ingin anggotanya dicap sebagai lembaga survei abal-abal.

Berikut wawancara lengkap dengan Hamdi Muluk usai konfrensi pers hasil audit di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Rabu (16/7) malam :

BACA JUGA: Berseberangan dengan Amien Rais

Kini muncul fenomena lembaga survei abal-abal, menurut Anda apa penyebab di balik fenomena tersebut?

Salah kalian (media) juga. Ketahuan itu survei abal-abal, sudah nggak usah diberitakan. Apalagi sudah ada track record buruk.

Kami juga ngaku sih, Persepi karena dulu semangatnya biar banyak orang berkumpul supaya bisa kita tertibkan, kita agak loose (longgar) lah, terima aja semua jadi anggota. Lain kali kita lihat lah satu-satu kalau integritasnya nggak bagus nggak akan masuk. Ke depan kita tata lagi, anggota kita perlu juga capacity building. Kita kumpulin, kasih workshop supaya kemampuannya sama.
Ini kan jomplang kalau Anda lihat. Ada yang memang orang-orangnya itu doktor, lulusan luar negeri, ilmu statistiknya bagus, metodologinya oke. Ada yang, mohon maaf, lulusan mana kita nggak tahu

Sebenarnya apa sih manfaatnya quick count?

Saya sudah pernah tulis itu. Pentingnya quick count itu salah satunya, kalau dilakukan secara ilmiah quick count ini bisa jadi estimasi yang cepat dan akurat terhadap kondisi pencoblosan suara, kita bisa mengawal proses rekapitulasi yang bertingkat-tingkat itu, itu kan rentan penyelewengan.

Itu ucapan Burhan yang disalahtafsirkan artinya apa? Kalau nanti misalnya ini hasilnya jomplang, jauh beda dengan yang prosesnya sudah kita verifikasi ya kita bisa pikir logika terbalik, jangan-jangan hasil KPU berubah. Kan bisa begitu, karena Anda tahu tidak ada negara yang proses rekapitulasinya itu tidak rentan dari manipulasi.

Seperti sekarang, dibuka C1 kan banyak yang rekapnya aneh-aneh gitu, iya kan? Jadi kita bikin logika yang lainnya kita harus mengkritisi dong, itu pentingnya.

Apa alasan Persepi melakukan audit terhadap lembaga-lembaga yang melakukan quick count?

Ya, kita ingin menghilangkan keresahan. Satu-satunya cara menghilangkan keresahan masyarakat adalah dengan melakukan klarifikasi.

Sekarang tugas media untuk memberitakan bahwa hasil audit Persepi adalah yang dinyatakan bersih enam lembaga itu, sementara dua menolak diaudit. Bisa diartikan sendiri kalau menolak itu berarti ada yang disembunyikan.

Tapi pada akhirnya tidak ada yang berubah. Tetap ada dua hasil quick count yang bertolak belakang lalu bagaimana?

Kita lama pikirkan itu, tapi apa daya kita.  Ini memang masih menyisakan persoalan tapi ini sejauh yang bisa Persepi lakukan. Mudah-mudahan masyarakat apresiasi.

Apa perlu diambil langkah hukum agar tidak terulang lagi ke depan?

Mungkin bisa ditanya ke ahli hukum. Ada yang bilang ke saya kalau ini bisa dianggap menyebar kebohongan publik, mungkin bisa dikejar ke situ. Tapi lebih baik tanya ke ahli hukum, saya bukan ahli hukum. Kalau Persepi yang paling mungkin dilakuin itu, kita akan perketat keanggotaan.

Objektivitas lembaga survei sangat berkaitan dengan pendanaan. Apakah perlu diberlakukan larangan menerima dana dari luar untuk melakukan survei-survei yang berkaitan dengan kepentingan publik?

Ya mungkin bisa kita pelajari yang semacam itu. Tapi dulu memang pernah jadi perdebatan sengit di internal Persepi, dan saya bisa paham. Karena kebanyakan yang punya kepentingan mendana-danai ini sedikit banyak berkaitan dengan politik.

Jadi kalau itu tidak boleh, mungkin semua lembaga tutup, repot juga, mau dapat pendanaan dari mana? Mungkin bisa dari televisi karena mereka punya kepentingan untuk show. Tapi di luar itu siapa yang mendanai?

Sebenarnya berapa dana yang diperlukan untuk melakukan quick count?

Kalau untuk quick count itu kurang lebih, untuk 2000 sample itu berkisar antara 1,2 sampai 1,5 miliar rupiah. Ada variasi minor, umpamanya ada lembaga yang harga kaos relawannya 50 ribu ada yang 25 ribu.

Apa Persepi juga mengaudit sumber dana lembaga survei?

Tadi sudah kita tanyakan. kebanyakan dari televisi. Tapi kita tidak fokus ke situ. Mandat Dewan Etik cuma sebatas metodologi keilmuan saja, karena itu yang paling penting juga menurut saya. Kalau sesuatu dilakukan secara ilmiah, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, ya kita tentu bisa percaya, terlepas dari siapa yang mendanai.

Akan menghabiskan waktu kalau kita menuntut terlalu panjang soal pendanaan. Kayak tadi ada yang minta usut dong terus yang ada di ujungnya siapa? Aduh, habis waktu kita.

Persepi sendiri diragukan netralitasnya karena beberapa anggotanya terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon, tanggapan Anda?

Itu lah, ngeyel. Saya bilang ngeyel itu begini, kalau ukuran netral itu dia tidak boleh suka sama salah satu calon, apa mungkin sekarang? Itu kan hak orang. Apa Anda harus golput? Untuk jadi Dewan Etik harus golput?  Kita kan sebenernya tidak permasalahkan itu, sepanjang lima anggota dewan etik ini bekerja sesuai prosedur yang digariskan, bahwa yang kita audit ini adalah metode-metode keilmiahan.

Misal, kita audit organisasinya, itu kan jelas, nggak bisa ditipu. Dilihat apakah benar ada persiapan sebulan sebelumnya untuk melatih relawan (surveyor). Emang bisa kalau nggak dilatih? Mana buktinya? Mana dokumentasinya?

Hal-hal seperti itu kan sangat kasat mata, mau yang mengaudit orang pro Jokowi mau pro Prabowo sama saja. Jadi ini ada rulenya, tinggal lihat ada nggak barangnya. Kenapa cerewet terus?

Tapi yang diaudit ini kan ada lembaga surveinya, Dewan Etik sendiri?

Kalau untuk kita, conflict of interest itu perlu, itu masuk akal kalau dijadikan alasan. Tidak mungkin Saiful Mujani sebagai anggota Dewan Etik mengadili lembaga yang dia punya. Karena itu dia keluar dulu, nonaktif lah.

Dalam AD/ART kita, manakala ada konflik kepentingan, salah satu anggota lembaganya diperiksa, maka dia harus tidak aktif.

Sekarang ada dua lembaga yang menolak diaudit. Apa dapat disimpulkan mereka menggunakan metode yang tidak ilmiah?

Kita nggak tahu, gimana kita tahu?
Tapi yang jelas dia gak berani buka-bukaan, orang jadi tambah curiga jangan-jangan hasil Anda yang nggak benar, itu logika paling simpel.

Tapi hasil hitung cepat antara lembaga yang lolos audit dan yang tidak berbeda sangat jauh? Apa dimungkinkan metode yang benar menghasilkan hasil seperti itu?

Nggak mungkin. Itu saya bilang kalau dilakukan dengan benar, hasilnya nggak boleh bertolak belakang. Yang boleh itu di dalam margin of error. Misalnya yang satu 47 yang lain 48, 46, tapi bertolak belakang itu nggak mungkin. Pasti ada salah satu yang salah.

Apa yang akan dilakukan oleh Persepi kalau hasil akhir KPU nanti ternyata sama dengan hitung cepat JSI dan Puskaptis?

Kita tetap, kalau gitu kita bilang mari kita adu lagi audit yang sama, kan dua lembaga itu belum membuka.

Bagi kita tetap nggak bisa ditipu masyarakat bahwa misalnya oke hari itu bisa kita cek beberapa yang dua itu, yang lain kita validasi kan, bener nggak datanya dikirim? Kita buka data 2000 orang, SMS nya berapa? Kita bisa cek ke provider data terkirim apa enggak? Berani nggak buka-buka begitu. Nggak bisa dia berlindung, "Oh sudah sesuai KPU jadi nggak usah dibuka". Nggak bisa dong.ini logika kan, betul? (dil/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Bukan Capres Boneka


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler