jpnn.com - MANTAN Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menunjukkan keberpihakannya secara nyata dalam pemilu presiden (pilpres) tahun ini. Pilihannya jatuh kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kiai Hasyim -begitu ia biasa disapa- punya sederet alasan sehingga memutuskan memilih untuk mendukung pasangan yang dikenal dengan sebutan Jokowi-JK itu. Hasyim menilai Indonesia rusak karena keserakahan.
BACA JUGA: Jokowi Pendiri Jamuro
Karenanya, mantan pasangan Megawati Soekarnoputri di Pilpres 2004 itu menganggap Indonesia perlu dipimpin orang jujur. “Dalam diri Jokowi saya melihat kejujuran itu,” kata anggota dewan pengarah di Tim Pemenangan Jokowi-JK itu.
Lebih jauh tentang alasan-alasan Kiai Hasyim mendukung Jokowi-JK, berikut ini penuturannya dalam wawancara dengan M Fathra Nazrul dari JPNN.
BACA JUGA: Takut Indonesia Dipimpin Orang Otoriter
Masyarakat sudah tahu Kiai dukung Jokowi-JK. Salah satu faktornya karena JK orang NU. Kiai sudah janji mendukung siapapun orang NU yang maju Pilpres. Tapi apa benar alasannya cuma itu?
Yang saya maksud NU tidak sekedar orang, tapi mindset NU dalam urusan kenegaraan, dalam urusan kemasyarakatan, dan dalam urusan kebangsaan. Karena di dalam NU itu ada patokan-patokan. Dalam garis moderasinya, misalnya moderasi di dalam pelaksanaan agama, lalu moderasi di dalam hubungan lintas masyarakat, misalnya sesama Islam bagaimana, dengan non-muslim bagaimana, dengan Bhinneka Tunggal Ika bagaimana.
BACA JUGA: Agar Atmosfir Olimpiade Biologi Mewabah ke Sekolah
NU itu mempunyai pemikiran dalam hubungan agama dan negara. NU tidak pernah mempertentangkan agama dan negara, tapi mensupremasikan bagaimana tata nilai luhur dalam agama bisa masuk ke negara dalam konteks kerangka nasional, tidak sektarian
Nah, kemudian bagaimana negara bisa melindungi agama, sehingga tidak pernah membuat kontrakdiksi antara agama dengan negara, hubungan substansial, tidak kontekstual. Mindset ini yang harus ada di dalam kepemimpinan negara.
Apa itu ada pada sosok JK?
Iya. Untuk melihat orang itu NU-nya lengkap atau tidak dilihat dari amaliyah agamanya. Jadi amaliyah dilihat dari segi tata hubungan masyarakat, lintas agama, lintas suku dan di dalam Islam sendiri.
Kemudian bagaimana dia mengatur tata hubungan agama dan negara. Ada amal kongkret untuk agama dan negara. Nah keempatnya ini ada pada dia (JK). Jadi sebenarnya tidak semata-mata personal, tapi tata pemikiran NU ini yang harus ada di pemerintahan Sebab kalau itu tidak ada, kemudian tidak bisa berjalan maka akan diambil oper dua kutub ekstrimitas.
Ekstrimitas ini ada dua, ekstrim keras, atau ekstrim liberal. Kalau ekstrim keras yang terjadi fundamentalisme, benturan-benturan, sampai radikalisme. Sampeyan tiap hari melihat (radikalisme) itu kok. Kemudian yang ekstrim liberal ini dia mengabaikan agama sehingga bukan moderasi kapitulasi. Dua kutup ini tidak cocok untuk Indonesia, yang cocok mindset NU itu.
Kesimpulannya saya tidak mendukung JK in person saja, tapi mindset NU yang dibawa dia dalam berbangsa dan bernegara itu. Sekarang kita lihat hasilnya (kerja JK saat Wapres), macam konflik Poso, Maluku, Aceh dan dia bukan sumber konflik, itu kan kelihatan pemikiran JK itu solutif, bukan problematik. Kalau pemikiran itu digandengkan dengan nasionalisme yang nasinoalisme Indonesia, akan kuat menjaga NKRI. Kan tidak saling serang.
Kalau kita lihat secara Indonesia, mulai zaman Bung Karno dengan para ulama, dasar pemerintahan ke pemerintahan, nasionalisme Indonesia selalu bergandengan dengan islamisme yang gaya budaya Indonesia.
Ini juga alasan mengapa nahdliyin perlu dukung Jokowi-JK?
Iya. Jadi tidak hanya mendukung orang tapi mendukung tata keindonesiaan dalam menjalankan agama dan negara.
Dalam hal dukungan ini, ada konsesi yang ditawarkan kubu Jokowi-JK pada Kiai?
Ndaklah. Sampai hari ini kan Jokowi sendiri tidak pernah mau bicara soal konsensi jabatan. Dan saya secara pribadi maupun kelompok juga tidak pernah menanyakan itu, sehingga saya hanya murni bagaimana mindset islamisme yang moderat, bergabung dengan islamisme yang Indonesia.
Dari segi figur, baik Jokowi ataupun JK itu seperti apa di mata Kiai?
Jokowi dan JK ada keunikannya. Jokowi ini kan ada kecenderungan meninggalkan gaya seorang pejabat sebagai penguasa. Kelihatan dia meninggalkan itu. Dia lebih senang egaliter. Ini kalau digandengkan dengan kejujuran, maka akan menguragi banyak hal problematik di Indonesia, karena separuh masalah Indonesia itu kan ketidakjujuran.
Kalau Indonesia dipimpin orang jujur saja, belum pandai pun itu sudah menyelesaikan sebagian masalah bangsa ini. Indonesia rusak karena keserakahan, keserakahan yang di atas, jeritan yang di bawah.
Dalam diri Jokowi saya melihat kejujuran itu. Pastilah orang tidak bebas dari salah. Sebagai manusia, kalau bebas dari salah malah dipertanyaakan kemanusiaannya.
Seperti JK kan relatif juga gak banyak-banyak nakalnya. Sehinga bagus dalam menyongsong masa depan kita tinggalkan gaya penguasa, kita meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah, glamor.
Kesederhanaan ini sebagai keteladanan akan berdampak, karena hanya orang yang sederhana yang berfikir tentang karakter. Kalau serakah, bermewah-mewah, itu susah diajak berfikir tentang karakter bangsa, semua transaksional, pragmatis, sehingga tata nilai diatur dengan uang.
Inilah hal yang mendasari pemikiran saya menyokong, bukan mendukung, tapi menyokong Jokowi-JK. Kalau mendukung itu kan dukungan saja.
Sempat ada isu yang meragukan keislaman Jokowi. Bagaimana reaksi Kiai mendengarnya ketika pertama mendengar informasi itu?
Begitu saya mendengar itu, maka saya melakukan tracking, kalau bahasa agama, tabbayun. Saya menelpon pengurus NU cabang Surakarta, saya mohon coba diadakan klarifikasi yang sebenarnya Jokowi itu bagaimana.
Maka sudah diterbitkan oleh pengurus NU Surakarta bahwa setelah diadakan penelitian secukupnya, ternyata Jokowi orang Islam sejak lahir, dia sudah haji, berkali-kali umroh, shalatnya lumayan bagus, ibunya seorang salehah, saudara-saudaranya semua Islam, ayahnya juga Islam, dan dia bukan keturunan Tionghoa.
Jadi saya tidak bisa menerima sebelum melakukan investigasi di Solo, itu sekarang diterbitkan surat resmi NU Solo tentang hal ihwal Jokowi, sehingga berita-berita itu tentu tidak benar. Dan berita tidak benar itu dikondisikan sebelum ada pasangan capres-cawapres.
Dia (Jokowi, red) itu diopinikan agen asing, Amerika. Saya juga kurang melihat bukti-buktinya, orang dia tidak pernah sekolah di barat. Dalam debat lebih berfikir ekonomi mikro dibanding ekonomi makro. Kalau orang berfikiran mikro itu mesti yang dibahas PKL (pedagang kaki lima, red), orang kecil. Maka kalau disebut agen asing bidang ekonomi gak juga. Dasarnya gak kuat.
Kalau dia dianggap misalnya dia itu capres boneka, enggak juga. Wong lebih pintar dia daripada kiri kanannya, sehingga isu itu tidak benar dan diputarbalikkan.
Bagaimana Kiai melihat isu SARA untuk menyerang lawan politik di pilpres?
Ini saya yang paling tidak setuju menggunakan konflik agama. Seandainya Jokowi betul-betul Kristen, tapi penggunaan hujatan itu tidak betul. Itu menunjukkan cara itu akan dipakai dalam kepemimpinan jika dia berkuasa, sehingga berbahaya, karena sudah dimulai sejak melakukan kampanye. Itu embrio yang berbahaya untuk NKRI, bukan soal tuduhan Kristen atau tidak, tapi dalam konteks bernegara itu rawan.
Pernah punya pengalaman pribadi dengan kedua figur ini, Jokowi maupun JK?
Saya dengan Jokowi kenalnya biasa-biasa saja, dua kali ketemu di Solo ketika dia masih wali kota karena saya mengatasi konflik agama yang ada di sana. Kesan saya dia orangnya lugu-lugu saja. Artinya tidak punya pikiran ruwet, berbelit-belit, ndak ada itu.
Kalau dengan Pak JK saya kenal dari dulu, lebih 10 tahun lalu dan saya tahu ibadahnya, itegritasnya visioner, dan kompetensinya terhadap negara.
Kalau Pak Prabowo dia dua kali ke rumah saya. Saya mengetahui sebagian kepribadiannya, saya mengerti keluarganya karena keluarganya kan orang besar. Orang besar kan gampang dikenal. Jokowi kan harus ditelusuri siapa dia. Jadi semua dilakukan setelah tabbayun, klarifikasi.
Mengenai isu SARA yang digunakan menyerang lawan politik di era demokrasi sekarang, apakah itu tanda kemunduran demokrasi?
Bukan kemunduran, tapi belum bisa berdemokrasi. Jadi sebaiknya setiap agama menunjukkan kebaikan amalnya kepada Indonesia. Tidak harus menjelekkan yang lain. Kalau memang seorang beragama Islam, ingin Islamnya dihargai ya berbuatlah yang Islami. Jangan di dalam suaranya Islam, tapi perilakunya tidak seluhur Islam itu. Ini yang membuat masalah.
Harus kita buktikan Islam lebih baik dari yang lain, dibuktikan dalam perilaku kita sendiri tidak dengan cara-cara membuat black campaign. Itu merendahkan keluhuran Islam itu sendiri.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Siap Jadi Herder Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi