jpnn.com - DALAM politik, tidak ada kawan maupun musuh abadi. Dalam polisik, yang abadi hanyalah kepentingan.
Adagium itu menggambarkan karier politik Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Adagium itu juga menggambarkan hubungan politik antara Indonesia dengan Malaysia dalam setengah abad terakhir.
BACA JUGA: Anies dan Da Silva
Anwar Ibrahim dilantik sebagai perdana menteri pada November 2022. Dia kemudian melakukan konsolidasi internal untuk menyusun kabinet yang ramping dan afektif.
Sebagai perdana menteri, Anwar merangkap jabatan menteri keuangan. Meskipun jabatannya rangkap, Anwar menegaskan tidak akan menerima gaji dari dua posisi bergengsi itu.
BACA JUGA: Raja Kodok
Anwar juga mendorong timnya menunjukkan keprihatinan dengan tidak bermewah-mewah dalam kehidupan keseharian. Anwar memberi contoh dengan tidak memakai mobil mewah sebagai kendaraan dinas maupun pribadi.
Setelah menata kabinet, Anwar mulai melakukan lawatan ke luar negeri. Indonesia menjadi tujuannya yang pertama.
BACA JUGA: Pemilu Kardus
Senin (9/1) sampai Selasa (10/1), Anwar berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri. Berbagai persoalan bilateral diperbincangkan.
Salah satu yang menjadi fokus pembicaraan itu ialah investasi Malaysia di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Sejumlah kesepakatan investasi sudah dicapai kedua negara dalam pembangunan IKN.
Di Malaysia, terpilihnya Anwar Ibrahim menjadi perdana menteri dirayakan sebagai kebangkitan politik Islam.
Anwar dilantik menjadi perdana menteri oleh Yang Dipertuan Agung Raja Malaysia untuk mengakhiri krisis politk karena pemilihan raya tidak bisa menghasilkan pemenang mayoritas yang berhak membentuk pemerintahan dan mengangkat perdana menteri.
Karier politik Anwar Ibrahim diwarnai dengan hubungan yang pernuh turbulensi dengan Mahathir Muhammad. Dia menjadi kader Mahathir Muhammad, perdana menteri yang berkuasa selama 22 tahun.
Akan tetapi, keduanya berpisah jalan pada 1998 dan menjadi musuh bebuyutan. Mahathir memenjarakan Anwar selama belasan tahun dengan tuduhan korupsi dan sodomi.
Anwar Ibrahim mengawali karier politiknya sebagai pemimpin gerakan mahasiswa di Universitas Malaya pada akhir dekade 1960-an. Tak lama kemudian, pada 1971, ia mendirikan Gerakan Pemuda Muslim Malaysia (ABIM) dan menjabat sebagai presidennya hingga 1982.
Meski sering mengkritik kebijakan pemerintah Barisan Nasional-UMNO, Anwar akhirnya menerima tawaran Mahathir Mohamad untuk bergabung dengan partai yang lama memegang pemerintahan di Malaysia itu.
Karier Anwar menanjak dengan cepat. Ia menjadi Menteri Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan (1983), Menteri Pertanian (1984), Menteri Pendidikan (1986-1991), dan diangkat menjadi Menteri Keuangan (1991-1998), dan Wakil Perdana Menteri (1993 -1998).
Malaysia berkembang di bawah kepemimpinannya dengan surplus anggaran selama beberapa tahun. Malaysia juga menikmati era kemakmuran dan pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Saat Malaysia dilanda krisis finansial Asia pada 1997-1998, Anwar yang saat itu menjabat di Kementerian Keuangan merumuskan pendekatan ekonomi dan menolak talangan bantuan pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang kesulitan dana. Langkah itu membuahkan hasil dan memperbaiki situasi ekonomi di negara itu.
Namun, tindakannya itu tidak mendapat sambutan hangat dari Mahathir Mohamad dan sekutunya. Anwar dicopot dari pemerintahan dan (UMNO) pada 2 September 1998.
Setahun kemudian dia dipenjara. Persidangan dan penahanannya mengundang kecaman internasional yang mencirikan dakwaan terhadapnya bermotif politik.
Anwar dituduh telah melakukan sodomi oleh seorang pembantu laki-laki. Namun, dia menepis tudingan itu dan mengatakan tuduhan tersebut bertujuan untuk mencopotnya dari jabatan pemimpin oposisi.
Pengadilan Ia dibebaskan pada 2004 ketika pengadilan tinggi memutuskan bahwa bukti yang digunakan untuk menghukumnya tidak cukup kuat.
Namun, Anwar kembali dijerat dengan kasus sodomi lagi. Pada 2015 dia dipenjara dan baru bebas pada 2018.
Pada September 2018, Anwar kembali ke parlemen ketika memenangi pemilihan sela di Port Dickson, Negeri Sembilan. Dia memperoleh suara mayoritas.
Saat mengepalai Kaukus Reformasi dan Tata Pemerintahan di Parlemen Malaysia, Anwar berjanji akan mengangkat lembaga wakil rakyat itu sebagai institusi penyeimbang yang efektif dan tidak korup dalam upaya memperbaiki dan menciptakan sistem baru bagi negara
Anwar dianggap sebagai simbol kebangkitan Islam politik di Malaysia. Anwar Ibrahim mewakili genre politisi Islam yang berpandangan moderat dan global, sekaligus memengaruhi pemikiran politik sejawatnya di Indonesia.
Pengangkatan Anwar dirayakan sebagai kebangkitan Asia. Ia merupakan politisi cum intelektual jempolan dan ahli keuangan.
Ia menulis buku ‘Rennaissance Asia’ pada 1996 yang menjadi cetak biru bagi strategi politiknya dalam membangun Malaysia.
Anwar meyakin renaissance Asia, kebangkitan peradaban Asia, akan muncul melalui dialog dengan peradaban Barat. Anwar melihat Islam moderat yang berkembang di Malaysia dan Indonesia punya potensi besar untuk menjadi mesin kebangkitan Asia.
Islamisasi secara damai dan perlahan itu membentuk ciri muslim Asia Tenggara yang kosmopolitan, berwawasan luas, toleran, dan dapat menerima perbedaan budaya. Pandangan itu juga dipengaruhi oleh keberadaan non-muslim yang membalas sikap toleran orang Islam.
Hampir tanpa kecuali, bangsa muslim pernah dijajah. Banyak yang belum pulih dari trauma tersebut.
Hal itu tecermin dari sikap ekstrem terhadap Barat. Ada sejumlah orang yang menyalahkan Barat atas kegagalan yang mereka alami.
Pada sisi ekstrem lain adalah kelompok elite yang terkagum-kagum dan silau atas kebudayaan Barat sebagai simbol modernitas. Modernisasi di berbagai daerah bekas jajahan tidak bisa dibedakan dengan westernisasi.
Mengadopsi gaya hidup Barat lebih menonjol ketimbang mengambil spirit kemajuan Barat dengan mempelajari sains dan ilmu pengetahuan dari mereka.
Anwar Ibrahim merumuskan Renaisans Asia dengan mengambil jalan tengah di antara dua ekstrem. Prinsip tawasut atau moderat dia terapkan sebagai strategi perjuangan.
Spirit kemajuan Barat diambil dan diterapkan, tetapi gaya hidup westernis yang tidak sesuai dengan nilai timur ditanggalkan.
Dalam prioritas Anwar pembangunan umat dikonsentrasikan pada tugas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menghapuskan kemiskinan ketimbang memotong tangan pencuri. Mereka lebih suka meningkatkan kesejahteraan wanita dan anak-anak di antara mereka ketimbang menghabiskan waktu mendefinisikan negara Islam yang ideal.
Ekstremisme ditolak, tetapi toleransi juga tidak hanya bisa dipaksakan datang dari satu pihak. Harus ada timbal balik.
Sebuah komunitas yang plural dan multiagama terus-menerus hidup dalam ancaman kecuali jika keadilan sosial bisa dicapai.
Indonesia dan Malaysia mempunyai problem yang kurang lebih sama. Umat Islam yang menjadi mayoritas di kedua negara akan menjadi kekuatan utama dalam membangun keadilan sosial.
Di masa lalu hubungan kedua negara tidak selalu harmonis. Pada dekade 1960-an Indonesia sebagai negara dengan penduduk 10 kali lipat Malaysia seolah menjadi tukang bully bagi Malaysia.
Kedua negara bahkan nyaris terlibat perang terbuka karena perebutan wilayah di Kalimantan. Konfrontasi dua negara bertetangga itu berlangsung panas. Jargon ’Ganyang Malaysia’ membuat negeri jiran itu keder.
Hubungan kedua negara menjadi mesra di era 1970-an setelah Soeharto menjadi presiden. Prioritas pembangunan ekonomi yang diambil Soeharto membuat Indonesia tidak lagi menjadi tukang bully.
Malaysia berkembang dengan cepat. Pada 1970-an, orang Indonesia dikirim ke Malaysia sebagai guru. Sekarang orang Indonesia datang ke Malaysia sebagai wisatawan atau TKI.
Sekarang Anwar Ibrahim datang ke Jakarta sebagai investor. Dua negara ini akan menjadi motor penting dalam kebangkitan Asia, jika sama-sama mampu menciptakan keadilan sosial yang merata.
Anwar Ibrahim sudah membuat peta jalan menuju kesana dan berkomitmen untuk mencapainya. Indonesia harus melakukan hal yang sama kalau tidak mau (makin) ketinggalan dari Malaysia.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Budak
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi