Budak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 26 Desember 2022 – 19:00 WIB
Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mark Rutte di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (7/10/2019). Arsip/Foto: Ricardo

jpnn.com - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pekan lalu meminta maaf atas perbudakan yang dilakukan oleh Belanda selama masa penjajahan yang berlangsung selama ratusan tahun.

Permintaan maaf itu ditujukan Rutte kepada semua orang yang diperbudak dan yang menderita akibat tindakan itu, termasuk semua keturunan korban perbudakan pada masa lalu hingga saat ini. 

BACA JUGA: Belanda Meminta Maaf Atas Perbudakan, Termasuk di Indonesia

Sayangnya, permintaan maaf Rutte itu tidak termasuk Indonesia, negara yang pernah mengalami penjajahan langsung oleh Belanda sejak 1800-an.

Rutte hanya sesekali menyebut istilah Hindia Belanda dan VOC, tetapi secara spesifik tidak mengajukan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia.

BACA JUGA: Mengejutkan, Pelaku Budak Seksual AKBP M Ajukan Banding

Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan dari Indonsia.

Para ahli sejarah menegaskan Belanda harus secara spesifik menyebut Indonesia, dan meminta maaf atas perbudakan yang dilakukan selama masa penjajahan.

BACA JUGA: Belanda Kembali Minta Maaf, HNW Merespons Begini, Simak 

Ada kemungkinan Belanda sengaja menyembunyikan jejak kelamnya di Indonesia. 

Akan tetapi, menjadi pertanyaan, kalau tidak tulus ingin meminta maaf atas kejahatan di masa silam mengapa harus mengungkit soal perbudakaan itu.

Belanda hanya mengakui perbudakan di Suriname, Antalia, dan Curacao yang nota bene wilayah Barat.

Sementara penjajahan di Indonesia hanya disebut sepintas tanpa ada permintaan maaf khusus.

Jejak perbudakan Belanda di Indonesia sangat jelas dan masih teramat banyak bukti yang bisa dikumpulkan.

Sejarawan dan budayawan Betawi Ali Shahab membuat kronikel praktik penjualan budak di Hindia Belanda dalam buku ‘’ Betawi Tempo Doeloe; Robin Hood Betawi’’.

Pada 1800-an, Jan Pieterzoon Coen, yang ketika itu menjadi gubernur jenderal Belanda, membuka sentra sentra penjualan budak di Batavia, terutama para budak yang berasal dari Manggarai di Nusa Tenggara Timur.

Lokasi pasar budak itu sekarang dinamakan sebagai Kampung Manggarai.

Sejarah perbudakan di Batavia diawali saat Coen menaklukkan Jayakarta pada 1619 dan mengganti namanya menjadi Batavia.

Ketika itu kondisi kota nyaris tanpa penduduk, karena orang-orang pribumi Jawa dan Sunda kabur karena takut dibunuh.

Bersamaan dengan itu Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk membangun kota yang hancur karena peperangan.

Orang-orang Belanda kemudian mendatangkan para tawanan perang dari berbagai tempat seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar dan Kepulauan Koromandel di India.

Mereka dipekerjakan dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan, dan rumah-rumah para pejabat kompeni.

Seiring perkembangan Batavia yang begitu pesat, bisnis perbudakan makin marak.

Selain untuk memenuhi tenaga kerja, budak-budak perempuan pun kemudian didatangkan guna mengurus rumah tangga dan bahkan memenuhi nafsu biologis kaum laki-laki penghuni Batavia.

Mula-mula harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja.

Akan tetapi pada abad ke-18, harga jual seorang perempuan muda meroket tinggi, jauh dua sampai tiga kali lipat harga seorang budak lelaki.

Itu terjadi karena pada saat itu permintaan akan budak perempuan--terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa--sangat tinggi.

Pada era berikutnya di era kekuasaan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), setiap tahun didatangkan kurang lebih 4.000 budak dari berbagai pelosok nusantara.

Perdagangan budak pun makin marak dan kepemilikan budak menjadi gengsi tersendiri di kalangan orang-orang Belanda.

Satu orang kaya Belanda di Batavia bisa memiliki sampai 200 budak.

Makin banyak budak kian tinggi gengsi seseorang.

Para budak itu laksana aset dagang yang disamakan dengan aset lain seperti tanah maupun kuda sebagai sarana transportasi.

Lakunya para budak di kalangan orang-orang kaya Batavia tidak berbanding lurus dengan nasib mereka.

Alih-alih diperlakukan baik, mereka justru sering menjadi obyek penyiksaan kejam dan pemerkosaan.

Sebuah catatan menunjukkan bahwa pada abad ke-19  Batavia memiliki hampir 15 ribu manusia berstatus sebagai budak.

Ketika secara resmi sistem perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1860 perbudakan di Batavia masih terjadi.

Orang-orang Belanda masih hobi menangkapi sekaligus menjual secara diam-diam orang-orang di pedalaman Nusantara.

Praktik perbudakan di Nusantara mulai jarang terdengar dan mulai habis ketika zaman memasuki abad ke-20.

Ada kecurigaan sejarah perbudakan di Hindia ini secara sengaja dikaburkan oleh Belanda sampai sekarang, sehingga generasi milenial tidak mengetahui adanya praktik kejahatan kemanusiaan ini.

Eksploitasi dan imperialisme yang dilakukan oleh VOC di Hindia Belanda malah dianggap sebagai kehebatan bangsa Belanda dalam persaingan perdagangan internasional.

Yang diakui secara dangkal oleh Belanda sekarang hanya perbudakan di Suriname dan Antila dan juga Curacao, yang notabene adalah ada di wilayah Barat, tetapi pengisapan dan penjajahan di Hindia Belanda tidak diakui secara terbuka.

Keterlibatan Belanda dalam perbudakan berjalan seiring dengan perluasan kepentingan kolonial dan perdagangannya di seluruh dunia pada abad ke-17, yang disebut di Belanda sebagai Zaman Keemasan.

Setelah pendirian perusahaan perdagangan Dutch East India Company (VOC) pada 1602 dan Dutch West India Company (WIC) beberapa tahun kemudian, perdagangan, termasuk budak, berkembang pesat. 

Kota-kota besar di Belanda seperti Amsterdam menjadi sangat kaya, salah satunya karena perdagangan budak.

Kekayaan dari perdagangan budak ini secara tidak langsung memengaruhi gaya hidup orang Belanda, sehingga muncullah karya-karya seni hebat sebagaimana yang dihasilkan oleh Rembrandt.

Pola perbudakan Belanda sama saja dengan pola perbudakan di Amerika Utara maupun Amerika Selatan.

Negara-negara kolonial itu menyerang dan menundukkan negara yang lebih lemah dan kemudian menawan penduduknya untuk dijadikan budak.

Sejarah perbudakan Belanda dimulai pada 1634, ketika 1.000 budak diculik dari Gold Coast--sekarang Ghana—kemudian dibawa ke Brasil oleh WIC untuk bekerja di perkebunan.  

Pada tahun yang sama, WIC menundukkan Curacao, yang dengan cepat menjadi pusat perdagangan budak.

Pada 1667, Belanda merebut Suriname di pantai timur laut Amerika Selatan, yang berkembang menjadi koloni perkebunan dan sangat bergantung pada tenaga kerja budak dari Afrika. 

Untuk mengisi tenaga kerja di Suriname didatangkan hampir 200.000 budak dari berbagai wilayah, termasuk dari Jawa.

Itulah sebabnya mengapa sekarang banyak diaspora Jawa yang hidup di Suriname dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan.

Wilayah jajahan itu disebut sebagai’’Dunia Baru’’, sama dengan penyebutan Amerika Utara oleh orang Inggris.

Setidaknya 650.000 budak dibawa ke Dunia Baru.

Sebagian besar budak Belanda dibawa ke Cape Town dari Madagaskar modern.

Sayangnya, keterlibatan Belanda dalam perdagangan budak di Samudra Hindia dan Asia kurang diteliti dengan baik, dan karenanya sejarah perbudakan di Hindia Belanda pun kabur.

Belanda menjadi salah satu negara terakhir yang menghapus perbudakan pada 1 Juli 1863.

Namun, butuh satu dekade lagi di Suriname karena harus ada transisi wajib 10 tahun.

Pada masa transisi itu banyak budak harus terus melayani tuannya sampai 1873.

Kelompok oposisi di Belanda mengatakan bahwa 1 Juli 2023 depan adalah tanggal yang tepat untuk permintaan maaf karena tepat 150 tahun sejak perbudakan di Karibia benar-benar dihapuskan.

Isu permintaan maaf Belanda telah beredar selama bertahun-tahun, tetapi langkah kongkret baru diambil tahun lalu.

Sebuah laporan berisi 272 halaman oleh sebuah komisi merekomendasikan agar Belanda mengakui perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan meminta maaf.

Generasi milenial Belanda sekarang ini sangat mungkin tidak membaca novel karya Multatuli alias Edward Douwes Dekker (1820-1887) ‘’Max Havelar’’.

Novel yang terbit pada 1860 ini mengguncang Belanda, sampai akhirnya menyadarkan Pemerintah Belanda akan kekejaman mereka di Hindia, terutama karena program tanam paksa.

Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli.

Arti judul  Max Havelaar adalah ‘’Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda.’’ 

Buku ini berisi kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan. 

Salah satu bagiannya berkisah mengenai kisah cinta Saijah dan Adinda, sejoli anak petani melarat yang saling jatuh cinta di Lebak, Jawa Barat.

Saijah merantau bekerja di rumah keluarga Belanda di Batavia.

Beberapa tahun dia kembali, tetapi menjumpai kampungnya sudah luluh lantak dibakar Belanda, dan kekasihnya diculik.

Saijah akhirnya meninggal ketika berusaha membebaskan kekasihnya dari orang Belanda.

Buku ini mengguncang Belanda sampai melahirkan kebijakan ‘’Politik Etik’’ untuk membalas rasa bersalah kepada Hindia.

Beberapa orang pelajar Hindia diberi kesempatan untuk berkuliah di Belanda pada awal abad ke-20.

Lahirlah generasi pemimpin seperti Mohammad Hatta dan kawan-kawan, yang akhirnya membawa kemerdekaan Indonesia.

Kebijakan tanam paksa atau cultuur stelsel adalah salah satu episode perbudakan paling buruk dalam sejarah dunia.

Belanda harus mengakuinya terus terang dan meminta maaf, serta membayar ganti rugi untuk bangsa Indonesia. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler