Apa Kabar Balai Pustaka?

Selasa, 06 November 2018 – 14:47 WIB
Ilustrasi Balai Pustaka. Foto: Capture laman Google.

jpnn.com - PEMERINTAH kolonial Hindia Belanda menyadari betul bahwa literasi merupakan satu di antara strategi kebudayaan yang wajib ditempuh. Tujuannya, penyesuaian budaya Timur dan Barat, dengan tampilnya Barat sebagai pemimpin.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Pak Jokowi...Jika Laut adalah Tubuh, Sungai Tulang Rusuknya

Lembaga kolonial yang menangani bidang literasi itu bernama Kantoor voor de Volkslectuur, yang kemudian berganti nama jadi Balai Pustaka.
 
Hilmar Farid, yang kini menjabat Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pernah mengulas senarai hikayat Balai Pustaka dalam Jurnal Prisma, edisi Oktober 1991 di bawah judul Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda.

Melansir data dari buku Balai Poestaka Sewadjarnja 1908-1942 terbitan Yogyakarta 1948, Hilmar Farid menyebut, sejak semula lembaga ini memang tak pernah untung.

BACA JUGA: Siapa Bisa Terjemahkan Poros Maritim-nya Jokowi?

Pada 1921 pengeluarannya 553.080 gulden, pemasukan hanya 97.500 gulden.

Pada 1930 pengeluaran 693.242 gulden, dengan pemasukan 261.545 gulden.

BACA JUGA: Keasyikan Mochamad Saiful Telusuri Sejarah Surabaya

Pada 1941 pengeluaran 341.000 gulden, pemasukan 280.000 gulden.

Kendati tak pernah untung secara angka-angka, pemerintah Hindia Belanda tetap memberikan dukungan besar terhadap lembaga ini. Apa sebab? Ini sejarahnya…

Bacaan Rakyat?

22 September 1917. Hari itu, berdasarkan Keputusan No. 63, pemerintahan kolonial Hindia Belanda mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.

Atas usul Agus Salim, yang bekerja sebagai redaktur sepanjang 1917-1919, Kantoor voor de Volkslectuur, “berganti nama jadi Balai Poestaka,” tulis Ajip Rosidi dalam Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia, termuat di Jurnal Prisma, No. 4, Tahun VII, 1979.

Sejak itu, lembaga literasi yang dijalankan pemerintah kolonial ini kerap disebut BP, akronim dari Balai Poestaka.

BP punya empat bidang, yang masing-masing bekerja menurut rencana yang teratur dan pasti. Yaitu redaksi, administrasi, perpustakaan dan pers.

“Bagian redaksi merupakan bagian terpenting BP,” ungkap Hilmar Farid yang mengangkat tajuk Balai Poestaka dalam skripsinya di jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia.

“Karena di tempat inilah terjadi seleksi bacaan yang akan dilemparkan kepada rakyat. Segala bentuk penyuntingan mulai dari penggunaan bahasa sampai pada pengubahan isi cerita dilakukan bagian ini,” sambungnya.

Proses penyuntingan berjalan begitu ketat sehingga dari segi bahasa, karya terbitan BP, memiliki bentuk dan gaya yang seragam.

Penyeragaman bahasa inilah yang kemudian hari, hingga kini membawa pengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia.

Di sisi lain, terbitan BP rupanya mengandung dimensi ideologi dan politik.

Contoh, roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Terbitan BP ini sangat fenomenal pada masanya. Pernah pula diangkat ke layar kaca.

Kelihaian Marah Rusli dalam mengaduk-aduk perasaan membuat karya itu “abadi”. Sehingga muncul istilah “zaman Siti Nurbaya” untuk orang yang dikawin paksa.

Kini, renungkan dan cermatilah baik-baik. Siapa pahlawan dalam Siti Nurbaya?

Bukankah Samsul Bahri, seorang Letnan KNIL—tentara Hindia Belanda  yang menumpas perjuangan pergerakan rakyat melawan kolonialisme di Sumatera.

Dan, masih ingat tokoh antagonisnya?

Ya, Datuk Maringgih. Tokoh adat yang secara nyata menyerang pelaksanaan politik pajak kolonial dalam Perang Belasting di Ranah Minang, dengan “sangat manis” didudukkan sebagai orang tua tak tahu diri yang suka kawin.

Roman itu sekaligus mendegradasi nilai-nilai keperempuan di Minangkabau.

Dalam Siti Nurbaja seolah peranan perempuan atau istri hanya sekadar mengurus rumah tangga. Padahal, kedudukan perempuan di Minang, jauh lebih tinggi dari itu.

Bahkan, menarik lini masa sezaman, pada masa Perang Belasting atau Perang Pajak  berkecamuk pada 1908 di Minangkabau, satu di antara pimpinannya yang sangat melegenda adalah Siti Manggopoh.

Bersama pasukannya, Siti Manggopoh membantai serdadu Belanda yang baru saja mendirikan markas di wilayah Tiku, Pantai Barat Sumatera.

Jangan pernah berharap menemukan kisah sejarah perjuangan Siti Manggopoh dalam buku-buku terbitan Balai Poestaka.

Karena, pada 1923, sebagaimana dicuplik Pramoedya Ananta Toer dalam Tempo Doeloe, Kepala Balai Poestaka (BP) D.A. Rinkes pernah berkata, “ia (BP) tentu saja akan menjadi benteng kekuasaan dan ketentraman. Di mana perkembangan sosial dalam pengertian yang paling luas, dapat berjalan tanpa gangguan.”

Pernyataan Rinkes ini, menurut Hilmar Farid, jelas memperlihatkan posisi BP sebagai lembaga yang mempertahankan kekuasaan kolonial.

Keuntungan yang diraih Hindia Belanda dari BP bukan secara finansial. Maka, meski merugi negara tetap menyokong lembaga literasi tersebut.

Kini, Balai Pustaka masih ada. Jika dulu pemerintah kolonial lihai betul mempergunakannya sebagai instrumen strategi kebudayaan, bagaimana dengan hari ini? (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hari Maritim: Beribu Maaf, Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler