Hannah telah disuntik vaksin Sinovac dan sedang menunggu suntikan kedua. (Supplied)

Hanna, seorang warga Australia di Tiongkok, telah disuntik vaksin Sinovac yang belum mendapat persetujuan penggunaan di negaranya.

Warga asing yang tinggal di Tiongkok baru mendapatkan giliran vaksin bulan lalu. Saat itu juga Hannah mendaftar untuk disuntik.

BACA JUGA: Remaja di Facebook Berisiko Jadi Sasaran Iklan Minuman Keras, Rokok Elektronik, dan Perjudian

Dengan biaya sekitar Rp200 ribu, ia menyebut proses vaksinasi yang dilakukannya di Tongren Hospital di Shanghai berjalan lancar, melayani 140 orang dalam 30 menit.

"Hanya perlu 10 menit dari awal hingga akhir," ujarnya seraya menambahkan 30 menit ia habiskan untuk menjalani pemeriksaan awal.

BACA JUGA: Melbourne Akan Terima Kembali Mahasiswa Internasional Mulai Bulan Depan

"Mungkin mengejutkan ya, dari omongan orang tentang vaksinasi, lebih sulit mendapatkannya di negara sendiri daripada di sini," kata Hanna yang tinggal di Shanghai.

Ia memiliki usaha di sana, mengimpor merek-merek minuman ternama dari Australia ke Tiongkok.  

BACA JUGA: Tekor Rp 1 Triliun Setiap Tahun, Petani Australia Kesulitan Basmi Babi Liar

Setelah divaksin, Hanna mengaku mengalami efek samping ringan, seperti lengan terasa kram, kelelahan dan mual selama beberapa hari.

Namun sampai sekarang tidak ada kepastian apakah vaksin Sinovac yang dia terima akan diakui di Australia.

"Australia mungkin tidak mengakui vaksin Sinovac, dan (penerimanya) masih memerlukan karantina. Maksud saya, terlalu banyak politik terkait masalah ini," katanya.

"Kemungkinan besar saya akan menerima vaksin ganda. Tentunya saya akan minta nasehat dokter," ujar Hanna.

Sebenarnya bukan hanya vaksin buatan Tiongkok yang belum mendapatkan persetujuan penggunaan di Australia.

Vaksin lainnya seperti Moderna, Johnson & Johnson, dan vaksin Sputnik V buatan Russia juga tidak dipakai di sini.

Sebaliknya, bagi warga asing di Tiongkok, vaksin Pfizer dan AstraZeneca tidak bisa didapatkan karena negara itu belum menyetujui penggunaan vaksin buatan negara lain. 'Kami bukan sok pilih-pilih vaksin'

Peter Hildebrand, yang tinggal di Shenzhen dan mengelola hotel Park Hyatt, mengaku ingin segera divaksin sehingga ia langsung mendaftar begitu kesempatan bagi orang asing dibuka.

“Saya tak punya pilihan vaksin mana yang saya dapatkan. Jadi saya disuntik vaksin Vero Cell,” kata Peter mengacu pada salah satu dari dua vaksin buatan Sinopharm.

"Kami bukan sok pilih-pilih vaksin di sini. Kami hanya menerima apa yang tersedia," ujarnya.

"Bagi saya, sangat perlu divaksinasi sesegera mungkin, karena situasi saya sulit, keluarga saya terjebak di Hong Kong," kata Peter.

Meskipun Peter merupakan penduduk tetap di Hong Kong dan dapat bepergian ke sana dengan mudah - kereta cepat hanya membutuhkan waktu 20 menit - namun dia harus dikarantina dua minggu sekembalinya ke daratan Tiongkok setelah liburan Natal yang lalu.

"Awalnya saya bertekad untuk hanya menerima vaksin yang paling efektif, dan yang paling sedikit berbahaya bagi kesehatan," katanya.

Namun pilihan baginya adalah menunggu suntikan vaksin yang dia sukai atau bertemu keluarganya lebih cepat.

Warga Australia lainnya di Guangzhou, Gary, yang meminta nama belakangnya tak disebutkan, mengaku belum divaksin meski sudah lama menunggu.

"Saya terima saja bila divaksin Sinovac. Tapi sayangnya, pemerintah di sini memiliki kebijakan bagi orang berusia di atas 60 tahun dan pekerja asing, maka tidak boleh divaksinasi," katanya.

Dia berharap bisa ke Australia pada akhir tahun untuk divaksinasi, tapi tidak mau divaksin AstraZeneca karena laporan adanya efek penggumpalan darah.

Gary mengatakan akan langsung antri jika saja dia memenuhi syarat untuk vaksin Sinovac atau Sinopharm.

"Banyak ketidakpastian bahwa saya mungkin kena virus corona di pesawat atau di hotel karantina di Australia. Itu kekhawatiran utama saya saat ini," ujar Gary saat ditanya keinginannya pulang ke Australia.

"Ayah saya sudah tua, jadi saya ingin menjenguknya tapi saya merasa agak tidak nyaman. Jika saya divaksin, jelas akan memberikan ketenangan," ujarnya. WHO meninjau dua vaksin buatan Tiongkok 

Di Australia, badan pengawas obat Therapeutic Goods Administration (TGA) hanya menyetujui penggunaan dua vaksin COVID-19, yaitu Pfizer dan AstraZeneca.

Namun, dua vaksin buatan Tiongkok sendiri saat ini akan direview oleh organisasi kesehatan dunia WHO.

Menurut epidemiolog dan penasehat WHO Prof Mary-Louise McLaws, persetujuan dari lembaga ini bisa membalik keadaan.

WHO dijadwalkan melakukan review atas vaksin Sinopharm pekan ini untuk kemungkinan masuk dalam daftar penggunaan darurat. Sedangkan vaksin Sinovac akan direview pada 3 Mei.

Keputusan WHO diharapkan sudah diumumkan beberapa hari setelah review.

Sinopharm sebelumnya melaporkan tingkat kemanjuran vaksinnya mencapai 79 persen, sedangkan Sinovac bervariasi dari 50,4 persen hingga 83,5 persen.

Pedoman WHO mengharuskan vaksin COVID-19 memiliki tingkat kemanjuran 50 persen.

Laporan terbaru dari Pfizer dan AstraZeneca menunjukkan tingkat kemanjuran vaksin ini masing-masing 91,3 persen dan 76 persen.

Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok, Gao Fu, sebelumnya menyatakan vaksin buatan Tiongkok "tidak memiliki tingkat perlindungan yang sangat tinggi" dan pihaknya mempertimbangkan untuk memadukannya agar lebih kuat.

Tetapi Prof Mary-Louise menyebut skeptisisme tentang vaksin Tiongkok akibat kurangnya data tinjauan sejawat sama sekali tak berdasar dan bahkan mengarah pada "rasisme ilmiah"

"Pendapat bahwa ulasan sejawat dalam jurnal medis lebih penting daripada review WHO yang terdiri dari pakar dunia kekeliruan dari rasisme ilmiah," ujarnya.

"Saya akan menunggu sampai WHO yang terdiri atas dari banyak pakar, mengumumkan apakah mereka percaya vaksin ini aman atau tidak," kata Prof Mary-Louise. Vaksinasi bukan 'obat mujarab'

Departemen Kesehatan Australia menyatakan prioritas pemerintah adalah mendapatkan akses vaksin yang aman dan efektif.

"Pemerintah Australia tak dapat memberikan pendapat mengenai keamanan, kualitas dan keefektifan vaksin yang telah mendapatkan persetujuan di luar proses peraturan di Australia," katanya.

"TGA hanya akan mendaftar vaksin jika manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya," tambahnya.

Penjelasan dari Depkes menambahkan bahwa aturan perjalanan internasional tetap tidak berubah, terlepas dari status vaksinasi seseorang.  

Aturan tersebut menyebutkan warga negara dan penduduk tetap Australia yang ingin pulang ke Australia saat ini, harus menjalani karantina hotel selama 14 hari, meski telah divaksin di negara lain.

"Mereka yang tiba di Australia akan diminta menjalani karantina meski mereka memiliki bukti telah divaksinasi," katanya.

"Vaksinasi tidak dianggap sebagai obat mujarab atau pengganti dari tindakan kesehatan masyarakat lainnya. Vaksinasi dianggap sebagai pelengkap saja terhadap tindakan lainnya," demikian keterangan Depkes Australia.

Ketua Kamar Dagang Tiongkok-Australia Nick Coyle mengatakan perlu kerjasama antarnegara dalam hal vaksin.

Ia mengaku telah disuntik vaksin Sinopharm di Beijing dan menyebut adanya kepercayaan yang tinggi pada pemerintah Tiongkok.

Namun beberapa warga negara Tiongkok mengatakan kepada ABC bahwa mereka akan menunggu dan melihat sebelum ikut vaksinasi.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hong Kong dan Singapura Sepakati Koridor Perjalanan Bebas Karantina Mulai 26 Mei

Berita Terkait