jpnn.com, JAKARTA - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 tentang penghapusan pungutan ekspor pada seluruh produk ekspor kelapa sawit hingga 31 Agustus 2022 dinilai tidak cukup untuk memperbaiki harga sawit di tingkat petani.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia Arief Poyuono mengatakan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani tak akan bisa stabil jika keran ekspor masih macet.
BACA JUGA: Petani Gembira, Harga Sawit Mulai Normal, Biaya Produksi Terpenuhi
"Apalagi stok CPO nasional sebesar 8,1 juta tersebut tidak normal. Sebab, pada kondisi biasanya, stok minyak sawit Indonesia rata-rata tiga juta ton. Hal inilah yang membuat harga minyak sawit anjlok belakangan ini," ungkap Arief dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (1/8).
Arief menyebut saat ini musim puncak panen sawit telah berjalan sejak Juli dan akan terus berjalan hingga Januari mendatang.
BACA JUGA: Alhamdulillah, Harga TBS Sawit Makin Moncer, Jadi Sebegini
Artinya, pengusaha membutuhkan tempat penampungan lebih banyak untuk menyerap TBS.
"Bila tidak, pengusaha tidak akan dapat menyerap TBS sawit petani yang berlanjut terhadap tertahan rendahnya harga TBS sawit," ungkapnya.
BACA JUGA: KLHK Tindak Perkebunan Sawit Ilegal di Bangka, Orang Penting Diduga Terlibat
Arief menyebut stok CPO yang melimpah merupakan akibat dari dampak dari berubah-ubahnya kebijakan pemerintah terhadap industri minyak sawit, khususnya dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng.
“Dengan banyaknya kebijakan pemerintah dalam enam bulan terakhir membuat stok minyak sawit nasional melimpah. Biasanya tiga juta ton sekarang pada Juli 8,1 juta ton. Ini yang membuat harga minyak sawit internasional turun," bebernya.
Dia menegaskan angka ini mencapai di ambang batas yang tak bisa bergerak, overstock, mencapai 8,1 juta ton.
"Ini harus segera dikeluarkan," tegas Arief.
Arief menjelaskan dengan skema Domestik Market Obligation (DMO) dan Persetujuan Ekspor (PE), diperkirakan volume ekspor CPO pada Juli dan Agustus hanya bisa tercapai di angka 1,89 juta ton dan 1,9 juta ton.
Kemudian, dengan skema Domestik Market Obligation (DMO) dan Persetujuan Ekspor (PE), Arief memperkitakan volume ekspor CPO pada Juli dan Agustus hanya bisa tercapai di angka 1,89 juta ton dan 1,9 juta ton.
“Artinya, stok yang 8,1 juta ton di awal Juli 2022 ini, dalam 2 bulan ini baru bisa berkurang ke level 3,31 juta ton di akhir Agustus 2022,” ungkap Arief Poyuono. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul