Apresiasi Wacana Pengelolaan Pajak Oleh Badan di Bawah Presiden

Sabtu, 23 Agustus 2014 – 19:46 WIB

jpnn.com - WACANA pengeloaan pajak oleh badan tersendiri setingkat kementerian di bawah Presiden diapresiasi oleh beberapa pihak. Analis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo mengatakan bahwa hal itu adalah gagasan yang bagus. Menurutnya, pemerintahan baru akan menanggung risiko penyempitan ruang fiskal karena potensi perlambatan ekonomi yang mengancam pertumbuhan penerimaan pajak menuju titik nadir. Yakni di bawah dua digit atau di bawah 10 persen.

"Pemerintahan baru harus melakukan reformasi sistem perpajakan secara menyeluruh. Reformasi itu harus menyentuh aspek kebijakan, ketentuan, maupun administrasi. Selain itu pemerintah harus menyusun skala prioritas dan standar capaian kinerja yang terencana, terarah, dan terukur," kata Yustinus. 

BACA JUGA: Lebaran 2014, KAI Raup Pendapatan Rp 361 M

Nah, terkait perpajakan 5 tahun ke depan, pemerintah harus mencerminkan perimbangan penegakan hukum, perlindungan hak wajib pajak, pelayanan prima, dan redistribusi pendapatan yang lebih baik. 

Yustinus melanjutkan, selama 10 tahun Pemerintahan Presiden SBY, tax ratio (perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto) hanya sebesar 12,3 persen atau naik 0,2 persen dari kondisi 2004. 

BACA JUGA: Penerapan Ekspor Terdaftar Batubara Ditunda

Nilai itu, kata dia, berada di bawah rerata tax ratio negara sebaya (lower-middle income countries) sebesar 17,7 persen. Selain itu juga di bawah standar tax ratio untuk mencapai tujuan pembangunan millenium sebesar 25 persen. Yang memperihatikan, lanjut Yustinus, tax ratio Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. 

"Kondisi ini amat memprihatinkan karena kebutuhan pembiayaan pembangunan yang amat besar tidak diikuti peningkatan penerimaan pajak yang signifikan," kata dia.

BACA JUGA: Pengamat: Merpati dan Kertas Leces Bangkrut karena Terganjal PP 41/2003

Menurutnya, rendahnya tax ratio mencerminkan tidak adanya peta jalan pembentukan sistem perpajakan nasional yang baik. Hal ini tercermin dalam  fakta target penerimaan pajak dalam 4 tahun terakhir tidak pernah tercapai. Penyebabnya, adalah lambatnya penambahan jumlah wajib pajak (baru mencapai sekitar 25 juta pada 2013 dari 60 juta penduduk potensial). Selain itu, rendahnya tingkat kepatuhan pajak juga menjadi penyebab rendahnya tax ratio. 

Yustinus melanjutkan, penetapan tax ratio 2015 sebesar 12,3 persen tidak sekedar konservatif, tetapi juga menunjukkan kemalasan berinovasi dan berkreasi menciptkan terobosan di tengah himpitan perlambatan ekonomi. 

"Sumber-sumber potensi penerimaan pajak belum dipetakan secara baik dan upaya pemungutan pajak belum dilakukan dengan optimal. Hal ini tampak dalam timpangnya tax ratio sektoral, terutama sektor-sektor unggulan yang berkontribusi besar terhadap PDB seperti perkebunan dan kehutanan, pertambangan, konstruksi, dan jasa," imbuhnya. (mas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Stok Solar di Batam akan Habis Dua Bulan Lagi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler