Arah Kebijakan Politik Hukum Terkait RUU Tentang Komisi Yudisial

Oleh: I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Kamis, 20 Juli 2023 – 20:16 WIB
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menganut kedaulatan di tangan rakyat.

Ini merupakan penegasan bahwa Indonesia menganut sistem kedaulatan rakyat yang berdasar pada falsafah Pancasila dan negara demokrasi.

BACA JUGA: Membumikan Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa

Oleh sebab itu dalam UUD NRI 1945, Indonesia mengenal sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Di dalamnya terkandung sistem check and balances dan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dalam kesamaan kedudukan (Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945).

BACA JUGA: Pendapat Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Masa Jabatan Pimpinan KPK

Dengan begitu, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara sama kedudukannya di dalam hukum.

Cabang kekuasaan yudikatif atau sistem peradilan yang ada saat ini menjadi salah satu pintu bagi para pencari keadilan yang sesuai dengan falsafah Pancasila (terutama sila kelima) dan amanat Konstitusi.

BACA JUGA: UWM Sebut Komisi Yudisial Tanpa Dukungan Masyarakat seperti Macan Ompong

Lembaga peradilan diwujudkan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasca-amendemen, kekuasaan kehakiman tersebut dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.

Pada kenyataan di lapangan, karut-marut sistem peradilan yang terjadi sebelum dan pasca-era reformasi, masih membutuhkan banyak perbaikan.

Permasalahan mengenai lembaga peradilan dan pelaksanaan kekuasan kehakiman masih sering ditemui sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Beberapa permasalahan tersebut antara lain masih ditemukannya mafia hukum dan peradilan baik dalam proses maupun eksekus, banyaknya pelanggaran etik atau hukum oleh hakim dan pegawai peradilan, kurangnya dukungan anggaran bagi kesejahteraan dan pelaksanaan operasional bagi hakim dan pegawai pengadilan terutama di wilayah, dan keterlibatan dalam beberapa kasus korupsi (hakim, panitera atau staf pendukung yang terlibat dalam kasus korupsi tersebut).

Beberapa permasalahan yang terjadi menunjukkan urgensi perbaikan dan peningkatan terhadap kualitas dan integritas hakim dan lembaga peradilan.

Beberapa program Mahkamah Agung saat ini seperti keterbukaan informasi publik, peningkatan kesejahteraan, pengawasan internal, dan sistem manajemen perkara memang menjadi lebih baik, namun begitu MA tetap membutuhkan peran Komisi Yudisial dalam membangun citra peradilan yang bersih, luhur, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita Konstitusi.

Sebagaimana amanat dalam UUD NRI 1945, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang mandiri dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B Ayat (1) UUD NRI 1945).

Maka, kedudukan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang memiliki kewenangan strategis dan independen dalam rangka mendukung sistem check and balances terhadap sistem peradilan yang bersih dan berintegritas, sebagai forum pelayanan publik dalam rangka pencarian keadilan.

Amanat Konstitusi mengenai Komisi Yudisial dan kewenangannya tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Tugas dan kewenangan KY dalam Pasal 13 dan 20 UU KY yang menegaskan kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Selanjutnya dalam Pasal 21, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.

Namun dalam perjalanannya, ketentuan yang mengatur tugas dan kewenangan ini, kemudian mendapat judicial review untuk menguji dampaknya terhadap asas independensi hakim.

Dalam putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, MK membatalkan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) huruf e, Pasal 22 Ayat (5), Pasal 23 Ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 25 Ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Konsekuensinya adalah kini KY hanya menjalankan fungsi pengawasan yang bersifat eskternal dan pengusulan sanksi sudah tidak mutlak lagi.

Selain itu, MK juga mengeluarkan putusan terkait dengan kewenangan KY dalam seleksi hakim, yakni, dengan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh perwakilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang mempermasalahkan Pasal 14A UU No. 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan rumusan serupa dalam UU Nomor 50 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan Agama) dan UU Nomor 51 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan Tata Usaha Negara), dimana proses seleksi hakim yang dimandatkan UU yang dilakukan oleh MA bersama KY, dianggap merupakan intervensi terhadap independensi peradilan dan menyebabkan MA bergantung pada KY untuk melaksanakan seleksi hakim.

Putusan ini memberikan kewenangan hanya kepada MA untuk mengadakan seleksi hakim di lingkup peradilan umum, agama, dan tata usaha negara.

Sebagai perbandingan umum, kewenangan lembaga sejenis Komisi Yudisial diatur secara berbeda pula di berbagai negara. Di negara-negara Eropa Selatan, lembaga ini cenderung memiliki kewenangan terbatas, yaitu rekrutmen hakim, melakukan mutasi dan promosi, serta pengawasan dan pendisiplinan hakim.

Sedangkan di negara-negara Eropa Barat cenderung memiliki kewenangan yang lebih luas. Kewenangan tersebut tidak hanya rekrutmen, sistem mutasi dan promosi, dan pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan (seperti contohnya perumahan hakim dan pendidikan hakim).

Kendala yang dihadapi KY tidak hanya dari sisi kebijakan atau aturan, namun juga masih belum terpenuhinya struktur organisasi KY yang ideal.

Saat ini peran Kesekjenan masih seringkali merangkap tugas yakni fungsi administratif dan operasional.

Komisi III DPR RI tentu memiliki catatan terhadap temuan-temuan ini dan menjadi salah satu hal yang perlu dikaji lebih jauh, yakni persoalan tentang bagaimana memberikan penguatan terhadap KY dan sistem pengawasan terhadap lembaga peradilan tanpa harus menciderai prinsip kemandirian yudikatif atau independensi hakim.

Sesuai tugas dan fungsi DPR RI, upaya penguatan terhadap KY sebenarnya telah dilakukan melalui fungsi DPR yakni Anggaran, Legislasi, dan Pengawasan.

Penguatan kelembagaan KY dilakukan dengan dukungan anggaran. Misalnya pada pagu anggaran tahun 2023, Komisi III DPR RI telah menyepakati anggaran sebesar Rp 179,03 miliar dimana anggaran tersebut per tahunnya selalu meningkat, kecuali pada tahun 2020 karenamengalami pandemi.

Selanjutnya, dari sisi pengawasan, dalam setiap Rapat Kerja Komisi III DPR RI selalu mengingatkan KY sekaligus memberikan kritik konstuktif kepada KY selaku mitra Komisi III agar dalam pelaksanaan tugasnya supaya tegak lurus terhadap konstitusi dan aturan perundang-undangan.

Sebagai lembaga independen, Komisi Yudisial didorong agar lebih meningkatkan kualitas kinerja khususnya dalam melakukan rekrutmen hakim-hakim secara berkualitas, melakukan pengawasan dan sanksi bagi para hakim serta menghindari konflik kepentingan dengan kasus yang ditangani, termasuk konflik di internalnya sendiri.

Komisi III DPR selanjutnya juga memperhatikan kebutuhan dukungan legislasi dalam hal terdapat kendala di lapangan.

Dari berbagai catatan tersebut, Komisi III DPR RI melihat dalam pelaksanaan UU KY saat ini tentu menghadapi berbagai persoalan atau kendala. Dalam hal ini Komisi III DPR RI memiliki beberapa catatan yakni:

Pertama, Komisi Yudisial masih belum dapat dikatakan sebagai mitra strategis MA dalam mengawasi hakim bermasalah. Hal ini terlihat dari pemahaman yang belum sepenuhnya sama atas pengaturan mengenai KEPPH (Kode Etik da Pedoman Perilaku Hakim).

Antara KY dengan MA selalu terdapat perbedaan pandangan, khususnya yang menyangkut pelanggaran terhadap prinsip kedisipilinan dan profesionalisme. Tantangan utama KY yakni menyelesaikan aduan (laporan masyarakat) yang masuk dengan proses penyelesaian terhadap aduan tersebut.

Kedua, Mengenai sinergisitas MA dan KY dalam kolaborasi pengawasan. Komisi III DPR memandang bahwa perlu terdapat pengaturan yang jelas mana yang menjadi wilayah atau bagian dari MA dan KY agar tidak saling bersinggungan, sehingga lebih efektif dan efisien.

Hal ini termasuk mana yang menjadi wilyah pelanggaran perilaku (misconduct) dan mana yang merupakan teknis yudisial (legal error). Dipahami bahwa keduanya dapat saling berkaitan, sehingga perlu ada garis pemisah yang jelas untuk memberi kepastian hukum.

Ketentuan ini termasuk juga untuk menghindari dualisme atau sidang putusan etik yang obyeknya sama oleh MA dan KY.

Ketiga, Usul penjatuhan sanksi dari KY masih terbilang rendah dalam pelaksanaannya. KY telah mengusulkan sanksi hakim bermasalah kepada MA, namun demikian KY tidak mendapatkan laporan secara lengkap atas tindak lanjut sanksi yang diusulkan tersebut.

Pendapat MA biasanya antara lain, Usul tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pelanggaran bersifat teknis yudisial sehingga tidak tepat untuk dijatuhi sanksi; atau Usul penjatuhan sanksi atau termasuk usul MKH tidak dapat dilaksanakan karena Mahkamah Agung telah menjatuhkan sanksi terlebih dahulu terhadap hakim.

Lebih jauh lagi bahkan seringkali, hakim-hakim yang pernah diberikan sanksi oleh KY justru dipromosikan oleh Mahkamah Agung.

Oleh sebab itu, Komisi III DPR RI melihat kebutuhan pengaturan untuk penyelenggaraan tindak lanjut usulan atau rekomendasi KY, termasuk dalam sistem evaluasi dan penilaian kinerja Hakim.

Keempat, dalam praktek, KY masih sulit untuk mengusulkan penyelenggaraan MKH terkait dengan pelanggaran berat yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum karena Putusan MA berpendapat agar menunggu keputusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.

Kelima, Komisi III DPR RI juga melihat pentingnya program-program KY dalam meningkatkan kompetensi dan integritas yang nantinya dapat diukur dengan output kualitas putusan dan hasil yang dapat membantu peningkatan karir dan profesionalisme hakim.

Keenam, Ketentuan mengenai pemanggilan paksa. Pemanggilan paksa oleh KY hanya dapat dilakukan dengan bantuan aparat penegak hukum (khususnya pihak Kepolisian). Sedangkan pihak Kepolisian berpandangan bahwa pemanggilan paksa hanya dapat dilakukan terhadap jenis pelanggaran yang mengarah pada perbuatan pidana.

Hal ini menjadi persoalan karena penegakan KEPPH tidak selalu mengandung unsur pidana sekalipun apabila terdapat perbuatan pidana yang dilakukan oleh hakim, pasti mengandung unsur pelanggaran KEPPH.

Terkait hal ini perlu ada penormaan terhadap mekanisme pemeriksaan dan pemanggilan secara lebih komprehensif agar pihak Kepolisian juga memiliki dasar hukum dan kewenangan yang sesuai.

Ketujuh, Perihal kebutuhan kewenangan untuk melakukan penyadapan. Pada saat ini, ketentuan tentang penyadapan sedang dibahas oleh Komisi III DPR RI karena sangat prinsipil sesuai dengan Putusan MK. Aturan mengenai penyadapan memang kompleks karena mengandung banyak singgungan dengan Hak Asasi Manusia.

Pada saat ini, KY memiliki ketergantungan dengan aparat penegak hukum dalam hal terjadi dugaan pelanggaran hukum.

Dengan aturan saat ini, penyadapan atau intersepsi hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan penegakan hukum.

Sedangkan dalam hal ini Komisi Yudisial tidak termasuk dalam area penegakan hukum. Kewenangan ini diakui akan sulit dalam perjalanannya karena sangat sensitif dengan pelanggaran HAM dan mekanismenya harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan berimplikasi sanksi.

Kedelapan, Komisi III DPR RI melihat bahwa perlu adanya aturan bagi KY untuk lebih mengoptimalkan peran serta masyarakat dengan membangun sistem aduan atau whistleblowing, yang mendapat perlindungan bersama dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini peran KY untuk dapat lebih mendegarkan keluhan dan pengaduan masyarakat.

Kesembilan, Mengenai perekrutan hakim ad hoc yang saat ini mengalami krisis sumber daya manusia. KY memerlukan langkah yang lebih proaktif

Kesepuluh, catatan mengenai rekrutmen hakim agung yang kemudian diserahkan pada Komisi III DPR RI. Banyak dari calon hakim agung yang pada saat menjalani uji kelayakan di DPR justru memperlihatkan kelemahan baik secara kompetensi maupun rekam jejak.

Hal ini tentu mempengaruhi pada putusan Anggota dan Fraksi di DPR RI dan tentunya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas lembaga peradilan atau proses seleksi oleh KY sendiri.

Komisi III DPR RI melihat bahwa peran KY dalam menegakkan etik tentu masih diharapkan dan perlunya dukungan dengan instrumen yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Namun begitu dengan adanya beberapa Putusan MK, RUU KY yang akan diajukan tentu membutuhkan harmonisasi dan pengaturan yang hati-hati.

Beberapa prinsip dan hal yang dibutuhkan dalam perubahan UU KY terutama adalah dalam rangka pelaksanaan tugas KY untuk menjaga etik, kehormatan dan keluhuran hakim, melakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, dan peningkatan dukungan lain terhadap hakim-hakim, khususnya di wilayah yang seringkali terkendala, baik anggaran tunjangan maupun transportasi.

RUU KY juga tentu diharapkan dapat memberi kejelasan tentang mana yang menjadi wilayah kewenangan etik, teknis yudisial, atau dalam hal kebutuhan penanganan secara bersama.

Penutup

Dari berbagai persoalan dan kendala yang masih ada dan tentunya menghambat pelaksanaan tugas dan kewenangan KY, peran KY dalam melakukan pengawasan dan peningkatan integritas kekuasaan kehakiman sangat dibutuhkan oleh masyarakat di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan.

Untuk itu dibutuhkan forum untuk mendudukan seluruh kepentingan bersama dan dilakukan sinergi dan kolaborasi produktif antara pemangku kepentingan yaitu KY dan MA.

RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY telah masuk dalam Prolegnas tahun 2019-2024.

Adapun tujuan revisi ini adalah untuk dapat menjawab persoalan yang telah ada tersebut sekaligus menjadi solusi penguatan KY baik dari sisi kelembagaan maupun marwah KY dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam menjaga keluhuran dan martabat hakim.

Adapun catatan-catatan penting yang perlu dipertimbangkan dalam RUU tentang Perubahan Kedua atas UU KY tersebut antara lain mengenai peningkatan dukungan terhadap pelaksanaan tugas KY dari sisi tata kelola organisasi dan kelembagaan, yakni peningkatan sumber daya dari Kesekjenan dan Kedeputian maupun apabila dimungkinkan dukungan untuk pembentukan perwakilan di daerah-daerah.

Selanjutnya, dukungan untuk kewenangan dalam melakukan pemeriksaan dan pengusulan sanksi yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pengawasan terhadap profesionalitas kerja dan integritas hakim serta jajaran pendukungnya.

Kemudian dukungan untuk memperkuat kerja sama dengan lembaga peradilan dalam proses seleksi calon hakim agung dan pengangkatan hakim dalam bidang KEPPH, keterbukaan untuk peningkatan partisipasi publik dalam mendukung kinerja KY, dan jaminan pelaksanaan tugas dan kewenangan KY secara mandiri dan bebas dari pengaruh atau tekanan manapun.

Poin-poin tersebut diatas menjadi perhatian kita bersama dalam melakukan kajian dan pendalaman terhadap RUU KY.

Dalam hal ini kami berpendapat bahwa penguatan tidak hanya dalam hal memberikan kewenangan atau daya paksa, melainkan juga bagaimana pendekatan aturan untuk dapat memastikan pelaksanaan asas dan prinsip yang diatur dalam undang-undang, tindakan dan sanksi yang jelas terhadap pelanggaran, hingga parameter yang terukur dalam hal melakukan evaluasi atau eksaminasi.

Peran KY dalam mendukung MA lebih dibutuhkan dalam hal memastikan penilaian perilaku dan kinerja Hakim yang akuntabel, profesional, dan berorientasi pada tujuan peradilan yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Diharapkan nantinya perubahan terhadap UU KY akan mendukung KY dalam menciptakan lembaga peradilan yang bersih, bermartabat, serta menjadi andalan utama masyarakat pencari keadilan, khususnya bagi masyarakat yang teraniaya dan membutuhkan keadilan dari Hakim yang mandiri, bebas, dan independen.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler