Arahkan Inflasi Sesuai Sasaran, BI Tahan Suku Bunga

Jumat, 09 Mei 2014 – 02:23 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (BI rate) di level 7,5 persen. Begitu pula suku bunga lending facility dan deposit facility yang masing-masing tetap berada pada level 7,5 persen dan 5,75 persen.

Kebijakan tersebut dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju sasaran 4,5 persen plus minus 1 persen pada 2014. Serta, dapat menurunkan defisit transaksi berjalan di kisaran 3 persen akhir tahun.

BACA JUGA: Pasok Produk Farmasi, RNI Gandeng PP Muhammadiyah

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, pihaknya masih mengambil pilihan kebijakan moneter ketat kendati posisi inflasi sudah berada di bawah suku bunga acuan. Per April 2014, inflasi tahunan tercatat 7,25 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy), atau menurun dibandingkan inflasi tahunan Maret 2014 sebesar 7,32 persen (yoy).

"Pengetatan ini terkait dengan inflasi, defisit transaksi berjalan, dan seberapa besar kita dapat mengendalikan kekuatan permintaan domestik. Pertumbuhan kita di atas 5 persen diapresiasi oleh internasional. Ini menujukkan upaya moderasi perkembangan ekonomi yang beberapa waktu lalu kencang cukup berhasil," ujarnya di Jakarta, Kamis (8/5).

BACA JUGA: Kemenhub Kerjasama dengan Pelindo III

Chief Economist PT Bank Negara Indonesia Tbk Ryan Kiryanto mengatakan, kebijakan BI menahan suku bunga acuan 7,5 persen merupakan langkah yang tepat. Sebab, ekspektasi inflasi masih tinggi lantaran efek El Nino dan defisit transaksi berjalan yang masih besar.

"Keputusan tersebut juga konsisten dengan stance kebijakan moneter BI sepanjang tahun ini yang cenderung ketat karena targetnya stabilisasi ekonomi. Diharapkan, inflasi menurun dan defisit transaksi berjalan mengecil," terangnya.

BACA JUGA: Maret 2015, KPR Subsidi untuk Rumah Tapak Dihentikan

Sementara itu, untuk ketiga kalinya BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI. Rapat dewan gubernur (RDG) memutuskan untuk merendahkan target akselerasi produk domestik bruto (PDB) ke level 5,1-5,5 persen. Koreksi ini paling utama dipicu oleh pelemahan data ekonomi, khususnya performa ekspor Indonesia.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, perlambatan ekspor barang tambang dan batu bara memang berdampak signifikan terhadap penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Padahal, ia menilai, sumber pertumbuhan lainnya cenderung lebih positif.

"Domestic demand, investasi, dan spending pemerintah berjalan baik. Bahwa kondisi moneter ketat, memang membawa inflasi (tekanan harga) lebih yakin ke tingkat yang normal. Termasuk untuk menekan desifit transaksi berjalan," ungkapnya usai rapat dewan gubernur (RDG) BI, di Gedung BI, kemarin (8/5).

Sebelumnya, pada Januari 2014, BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi berada di level 5,8-6,2 persen. Selang dua bulan, tepatnya Maret 2014, otoritas moneter merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi pada rentang 5,5-5,9 persen. Selanjutnya, per Mei 2014, BI mengoreksi kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah pada kisaran 5,1-5,5 persen.

Koreksi ini juga didasarkan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi secara riil per kuartal pertama tahun ini yang melorot menjadi 5,21 persen, dari 5,72 persen pada kuartal empat 2013. Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan yang paling rendah sejak 2009 silam.

Selain mempertimbangkan kondisi ekspor komoditas yang belum pulih, kondisi current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan juga masih di kisaran 2,06 persen dari PDB, atau senilai USD 4,1 miliar. Terlebih lagi pada kuartal kedua tahun ini, Agus mengatakan, sedikit ada peningkatan CAD karena faktor musiman. Misalnya pembayaran kewajiban luar negeri yang tinggi, serta siklus perdangan.

"CAD ini jadi tantangan. Namun kita tunjukkan kalau kondisi lebih baik. Kalau pertumbuhan dikoreksi, betul-betul karena kinerja ekspor," tekannya.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo memerinci, semula pihaknya memperkirakan ekspor riil barang dan jasa tumbuh 8,1-8,5 persen. Sehingga, proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,5-5,9 persen.

"Namun setelah lihat pertumbuhan Tiongkok, faktor penurunan harga mineral, batu bara, dan karet, serta dampak temporer implementasi undang-undang Minerba, ekspor riil hanya tumbuh 1,5-1,9 persen tahun ini," paparnya.

Sebaliknya, pihaknya masih berharap pada permintaan domestik yang masih bertumbuh 5,1-5,5 persen. Atau lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,9-5,3 persen. "Untuk pertumbuhan investasi relatif sama, di kisaran 4,8-5,2 persen," ujarnya.(gal)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenaikan Tarif Listrik Industri Tingkatkan Inflasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler