Arek Suroboyo Memukul Juara Dunia Hingga Terpojok Di Sudut Ring

Kamis, 05 November 2015 – 17:30 WIB
Tentara Sekutu sembunyi sambil menelpon saat pertempuran Surabaya. Foto: Imperial War Museums.

jpnn.com - SEJURUS lagi. Bila saja tak dihentikan, tentara Sekutu itu dipastikan lempar handuk. Ini yang terjadi sebelum Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. 

=======

BACA JUGA: SEJARAH BAHASA KITA…Dari Lisan hingga Tulisan

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

=======

BACA JUGA: TERNYATA...Bung Tomo Sempat Dicap Pengkhianat

Soemarsono, pimpinan PRI sedang bersama Dr. Mustopo, ketika utusan dari Jakarta datang ke Surabaya, di penghujung Oktober 1945. 

Menteri Negara Sartono, Salyo Hadikusumo selaku Menteri Keamanan ad interim pengganti Suprijadi (pemimpin pemberontakan Peta di Blitar) yang menghilang, membawa pesan;

BACA JUGA: INI PELAKUNYA... Perobek Bendera Belanda di Surabaya, Berkibarlah Merah Putih

Itu pasukan Sekutu akan mendarat di Surabaya supaya diterima dengan baik. 

Kedatangan ribuan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Mansergh dan Mallaby, sebagai komite pembebasan tawanan perang Sekutu dan urusan memulangkangkan serdadu Jepang yang kalah perang ke negaranya.

Setelah tiga hari pasukan pemenang perang dunia kedua itu di Surabaya, para pemuda mulai curiga, mengingat tempat-tempat penting yang menjadi kedudukan mereka, seolah mengepung kota Surabaya.

"Timbul pikiran pada kami, ini seolah-olah kita sedang masuk perangkap, padahal kami menerima mereka dengan baik," tulis Soemarsono dalam Revolusi Agustus.

Pertempuran Legendaris

Benar saja. 28 Oktober 1945, pertempuran pun meletus. Rakyat Surabaya dengan gagah berani meladeni sang juara dunia yang secara teknik dan persenjataan lebih segala-galanya.

Di hari ketiga, pasukan republik di atas angin. Ibarat orang bertinju, juara dunia terpojok di sudut ring. 

Pimpinan Sekutu mengadu ke bos besarnya, D.C. Hawthorn yang berkedudukan di Singapura. Mendengar laporan anggotanya, dia langsung meluncur ke Jakarta. 

Bung Karno, Bung Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjarifudin diajak Pak Bos Sekutu itu ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.

"Saya waktu itu ikut bertempur di pinggir kota, di Wonokromo," kenang Soemarsono yang ketika itu berusia 24 tahun. 

Sedang seru-serunya bertempur, datang orang yang mengabarkan bahwa Soekarno konvoi keliling Surabaya menyeru agar pertempuran dihentikan. 

"Saya mencoba masuk kota, maksudnya mau menghalangi gencatan senjata itu," akunya. 

Di Ngagel ia berpapasan dengan konvoi Bung Karno. 

Dalam sebuah obrolan dengan JPNN.com, tempo hari, Soermarsono masih ingat, "Bung Karno berteriak-teriak menggunakan pengeras suara memerintahkan agar pertempuran dihentikan."

Soemarsono ke tengah jalan menghadang konvoi. 

"Ini kita sudah dalam keadaan unggul kok diberhentikan?" katanya dengan nada marah. 

"Bagaimana kok Bung tidak bicara dengan kami yang mimpin pertempuran ini? Kami yang bertanggungjawab. Korban pun sudah banyak dan sebentar lagi kita akan menang, kok Bung berhentikan?"

Gencatan Senjata

Bung Karno dan Bung Hatta saat itu diam saja. Lalu Amir Sjarifudin keluar dari mobil dan langsung rangkul-rangkulan dengan Soemarsono.

"Saya sudah kenal Amir Sjarifudin sejak zaman Gerindo. Ini pimpinan saya, Amir Sjarifudin ini kelompok saya," terangnya.

Sambil merangkul, Amir berbisik, "Ini sudah didiskusikan oleh kawan-kawan, oleh kami, sudah keputusannya begini."

Soemarsono patuh. Padahal, sebagaimana dikisahkannya, tiga jam saja utusan dari Jakarta itu telat datang, maka Sekutu dipastikan akan mengibarkan bendera putih. 

Soemarsono diajak Amir ikut ke mobilnya. Mereka lalu ke Jalan Mawar, ke gedung tempat Bung Tomo biasa siaran. Meski terus menerus gerendengan, pemimpin pemuda Surabaya itu akhirnya setuju gencatan senjata. (wow/jpnn)

(baca juga: RAHASIA!!! Ini Jurus Arek Suroboyo Mengalahkan Juara Dunia)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... AYA DI DIYE ...Senarai Tapak Peradaban Di Tatar Pasundan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler