Arief Yahya Ingin Pariwisata Indonesia Diukur dengan Standar Dunia

Kamis, 22 September 2016 – 10:20 WIB
Menteri Pariwisata Arief Yahya. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JENEWA – Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya berkunjung ke markas World Economic Forum (WEF) di Jenewa, Swiss. Tujuannya untuk mendapatkan potret pariwisata Indonesia yang paling standar di level global, dengan ukuran-ukuran dunia dan melalui metode ukur yang paling dipercaya oleh lembaga internasional.

Arief menyebutnya dengan istilah kalibrasi. Ia merasa perlu memotret keadaan yang sesungguhnya dengan alat ukur, bahan ukur, satuan ukur atau kriteria berdasarkan standar internasional oleh lembaga yang kredibel dan dijadikan acuan global.

BACA JUGA: Singapore Airlines Perkuat Rute ke Australia

WEF setiap dua tahun sekali mengeluarkan Tour and Travel Competitiveness Index (TTCI) dengan 14 pilar dan 92 indikator. Arief menegaskan, jika pariwisata Indonesia mau memenangi persaingan global, maka sejak awal juga harus menggunakan standar internasional.

“Kalau ingin juara dunia, ya harus berani terbuka dan siap dibandingkan dengan semua negara yang sudah menggunakan ukuran dunia. Kita harus out-ward looking, melihat apa yang dilakukan dan sedang terjadi di luar sana. Biar tidak merasa paling jago di kandang sendiri,” ujar Arief  mengawali pertemuan dengan tim TTC-WEF itu.

BACA JUGA: BEI Minta Periode Pertama Amnesti Pajak Diperpanjang

Arief menyadari target kunjungan wisatawan mancanegara yang harus tembus 20 juta rang pada 2019 bukan sulap bukan sihir. Pariwisata bisa menghasilkan devisa dari USD 10 miliar menjadi USD 20 miliar.

Itulah angka paling fantastis yang dipatok Presiden Joko Widodo, sehingga tidak ada pilihan kecuali harus dicapai dengan cara-cara profesional. Menurut Arief, hasil yang luar biasa tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa.

BACA JUGA: Cash Back Lebih Diminati Daripada Diskon di Kartu Kredit

“Hasil yang luar biasa harus ditempuh dengan cara yang tidak biasa. Karena itu, sejak awal kami sudah mengadopsi 14 pilar WEF itu untuk memotret destinasi wisata Indonesia, termasuk 10 Bali Baru atau 10 top prioritas itu,” katanya.

Justin Wood, Head of Asia Pacific Region/Executive Board Member of WEF cukup terkesan dengan presentasi data dan angka yang disodorkan Menpar Arief. Dia didampingi oleh timnya, Thierry Geiger (Associate Director, Economist, Global Benchmarking Network, Global Competitivesess and Risk WEF), serta  Roberto Crotti (Quantitative Economist and Manager with the Global Competitiveness and Risk WEF, Oliver Hess, Community Specialist, Asia Pacific WEF).

Justin pun mengapresiasi semangat Menpar Arief Yahya yang menyebut target ganda pariwisata Indonesia pada 2019 itu. Ia menganggap Indonesia superoptimis terhadap proyeksi itu, bahkan terlalu percaya diri karena selama ini tidak pernah menempatkan sector pariwisata sebagai core economy.

“Bagaimana caranya? Lima tahun itu bukan waktu yang panjang?” ujar Justin Wood dengan nada tidak percaya dengan target itu.

Arief pun menyodorkan jawaban untuk mencapai target itu. Antara lain ada CEO commitment dan keseriusan Presiden Joko Widodo menempatkan pariwisata sebagai sektor prioritas. Sementara di sisi lain komoditas minyak dan gas bumi, batu bara serta minyak kelapa sawit terus menurun, baik karena harga dunia maupun angka produksinya.

“Pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa terbesar di 2019. Karena itu adalah janji presiden, maka tugas kami untuk merealisasikan dengan segala daya upaya,” kata Arief Yahya.

Dari sisi marketing, Menpar pun menggunakan semua nama-nama besar dengan reputasi global. Seperti Ogilvy sebagai konsultan public relations (PR), Google, TripAdvisor, Baidu, C-Trip, Xinhua, CCTV, CNN International, Discovery Channel, National Geography, Aljazeera, NHK, CNBC, Astro, dan semua media tempat perusahaan tour and travel terbesar dunia mempromosikan paket-paketnya.

“Semua yang terbaik, yang kredibel, yang punya international network, kami ambil. Termasuk TTCI-WEF yang menjadi barometer dan referensi para investor,” kata dia.

Dari kelembagaan dan regulasi, Arief menjelaskan salah satu pilar international openness yang sudah dilakukan Pemerintah RI. Yakni jumlah negara penerima Bebas Visa Kunjungan (BVK) yang terus meningkat. Dari 15 negara, naik menjadi 45 negara, lalu 90 negara dan sekarang 169 negara sudah bebas berkunjung ke Indonesia tanpa mengurus visa terlebih dahulu. Juga soal asas cabotage untuk cruise atau kapal pesiar berbendera asing boleh menaikkan dan menurunkan penumpang di 5 pelabuhan di Indonesia.

Satu lagi, peraturan Cruising Application for Indonesian Territory (CAIT) di yacht atau perahu pesiar. Selama ini, perizinan untuk yacht yang masuk ke perairan Indonesia harus melalui mekanisme izin yang bisa memakan waktu tiga minggu. Aturan itu sudah disederhanakan, tinggal 3 jam.  Kemenpar juga terus mendorong hingga menyamai Singapura yang cukup dengan 1 jam saja.

Sedangkan dari sisi destinasi, Arief menjelaskan soal 10 Bali baru itu. Hal itu untuk merespons pertanyaan Tanah Sullivan, Community Specialist Asia Pacific Business Engagement WEF yang menanyakan soal 10 Bali Baru itu.

Arief lantas memerinci satu per satu 10 Bali Baru dari ujung utara barat sampai ke utara timur. Yakni Danau Toba Sumatera Utara, Tanjung Kelayang Belitung, Tanjung Lesung Banten, Kepulauan Seribu Jakarta, Borobudur Jawa Tengah, Bromo-Tengger-Semeru Jawa Timur, Mandalika-Lombok NTB, Komodo-Labuan Bajo di  NTT, Wakatobi di Sultra, dan Morotai di Maluku Utara.

Memang, harus diakui, ada banyak kendala jika Indoensia ingin dikalibrasi dengan standar dunia. Salah satu yang paling mendasar adalah minimnya data yang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia sendiri dari 14 pilar yang dipotret WEF itu. Kemenpar memang sudah mempelajari dan menyiapkan data yang masih banyak  belum di-up date dari 15 kementerian/lembaga.

“Kami sudah FGD (focus group discussion, red) dengan 15 kementerian dan lembaga, untuk meng-up date data. Karena dalam hal data, Kemenpar tidak bisa mengakses sendiri. Harus dibantu Kementerian lain, yang memegang datanya. Misalnya soal kesehatan, infrastruktur, airport, keamanan, dan sebagainya, yang semua terkait dengan performance Indonesia dari sisi pariwisata,” kata Arief.

Di forum WEF itu, Menpar Arief didampingi sejumlah staf khususnya. Antara lain Samsriyono Nugroho (staf khusus bidang teknologi informasi pariwisata), Muh Noer Sadono (staf khusus bidang komunikasi publik), Nia Niscaya (Asdep Pengembangan Pasar Eropa, Timur Tengah, Amerika dan Afrika) serta Harry Waluyo (staf khusus pidang pariwisata), Elitua Hamonangan Simarmata (staf khusus bidang pariwisata), Addin Maulana (peneliti bidang pariwisata) dan Sutanto (sekretaris pribadi Menpar).


Perwakilan Tetap RI di PBB yang berkantor di Jenewa juga ikut membantu mengatur dan menindaklanjuti. Dari pihak KBRI yang hadir antara lain RM Michael Tene (Ambassador Deputy Permanent Representative RI untuk UN, WTO and other International Organization in Geneva), serta Elvie Indayani (Third Secretary Permanent Mission of The RI to UN, WTO, and other International Organization in Geneva).

Lalu bagaimana memasok data terbaru itu? Samsriyono selaku staf khusus Menpar bidang IT Stafsus IT menjelaskan, pihaknya tengah mengumpulkan data yang dibutuhkan dari 15 kementerian/lembaga terkait dan akan langsung diunggah ke situs yang bisa diunduh WEF. Awal Oktober 2016 nanti, data itu sudah akan terunggah. Tim teknis pekan ini akan terus interns berkomunikasi dan saling menukar info dan data seputar 14 pilar yang dibutuhkan WEF.

Thierry Geiger pun berkali-kali menyampaikan apresiasinya terhadap Menpar Arief Yahya soal keseriusan Indonesia  mengkalibrasi diri dengan TTCI itu. Ia menyebut langkah kooperatif itu sangat memudahkan WEF mem-validasi data.

“Data itu diambil dari dua hal, pertama data resmi dari pemerintah, yang sudah dilaporkan juga ke PBB dan lembaga dunia lain. Juga survey yang dilakukan WEF dengan sample para pelaku bisnis dan pengusaha di Indonesia. Bagaimana kalau data resmi dari pemerintah tidak didapat? Kami menggunakan data yang dipakai lembaga dunia lain yang kredibel, seperti UN-WTO, WHO, UN, World Bank, dan lainnya,” kata Thierry.

Roberto Croti menambahkan, saat ini WEF sedang mengumpulkan data terbaru hingga Desember 2016. Sedangkan pengumuman competitiveness index baru akan dilakukan tahun 2017 nanti.

Menpar Arief ingin memastikan bahwa hal yang dilakukan pariwisata Indonesia untuk kalibrasi itu benar-benar on track, sesuai dengan standar dan alat ukur yang dipakai dunia. Dengan demikian pariwisata Indonesia bisa dibandingkan apple to apple dengan negara lain.(adv/ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Properti Mulai Laris Usai Periode Pertama Tax Amnesty


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler