Arogan, Pacar Kita Kabur

Kamis, 24 Maret 2016 – 18:58 WIB
Kasandra A Putranto. Foto: Ist for JPNN

jpnn.com - AKSI demo para sopir taksi Blue Bird, Ekpress, Taxiku, angkot, metromini, dan kopaja berunjung pada tindakan anarkistis, Selasa (22/3). Masyarakat pun dipertontonkan dengan aksi brutal sesama wong cilik di jalanan. Pascademo, Blue Bird, perusahaan taksi kelas kakap ini memberikan layanan gratis. Gejala apakah ini? Berikut analisa psikolog klinis dan forensik, A. Kasandra Putranto saat diwawancarai wartawan JPNN Mesya Mohammad, Kamis (24/3).

Bagaimana tanggapan Anda tentang aksi brutal sopir taksi Blue Bird dan Ekspres?

BACA JUGA: Jangan Takut Terapi Hyperbaric

Aksi demo sopir taksi yang berujung pada tindak kekerasan memang sangat disayangkan. Dari tinjauan studi psikologi massa, perilaku individual, dan organisasi. Ketiganya memiliki ikatan yang saling terkait.

Sebagai psikolog klinis yang telah banyak bekerja di berbagai setting keluarga, komunitas masyarakat, perusahaan dan forensik, saya melihat kejadian Selasa kemarin telah diawali oleh adanya perilaku menyimpang dari individu yang diperkuat oleh kesalahan manajemen organisasi. 

BACA JUGA: Saya Suka Sirkuit Albert Park

Kelompok sopir (individual) yang memiliki profil perilaku tertentu ternyata lolos dari proses rekrutmen dan pembinaan mental karyawan yang kurang maksimal, lalu mereka mengalami tekanan psikologis yang khas akibat situasi ekonomi nasional dan kegagalan manajemen dalam melakukan antisipasi. Mereka terprovokasi oleh kepentingan kelompok dan organisasi, selanjutnya mereka terbawa dalam perilaku massa yang destruktif dan brutal.

Jadi aksi brutal para sopir ini adalah imbas dari kelemahan perekrutan dan pembinaan SDM ?

BACA JUGA: Redistribusi PNS, Bukan Rasionalisasi

Dulu, saat taksi kuning (Presiden Taxi, red) beroperasi, banyak pelanggan yang kurang puas. Karena dari sisi pelayanan, sopirnya kurang ramah serta kendaraannya pun tidak mendukung. Kemudian muncul taksi biru (Blue Bird) dengan konsep nyaman dan pelayanan prima. Para sopir yang direkrut adalah SDM terpilih. Masyarakat pun menilai para sopir taksi biru ramah, ‎wangi, sopan, dan ber-attitude tinggi.

Image taksi biru yang pelayanannya prima dan aman pun makin menguat di masyarakat karena dulu tidak ada keluhan dari konsumen. ‎Meski tarifnya lebih mahal, konsumen lebih memilih taksi biru ketimbang taksi kuning. Mengapa? Karena yang dicari konsumen bukan masalah murah tidaknya tarif, tetapi lebih kepada kualitas layanan. Itu pulalah yang membuat taksi kuning akhirnya tersingkir dan taksi biru pun makin merajai pasar taksi di Indonesia.

Namun, seiring waktu dan makin besarnya perusahaan, tanggung jawab kepada konsumen tampaknya makin berkurang. Rekrutmen dan pembinaan SDM yang ada gagal menyaring profil yang sesuai dengan standar awal Blue Bird yang dahulu sangat kita banggakan.

Hal ini semakin dipersulit oleh sistem dan manajemen yang kurang sigap mengantisipasi potensi kerusakan yang terjadi akibat pilihan berdemo karena lebih berorientasi profit. 

Perusahaan tidak melihat SDM sebagai investasi dan aset yang harus dijaga. Armada diperbanyak, yang tidak diimbangi dengan proses rekrutmen dan pembinaan SDM. Akibatnya, di dalam perusahaan taksi biru terdapat dua kelompok sopir. Sopir dengan karakter individual ‎yang profesional dan kelompok sopir dengan karakter individual kurang baik.

Ini nyata kita lihat saat Selasa (22/3), ada kelompok taksi biru yang dengan arogannya menghadang temannya sendiri (sesama taksi biru) untuk tidak bekerja. Bahkan yang sedang melayani penumpang pun dengan kekerasan memaksa penumpang turun dari kendaraan. Ini tindakan yang menunjukkan penyimpangan individual dan merusak image taksi biru.

‎Tapi kemudian taksi biru ini memberikan layanan gratis 1x24 jam, apakah tidak ada sisi positifnya?

Upaya ini tentu perlu dihargai, tetapi masalahnya tindakan koreksional ini tidak cukup mampu memperbaiki situasi yang sudah terlanjur hancur. Konsumen masih trauma dengan perilaku brutal mereka sehari sebelumnya. Dan semua pengemudi identitas biru terkena imbasnya.

Apalagi layanan gratis tersebut tetap tidak didukung oleh aplikasi yang hebat. Kemarin (23/3), konsumen yang ‎melakukan orderan by phone maupun aplikasi banyak gagal order.

Akibatnya konsumen menjadi semakin tidak puas. Persepsi konsumen yang menilai taksi biru sebagai taksi nyaman, aman, wangi, layanan prima pun pupus seketika akibat tragedi sehari.

Apalagi sebelum aksi demo 22 Maret, sudah banyak konsumen mengeluhkan perilaku sopir dengan profil tidak profesional,  antara lain  tidak tahu jalan akhirnya penumpang dibawa berputar-putar Jakarta dan harus membayar mahal.

Belum lagi sikap sopir yang arogan dan tidak sopan ke penumpang. Bahkan sopir wangi yang jadi ciri khas taksi biru mulai hilang karena asap rokok dan bau badan sopir. Sekali lagi ini lantaran kelemahan proses rekrutmen dan pembinaan SDM, ibaratnya nila setitik rusak susu sebelanga. Perusahaan taksi biru yang sudah besar inipun mulai tergerus karena manajemen yang tidak kompak mempertahankan imagenya.

Kaitannya dengan taksi online?

Kaitannya sangat kuat, ada konsumen dan penyedia jasa. Konsumen saat ini lebih berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Cara-cara konvensional mulai beralih ke sistem IT. Siapa yang gagap teknologi akan tersingkir dengan sendirinya. 

Di masa kini keberhasilan penjualan akan sangat tergantung kepada konsumen. Konsumen yang dihadapkan dengan berbagai pilihan, akan mencari layanan yang memuaskan, menyenangkan dan memanjakan. Jangan heran konsumen yang didominasi generasi Y, akan memilih taksi berbasis online.

Terlebih layanan taksi berbasis online itu dilengkapi aplikasi canggih, tisue, chargeran, minuman, mobilnya bersih, dan wangi. Apalagi ada fitur untuk memberikan peringkat kepuasan terhadap sopir segera setelah menggunakan layanan. Fitur ini langsung melekat kepada sopir-sopir sebagai bentuk seleksi alam, konsumen tidak ragu-ragu membatalkan pesanan jika mendapatkan sopir yang memiliki rating rendah.

Perilaku konsumen yang beralih ke taksi online ini harusnya segera diantisipasi perusahaan taksi konvensional. Perusahaan taksi konvensional mestinya segera melakukan perubahan misalnya memperkuat aplikasinya dengan sistem canggih.

Selan itu, aspek mana yang harus segera dibenahi?

Rekrutmen dan pembinaan juga harus ditingkatkan. Selain itu visi manajemennya harus diubah, jangan sekadar membesarkan perusahaan, tapi kesejahteraan sopir diabaikan.‎ Kalau terlambat berubah, yang rugi perusahaan itu sendiri.

Aksi protes yang menuntut layanan berbasis online ditutup menunjukkan penyimpangan individual dan organisasi. Kepanikan karena tidak siap bersaing yang berujung pada tindakan anarkistis. Yang jadi pertanyaan, apakah ini sopir atau atau sih? Kalau sopir, harusnya memberikan pelayanan maksimal dan menyenangkan kepada konsumen. Menarik minat konsumen itu layaknya orang pacaran. Apapun harus dilakukan agar pacar kita makin tertarik dan cinta. Kalau caranya arogan, pacar kita malah kabur dan minta putus.

Saran Anda untuk perusahaan taksi?

Saya berharap ini menjadi pelajaran bagi seluruh perusahaan taksi serta lainnya. Saya contohkan beberapa perusahaan besar seperti Fuji Film, Aquarius, dan lain-lain yang tutup tapi tidak diwarnai aksi demo. Bila ingin eksis, tata dulu manajemen di dalam perusahaan, kemudian perbaiki rekrutmen dan pembinaan, serta siasati lebih dalam kondisi psikologis konsumen.‎***.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Kaitkan dengan Kepangkatan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler