jpnn.com - TERAPI hyperbaric atau terapi oksigen sudah lebih dari 10 tahun digunakan dalam dunia kesehatan. Biaya pengobatannya yang mahal membuat masyarakat menganggap terapi ini khusus kalangan menengah ke atas. Apalagi hanya rumah sakit tertentu yang memiliki chamber hyperbaric.
Chamber hyperbaric jadi tema hangat di media massa ketika tabung gas oksigen di RS Mintohardjo Jakarta meledak hingga menelan korban jiwa salah satunya Ketua BP PGRI Sulistiyo tengah menjalani terapi.
BACA JUGA: Saya Suka Sirkuit Albert Park
Masyarakat pun bertanya-tanya, apakah itu hyperbaric dan amankah untuk pengobatan? Berikut wawancara wartawan JPNN Mesya Mohammad dengan Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Mohamad Adib Khumaidi, SpOT, Selasa (15/3).
Sejak kapan terapi hyperbaric digunakan di Indonesia?
BACA JUGA: Redistribusi PNS, Bukan Rasionalisasi
Untuk tahunnya saya kurang tahu, yang jelas ini sudah digunakan sejak lama. Awalnya untuk para penyelam Angkatan Laut. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, terapi hyperbaric ini mulai digunakan untuk masyarakat umum.
Kalau untuk masyarakat umum sudah berapa lama?
BACA JUGA: Jangan Kaitkan dengan Kepangkatan
Kira-kira sekitar 10 tahun sudah digunakan untuk penyakit-penyakit tertentu seperti diabetic foot, tulang. Di dunia kecantikan juga pakai terapi ini. Bahkan untuk kasus diabetes di mana pasien menolak dioperasi, biasanya dokter yang menyarankan untuk terapi hyperbaric ini. Hasilnya banyak pasien yang sembuh setelah melewati proses terapi ini.
Untuk kasus diabetic foot, mekanisme penyembuhannya seperti apa Dok?
Jadi pasien diabetes yang boroknya sudah menyebar dan harus dibersihkan di dalamnya (dagingnya), akan diberikan alternatif oleh dokter. Apakah dioperasi atau tidak. Kalau menolak dioperasi (amputasi, red), pasien diarahkan ke terapi hyperbaric. Caranya pasien masuk dalam chamber hyperbaric dengan tekanan oksigen tinggi. Terapi ini dijalankan sejam. Bila terapi ini ini rutin dilakukan, akan tumbuh jaringan daging baru sehingga tubuh pasien diabetes akan kembali normal.
Jadi selama ini terapi hyperbaric belum pernah ada kasus kegagalan?
Untuk kasus-kasus tertentu, banyak pasien yang sembuh kok. Hanya saja baru kemarin (14/3), terjadi kecelakaan yang merenggut empat korban. Kebetulan sedang menjalani terapi.
Jadi sebenarnya aman tidak terapi hyperbaric?
Terapi hyperbaric aman-aman saja. Makanya tidak semua rumah sakit menyediakan terapi hyperbaric karena syarat-syaratnya itu. Syarat utama adalah tingkat keamanannya tinggi, para terapis harus memiliki kompetensi, dokternya harus dokter spesialis kelautan.
Yang terjadi di RS AL Mintohardjo itu bukan karena terapinya berbahaya. Namun murni kecelakaan saja, sehingga saat terapi berjalan (menggunakan oksigen tinggi), akan mudah meledak bila terkena percikan api. Kami dari PB IDI sudah mengetahui standar keamanan di RS AL Mintoharjo sangat tinggi, makanya dia punya chamber hyperbaric yang besar. Namun karena accident saja, hingga Oksigennya meledak. Namanya kecelakaan, tidak bisa diprediksi oleh siapapun.
Kalau ditanya kenapa hanya RS tertentu yang punya terapi hyperbaric, ya karena alatnya mahal. Saya tidak tahu angka pastinya, namun chamber hyperbaric itu sangat mahal (ukuran besar).
Apakah para terapis harus spesialis kedokteran kelautan?
Tidak, dokter umum, perawat bisa menjadi terapis hyperbaric. Tentunya sebelum menjadi terapis, mereka harus ditraining dulu oleh dokter spesialis kelautan. Setelah ditraining mereka akan menerima sertifikat kompetensi. Jadi syaratnya cukup berat, mereka juga berpraktek atas sepengetahuan PB IDI.
Terkait dengan kecelakaan yang menimpa empat pasien RS AL Mintoharjo, bagaimana tanggapan PB IDI?
PB IDI melihat ini bukan karena chamber hyperbaric, namun murni kecelakaan. Kami akan berkoordinasi dengan pihak terkait membahas masalah ini. Mulai dari terapis, metode terapinya, savety, dan lain-lain. Jangan sampai kejadian ini terjadi lagi. Kami juga mengimbau masyarakat tidak perlu takut karena terapi hyperbaric mengantongin izin dari PB IDI. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Akan Melukai Jutaan PNS
Redaktur : Tim Redaksi