JAKARTA – Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI) resmi mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan sekaligus ke Mahkamah Agung (MA) terkait dengan pengekangan lembaga surveiDimana, judicial review yang diajukan ke MK itu berkaitan dengan pasal 245 Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilu
BACA JUGA: April, Tes CPNS
Sedangkan yang ke MA berkaitan dengan Peraturan KPU Nomor 40/2008.AROPI meminta MK membatalkan pasal 245 UU Nomor 10/2008 karena bertentangan dengan hak warga yang dijamin dalam konstitusi untuk menyatakan pendapat.Selain itu, AROPI juga meminta MA untuk menyatakan Peraturan KPU Nomor 40/2008 tidak diberlakukan sampai MK menyelesaikan judicial review.
Ketua Umum AROPI Denny J
''Saya memahami perlunya pengaturan lembaga survei agar publik tidak dirugikan oleh informasi yang salah
BACA JUGA: April, Tes CPNS 2009
Dan saya juga memahami perlunya panduan agar publikasi lembaga survei tidak mengganggu jalannya Pemilu yang adil,'' kata Denny.Namun, pengaturan yang termuat dalam pasal 245 UU Nomor 10/2008, apalagi Peraturan KPU Nomor 40/2008 adalah tindakan overkill, yang dapat mematikan lembaga survei dan mereduksi kebebasan akademik untuk menyatakan pendapat yang dijamin dalam konstitusi.
Jika pengaturan overkill ini dibiarkan, bukan saja lembaga survei yang dirugikan, tapi akan menjadi preseden buruk ''tangan Negara'' kembali dibiarkan mereduksi kebebasan warga yang merupakan buah terpenting reformasi 1998 lalu.
Idealnya menurut dia, UU dan Peraturan KPU mengatur agar KPU menjadi mitra strategis, bukan pengontrol lembaga survei
BACA JUGA: DPR Tuding BI Lindungi Bank Century
UU juga seharusnya meminta KPU melakukan studi banding dengan melihat bagaimana negara demokrasi berurusan dengan lembaga survei.Dijelaskan bila ada koridor dari UU itu, KPU juga mungkin akan lebih rendah hati untuk mengajak aneka lembaga survei utama atau asosiasinya seperti AROPI untuk berdialog dulu, sebelum mengeluarkan pengaturan resmi lembaga survei.
''Sesuai pasal 28F, bahwa setiap warga negara berhak untuk melakukan kegiatan ilmiahDengan kata lain, kebebasan ilmiah dilindungi oleh konstitusiUU dan Peraturan di bawahnya semestinya hanya bersifat mengatur pelaksanaan kebebasan itu, bukan mereduksi,'' ungkapnya.
Dikatakan, melaksanakan kegiatan riset (survei) opini publik merupakan bagian dari kebebasan ilmiah yang dijamin konstitusiBegitu pula kegiatan mempublikasikan (menyampaikan informasi) hasil survei dengan menggunakan segala jenis saluran informasi yang tersedia, termasuk media massa adalah juga dijamin konstitusi.
Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 245 UU Nomor 10/2008 secara tersurat telah membatasi dan mereduksi hak-hak konstitusional para penyelenggara survei sebagai warga negara RIDimana, ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, termasuk partisipasi lembaga survei harus tunduk pada ketentuan KPUDengan begitu, hal ini tentu telah membuka ruang yang sangat lebar bagi KPU untuk bertindak melebihi kewenangan yang diberikan oleh UU dan mereduksi ketentuan yang dijamin konstitusi.
''Pasal 245 UU Nomor 10/2008 menurut hemat kami adalah ''pasal karet'', terlalu umum serta tidak jelas acuan dan hasil kerjanyaKetentuan mengenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ayat (5), juga tidak mendasar,'' ujarnya.
Pelanggaran partisipasi masyarakat dalam Pemilu, misalnya pelanggaran dalam aktivitas survei, jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana PemiluKalau sudah lembaga survei tidak kredibel atau melanggar kode etik, maka masyarakatlah yang akan memberi sanksiSedangkan bila lembaga survei melakukan tindak pidana penipuan misalnya, seharusnya pengaturannya diserahkan ke KUHPidana, bukan UU PemiluJadi, jelaslah ketentuan dalam Pasal 245 UU 10/2008, selain mengekang kebebasan ilmiah, juga mengancam hak hidup para penyelenggara survei yang dijamin konstitusi.(sid/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tumpa : Kencangkan Pengawasan
Redaktur : Tim Redaksi