jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Bahasa, Kemendibudristek, E. Aminudin Aziz menyampaikan pandangannya terkait polemik penggunaan bahasa Sunda oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat saat rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Polemik mencuat dipicu pernyataan Anggota Fraksi PDI Perjuangan Komisi III DPR Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memecat Kajati yang menggunakan bahasa Sunda tersebut.
BACA JUGA: TB Hasanuddin: Pernyataan Arteria Dahlan Bisa Melukai Perasaan Masyarakat Sunda
"Ada kritik sedikit Pak JA (Jaksa Agung), ada Kajati, Pak, dalam rapat dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti, Pak itu. Kami ini Indonesia, Pak," kata Arteria dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Jaksa Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/1).
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek Aminuddin mengatakan tidak bisa serta merta si kajati disalahkan.
BACA JUGA: Permintaan Arteria Dinilai Berlebihan dan Bisa Melukai Perasaan Masyarakat Sunda
Harus dilihat dari konteksnya dulu, apakah betul Kajati berbicara bahasa Sunda dalam rapat.
Kemudian berapa banyak bahasa Sunda yang dipakainya. Apakah hanya menyisipkan beberapa kata, satu kalimat atau frasa saja.
BACA JUGA: Detik-detik Fatia KontraS & Haris Azhar Menghadapi Petugas Penjemputan Paksa, Biar Lebih Dramatis!
"Konteksnya harus jelas dulu," kata Aminuddin kepada JPNN.com, Selasa (18/1).
Kalau hanya ungkapan istilah, celetukan bahasa Sunda, Jawa atau asing, menurut Aminudin, itu biasa saja dalam konteks komunikasi. Itu sebuah kewajaran komunikasi yang ditemukan dalam pembicaraan siapa pun.
Tidak pernah ada pembicaraan yang bebas 100 persen dari kemungkinan adanya percampuran istilah bahasa.
"Jadi, tidak ada yang betul-betul murni," ucapnya.
Dia mengatakan penggunaan bahasa Indonesia yang betul-betul full akan sangat jarang. Orang pasti akan mencampurkan bahasa daerah atau asing saat berkomunikasi.
Aminudin mengaku tidak tahu persis seberapa banyak Kajati yang disorot Arteria Dahlan itu menggunakan bahasa Sunda sampai ada desakan agar dicopot dari jabatannya.
"Itu bukan urusan pidana sehingga kurang relevan," tegasnya.
Dia mengungkapkan, mencampurkan dua bahasa dalam konteks tertentu kadang-kadang tidak bisa dihindari.
Misalnya orang bicara tentang hukum, ada kata inkracht. Kata inkracht berasal dari bahasa Belanda.
"Jadi, bukan pidana," ujarnya lagi.
Lebih lanjut dijelaskan Aminudin, di dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara yang dijabarkan di Peraturan Pemerintah, tidak ada sanksi pidana terkait penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia di dalam forum-forum resmi.
Namun, sifatnya lebih pada kesadaran pengguna bahasa terkait dengan kebanggaan sebagai penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Aminudin menegaskan di dalam forum-forum resmi, baik di dalam maupun luar negeri, para pejabat negara diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Contohnya, rapat kerja DPR itu forum resmi. Ada kewajiban menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembicaraannya.
Lantas apakah bahasa daerah atau asing diperbolehkan atau tidak?
Menurut Aminudin, tidak boleh digunakan secara keseluruhan. Mengapa? Karena, kata Aminudin, bisa saja banyak orang yang tidak mengerti. Kecuali yang diundang DPR atau oleh lembaga lain, tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga terpaksa menggunakan bahasa daerah.
Di ruang pengadilan juga demikian. Misalnya, kata Aminudin, ada seorang terperiksa apakah saksi, tersangka atau siapa pun yang diminta hadir di pengadilan. Yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Indonesia, maka kewajiban pengadilan menghadirkan penerjemah yang disumpah.
"Intinya mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau asing merupakan bahasa komunikasi yang wajar. Bukan tindak pidana," pungkas Aminudin. (esy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : Soetomo
Reporter : Mesya Mohamad