WASHINGTON - Perjuangan oposisi Syria untuk mengakhiri rezim Presiden Bashar al-Assad belum juga membuahkan hasilMeski begitu, Amerika Serikat (AS) yakin bahwa penguasa 45 tahun itu akan segera lengser dari jabatannya
BACA JUGA: Enam WNI Ditangkap Malaysia, Kemenlu Belum Tahu
Bersama Turki, Gedung Putih mulai membahas masa transisi Syria.The New York Times melaporkan kemarin (20/9) bahwa pemerintahan Presiden Barack Obama sudah menyusun rencana dan langkah untuk menyikapi berakhirnya rezim Assad di Syria
BACA JUGA: DPR Dorong Bahasa Indonesia jadi Bahasa Resmi ASEAN
Karena itu, AS dan Turki berusaha untuk merumuskan kebijakan guna mencegah terjadinya perang saudara di antara komunitas Alawiyah, Druze, Kristen, dan Sunni di SyriaMenurut The Times, para pejabat intelijen dan diplomat di Timur Tengah, Eropa, dan AS makin bertambah yakin bahwa Assad tidak akan mampu mengatasi revolusi sipil selama beberapa bulan terakhir yang menentang kekuasaan empat abad keluarganya di Syria.
"Ada konsensus riil bahwa dia (Assad) sudah berada di luar batas dan di ambang kejatuhan," tulis koran tersebut mengutip seorang pejabat senior pemerintahan Obama
BACA JUGA: Beber Negosiasi Blair-Kadhafi soal Tragedi Lockerbie
"Sejumlah informasi intelijen menyatakan bahwa dia tidak akan kembali (ke kursi kekuasaan)," lanjutnya.Assad telah mengerahkan banyak tank dan tentara untuk menumpas aksi unjuk rasa anti-pemerintah di Syria yang terinspirasi revolusi di dunia ArabPBB menyatakan, tak kurang dari 2.600 orang (sebagian besar warga sipil) telah tewas terbunuh di Syria sejak 15 Maret lalu.
Meski sudah siap menyambut pergantian rezim di Syria, AS tetap akan mempertahankan Duta Besar Robert SFord untuk pos di DamaskusPadahal, negara-negara lain sudah menarik dubes mereka dari ibu kota Syria"Dubes Robert SFord sengaja dipertahankan di Damaskus untuk menjalin komunikasi dengan para pemimpin oposisi serta pimpinan kelompok-kelompok religius dan berbagai sekte di Syria," kata seorang pejabat Gedung Putih.
Menurut pejabat yang tak disebutkan namanya tersebut, Washington juga menggunakan jalur resmi via Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk menyatukan para pemimpin oposisiSebab, oposisi Syria tak hanya diwakili satu atau dua kelompokSejak revolusi sipil mencuat pertengahan Maret lalu, memang banyak bermunculan kelompok yang menyebut dirinya sebagai oposisi atau anti-rezim Assad
Kemarin, di sela Sidang Umum PBB di Kota New York, Obama bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Turki Recep Tayyip ErdoganKeduanya membahas krisis politik yang tidak kunjung usai di SyriaTermasuk, membahas keputusan Turki yang mencekal Assad dan para ajudannya serta menghentikan beberapa bentuk kerja sama di antara dua negaraKebijakan Turki itu juga diterapkan Arab Saudi dan beberapa negara lain di Eropa
Selama ini minyak merupakan komoditas ekspor utama Syria di pasar EropaSekitar 90 persen minyak dari Syria diekspor ke EropaLewat penghentian perdagangan minyak dengan Syria, negara-negara Eropa berharap bisa memberikan tekanan jauh lebih besar pada rezim AssadTekanan tersebut diharapkan bisa memaksa putra mendiang Presiden Hafez al-Assad tersebut lengser.
Apalagi, saat ini Assad dilaporkan makin terdesak"Kami yakin bahwa kali ini dia benar-benar telah tersudutIntelijen Barat menyatakan bahwa Assad sudah tak mampu lagi memimpin," papar Ray Takeyh, analis senior Timur Tengah pada Council on Foreign Relations (CFR)
Jika Assad ngotot berkuasa, Syria akan jatuh ke krisis yang makin pelikKekerasan akan terus terjadi di negara ituSaat ini satu-satunya negara yang secara terang-terangan mendukung Syria adalah IranTetapi, awal bulan ini Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengontak Assad dan menyarankan agar dia berhenti menggunakan kekuatan militer untuk menindas oposisi
"Ini menunjukkan bahwa Ahmadinejad pun meragukan masa depan kepemimpinan Assad di Syria," kata Takeyh yang juga tercatat sebagai seorang pejabat senior di Gedung Putih. (AFP/AP/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sang Pilot Tak Suka Ambil Risiko
Redaktur : Tim Redaksi