jpnn.com - ASRAMA Pemuda Menteng 31 yang kini jadi Musuem Gedung Joang 45 memang punya peran penting dalam lahirnya Republik Indonesia. Tapi, peran Asrama Indonesia Merdeka tak kalah penting. Sayang, kiprahnya nyaris tak dikenang.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Sejarah Proklamasi, ini Kuncinya...
Suatu hari di bulan Oktober 1944…
Laksamana Muda Tadashi Maeda bertandang ke mess perwira Kaigun Bukanfu di Kebon Sirih 80 Jakarta. Di sana sudah menanti Tomegoro Yoshizumi, Shigetada Nishijima, dan Sato Nobuhide. Mereka berunding.
BACA JUGA: Kalau Bung Karno Digertak, ini yang Terjadi…
Nishijima dalam buku Indonesia Niokeru Nihon Gunsei No Kenkyu, yang ditulisnya bersama Koichi Kishi bercerita, “Laksamana Maeda sebagai pimpinan tertinggi Kaigun Bukanfu membuka perundingan.”
“Jepang telah berjanji memerdekakan Indonesia. Tidak lama lagi itu akan terjadi. Untuk itu pengantin pria yang akan menjadi inti dari bangsa ini setelah merdeka hendaknya dipersiapkan,” tutur Maeda dengan nada pasti.
BACA JUGA: Malam ini 71 Tahun Lalu di Rumah Bung Karno
Maka muncul ide mendirikan sekolah untuk mendidik kaum muda yang akan mengisi kemerdekaan Indonesia. “Ide itu sebenarnya sudah pernah didiskusikan pada hari-hari sebelumnya. Hanya saja, perundingan kali ini lebih serius. Rencana mendirikan sekolah tidak lagi sekadar wacana. Detail-detail teknisnya mulai disusun dan dikongkretkan,” tulis Nishijima.
Langkah pertama, mereka mengundang dan mengajak Ahmad Soebardjo, mantan wartawan yang pada masa pendudukan Jepang menjabat kepala departemen penelitian Kaigun Bukanfu.
Mula-mula mereka membahas nama sekolah yang akan didirikan. Maeda mengusulkan sekolah itu diberi nama Y Sei Juku.
Y Sei, menurut Maeda, merupakan kata pertama dari instruksi Kaisar Jimmu dan secara harfiah, menurut K Jien (kamus) terbitan Shoten Iwanami, Y Sei berarti untuk menumbuhkan keadilan.
Di samping itu, pengucapan Y Sei nyaris serupa dengan yosei yang berarti untuk melatih.
Yoshizumi menolak usul Maeda itu. Menurutnya, tidak taktis menuntut orang Indonesia menggunakan nama berbahasa Jepang. Mengingat realitas pada masa itu, banyak orang Indonesia membenci Jepang karena dipaksa berbahasa Jepang dan setiap upacara memberi hormat ke arah istana kerajaan Jepang di Tokyo.
“Jika Maeda menyukai nama Yosei Juku biarlah. Tapi sebaiknya kita menggunakan nama Indonesia," kata Yoshizumi, sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Intel Jepang.
Hal senada juga disampaikan Shigetada Nishijima ketika diwawancara oleh Greg Poulgrain pada Agustus 1983 di Tokyo. Petikan wawancaranya dimuat dalam buku The Genesis of Konfrontasi Malaysia Brunai Indonesia 1945-1965.
Ketika dimintai pendapat, Soebardjo mengusulkan sekolah itu diberi nama Asrama Indonesia Merdeka.
“Asrama Indonesia Merdeka. Indonesia Merdeka…nama itu sama dengan yang saya berikan kepada majalah bulanan Perhimpunan Indonesia, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Nederland, yang pimpinan redaksi majalah ini dipercayakan kepada saya,” tulis Soebardjo dalam Kesadaran Nasional.
Yoshizumi menyambut baik usul itu. “Ini mungkin tampak tidak penting bagi orang asing apakah kata Indonesia digunakan atau tidak, tapi itu penting bagi orang Indonesia,” Yoshizumi menyokong usulan Soebardjo.
Pendek kisah, usulan Subardjo disepakati. Perundingan berikutnya membahas bagaimana cara mengelola sekolah itu. Maeda meminta Asrama Indonesia Merdeka dikelola oleh Yoshizumi dan Nishijima.
Yoshizumi dan Nishijima menolak dan mengusulkan sebaiknya orang Indonesia yang memimpin Asrama Indonesia Merdeka. Mereka menyarankan Subardjo mengambil tanggung jawab itu.
Hanya saja, dengan alasan terlalu tua untuk posisi itu dan masih bekerja di kantor departemen penelitian Kaigun Bukanfu, Subardjo menyarankan Asrama Indonesia Merdeka dipimpin oleh anak muda yang tidak dekat dengan Jepang.
Soebardjo yang diberi kepercayaan penuh merekomendasikan nama Wikana.
"Sdr. Wikana adalah seorang pejuang lama yang berlindung di Kaigun memakai nama Sunjoto untuk menghindari kejaran Kenpetai," tulis Entol Chaerudin dalam memoarnya.
Dosen-dosen yang dipilih mengajar di Asrama Indonesia Merdeka sebagai berikut:
Sukarno mengajar sejarah gerakan nasionalis; Hatta mengajar gerakan koperasi, Soebardjo mengajar hukum internasional, Sjahrir mengajar prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi, Iwa Kusuma Sumantri mengajar tentang perburuhan, Wikana sebagai kepala sekolah membawakan materi gerakan pemuda. Yoshizumi dan Nishijima bertanggung jawab atas ceramah tentang perang gerilya dan masalah pertanian.
“Tidak lama kemudian Soebardjo datang membawa beberapa pimpinan pemuda berpengaruh,” kenang Nishijima. “Saya ingat, jumlah mereka tidak kurang dari 30 orang.”
Seluruh siswa, termasuk Wikana yang pada 15 Agustus 1945 memimpin rombongan pemuda mendesak Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tinggal di asrama itu.
Pada 16 Agustus 1945, sambil menanti kedatangan Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok, aktivitas di Asrama Indonesia Merdeka sibuk. Orang-orang merakit peledak, menyiapkan senjata dan mengatur pengamanan proklamasi. --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beuuuh... Ada Jawara, Preman dan Parewa dalam Ring Satu Proklamasi
Redaktur : Tim Redaksi