Sejarah Proklamasi, ini Kuncinya...

Rabu, 17 Agustus 2016 – 03:45 WIB
Wikana, tiga dari kiri, anak muda berpengaruh dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Foto: Public Domain.

jpnn.com - SOEKARNO, Hatta, Soebardjo dan Buntaran berunding di ruang tengah dalam rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Para pemuda yang dipimpin Wikana menanti di beranda. 

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Kalau Bung Karno Digertak, ini yang Terjadi…

Sejurus kemudian, keempat tokoh golongan tua itu keluar. Sebagai juru bicara, Soekarno menyampaikan bahwa mereka telah bersepakat tidak akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia malam itu, sebagaimana didesak para pemuda.

Namun, apabila pemuda-pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan Indonesia merdeka pada malam itu juga, lebih baik mencari seorang pemimpin lain yang belum pernah bekerjasama dengan pemerintahan militer Jepang.

BACA JUGA: Malam ini 71 Tahun Lalu di Rumah Bung Karno

Dan mereka berada di belakang pemimpin itu sebagai penyokong revolusi.

Alhasil, perundingan macet. Pukul 23.30, sebagaimana diceritakan Subadio Sastrosatomo, saksi mata peristiwa itu, rapat bubar. 

BACA JUGA: Beuuuh... Ada Jawara, Preman dan Parewa dalam Ring Satu Proklamasi

"Perutusan pemuda meninggalkan halaman rumah Pegangsaan Timur 56 dengan penuh perasaan dongkol, marah, kesal mendengarkan kata-kata dan sikap Bung Karno," kata Subadio, sebagaimana ditulis J Tuk Suprapto dalam Sinar Harapan, 18 Agustus 1970.

Tanggal 15 Agustus 1945 telah berlalu. Hari baru tiba. 16 Agustus para pemuda kembali menyusun rencana; menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di sana.

Membujuk Wikana

Jakarta, 16 Agustus 1945 siang…

Ahmad Soebardjo dan Shigetada Nishijima menemui Wikana di Asrama Indonesia Merdeka, Jl. Deffensieliyn vd Bosh No.52--sekarang Jalan Bungur Besar, dekat Senen, Jakarta Pusat. 

(baca: Tim Rahasia Penyelenggara Proklamasi

Bujukan Nishijima sia-sia. Wikana tutup mulut. Dia berusaha lebih keras, namun pimpinan kaum muda itu tetap bungkam. Wikana yang duduk di lantai, diam tak bersuara. 

Subardjo juga mencoba membujuk Wikana. Berkali-kali hingga akhirnya Wikana buka mulut.

“Tidak. Kami tidak bisa, karena kawan-kawan telah membuat janji. Kami ingin memproklamasikan kemerdekaan kami kepada dunia. Bahkan jika hancur dalam sekejap kami tidak akan peduli. Kami siap untuk dibunuh,” tandas Wikana.

Kata-kata Wikana, sebagaimana ditulis Nishijima dalam memoarnya, mengisyaratkan Sukarno dan Hatta ada di tangan kelompok pemuda. 

"Sejujurnya, saya maupun Laksamana Maeda tidak berpikir kelompok pemuda memiliki keberanian untuk melakukan penculikan. Padahal, kami menduga bahwa Rikugun (Angkatan Darat Jepang) telah mendalangi itu,” tulis Nishijima, sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Intel Jepang.

Setelah perbincangan itu, Wikana membungkuk sedikit. Dia bergerak melintasi Nishijima dan Subardjo lalu menghampiri sekelompok pemuda yang duduk-duduk tak jauh dari situ. 

Wikana tampak berbincang serius dengan dua orang pemuda. Satu di antaranya Jusuf Kunto, mantan Giyugun anggota Boeigun Kyodo yang pada 15 Agustus 1945 malam satu di antara pemuda yang datang ke rumah Soekarno bersama Wikana. 

Pendek kisah, Kunto mengajak Subardjo ke tempat Sukarno dan Hatta disembunyikan. Sebelum itu, Maeda diminta untuk berjanji tidak akan menangkap setiap pemuda yang terlibat dalam penculikan itu. Maeda juga diminta berjanji menjamin keamanan Sukarno dan Hatta. Dan Maeda memenuhi permintaan itu. 

Ketika Subardjo hendak berangkat, Nishijima menawarkan diri ikut bersamanya, tapi Subardjo menolak. Subardjo berangkat ke Rengasdengklok sekitar jam empat sore.

Matahari sudah tenggelam. Hari berangsur gelap. Mobil yang mereka kendarai sempat pecah ban. Beberapa saat selepas berbuka puasa, mereka tiba di Rengasdengklok. 

Di Rengasdengklok Subardjo tidak begitu saja diterima oleh para pemuda, sebab dia dianggap sebagai antek Jepang karena bekerja pada Angkatan Laut Jepang. Menurut cerita Adam Malik, saat itu Subardjo dan Sudiro, hampir ditahan oleh pemuda.

Sebelum diperkenankan menemui Sukarno dan Hatta, dan kemudian membawa keduanya kembali ke Jakarta, Subardjo berjanji kepada para pemuda bahwa kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Paling lambat pukul 12 siang esok hari, Jumat 17 Agustus 1945.

Atas janjinya itu, Subardjo mempertaruhkan nyawanya bila janji itu tak bisa dilaksanakan. “Jika semuanya gagal terwujud,” kata Soebardjo, “saya akan bertanggung jawab penuh atas kegagalan itu. Anda bahkan mungkin menembak saya,” tulis Soebardjo dalam Kesadaran Nasional.

Setelah Soebardjo berkata demikian, dia diizinkan bertemu Soekarno dan Hatta. Subardjo segera membawa Sukarno dan Hatta bergegas ke mobil dan pergi ke Jakarta.

Sementara itu, orang-orang di Asrama Indonesia Merdeka menyiapkan senjata dan mengatur rencana pengamanan proklamasi. Para preman dan jawara Jakarta berkumpul. 

Wikana, pemuda berusia 31 tahun yang masa itu cukup punya pengaruh di kalangan pemuda adalah kepala sekolah Asrama Indonesia Merdeka.

Apa kisah Asrama Indonesia Merdeka? --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Ada Tim Rahasia yang Menyelenggarakan Proklamasi, Ini Orangnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler