Atasi Judi, Perlu Gerakan Kebudayaan

Oleh: MH. Said Abdullah - Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim sekaligus Ketua Badan Anggaran DPR RI

Senin, 15 Juli 2024 – 19:03 WIB
Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim sekaligus Ketua Badan Anggaran DPR RI MH Said Abdullah. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Sejarah perjudian seiring, sejalan dengan peradaban manusia. Perjudian dianggap kegiatan menyimpang di setiap peradaban.

Namun, kegiatannya tidak pernah musnah, malah menjadi praktik hidup yang ada di peradaban manusia itu sendiri.

BACA JUGA: Said Abdullah Sampaikan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Saat Raker Pembahasan RAPBN 2025

Cerita-cerita tentang perjudian sudah muncul pada fase Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan juga Tiongkok Kuno.

Walau dianggap moralitas yang menyimpang, bukannya musnah, perjudian pada abad 15 malah berkembang secara terorganisir.

BACA JUGA: Soal RAPBN 2025, Said Abdullah: Waspadai Tren Kurang Baik di Indikator Sektor Keuangan

Saat itu beberapa negara di Eropa melegalkan lotere untuk melokalisir perjudian, sekaligus menambah pendapatan kerajaan.

Bahkan karena judi yang berkembang di abad 17, mengundang para matematikawan merumuskan teori tentang probabilitas untuk membaca algoritma judi.

BACA JUGA: Judi Online Jaringan Luar Negeri Dibongkar Polresta Bandung, Selebgram ADM Ikut Ditangkap

Berbeda dengan bangsa kita yang bermain judi cenderung pendek pikir, banyak mengadu nasib perjudian dengan meminta wangsit di kuburan, atau tempat tempat yang dianggap keramat dengan harapan mendapatkan wangsit untuk menang judi.

Pada masa pendudukan Belanda, judi dan madat relatif diberi kelonggaran oleh pemerintah kolonial.

Keduanya dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membiayai perang, dan untuk memadamkan pemberontakan.

Judi juga alat kolonial agar penduduk pribumi tidak kritis yang bisa membangkitkan perlawanan.

Agak serupa, cara itu juga ditempuh oleh orde baru. Kegiatan Lotre Dana Harapan, yang dikelola oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial yang di tutup pada tahun 1965 oleh orde lama, dibangkitkan kembali oleh orde baru dan dinaungi dibawah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), dengan demikian orde baru melegalkan perjudian.

Kegiatan itu diatur oleh Menteri Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. B.A. 5-4-76/169.

Hasil pendapatan perjudian digunakan untuk pembiayaan penanganan masalah masalah sosial. Namun masalah sosial juga tak bisa diselesiakan.

Dalam perjalanannya orde baru belajar pengelolaan judi di Inggris.

Berikutnya diluncurkanlah kupon porkas sepak bola sebagai bentuk baru perjudian di masa orba.

Akibatnya protes sosial meluas atas kegiatan judi porkas.

Menanggapi protes sosial, terutama dari kalangan agamawan, pemerintah orde baru mengubah kebijakan perjudiannya.

Orde baru memperhalus dan menyembunyikan kegiatan perjudian yang dilegalkannya dengan istilah sumbangan sosial.

Pada era tahun 1980-1990 an kita mengenal SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Banyak penjudi tergila gila mendapatkan hadiah dari perjudiannya melalui SDSB hingga Rp 1 miliar.

Angka yang sangat fantastis di era itu. Kegiatan ini disahkan oleh Menteri Sosial melalui SK Menteri Sosial nomor 29/BSS 1987. Bahkan nomor undian yang keluar dari SDSB diumumkan luas melalui radio radio pemerintah.

Protes mahasiswa dan kalangan agamawan meluas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk kegiatan SDSB. Pemerintah akhirnya menghentikan kegiatan SDSB pada tahun 1993.

Apakah sejak kegiatan perjudian resmi ditutup sejak saat itu, dengan serta merta kegiatan perjudian tersembunyi tidak berlangsung?

Banyak cerita beragam kegiatan perjudian masih berlangsung, baik skala kampung dengan nilai transaksi recehan, hingga judi kelas atas dengan transaksi jumbo.

Berkembangnya internet di Indonesia, sejalan dengan pembangunan infrastruktur digital yang dijalankan oleh pemerintah sepuluh tahun terakhir rupanya juga menjadi wahana yang dimanfaatkan oleh penjudi.

Internet menjadi fasilitas yang mempermudah kegiatan perjudian secara online. Apalagi smartphone dengan koneksi internet telah massif hingga ke pelosok desa.

Google dalam survei terbarunya, Think Tech, Rise of Foldables: The Next Big Thing Ipin Smartphone menyebutkan jumlah ponsel aktif di Indonesia saat ini mencapai 354 juta perangkat.

Judi online (Judol) telah menjelma bara dalam sekam. Dirjen Aptika Kominfo menyampaikan telah menutup paksa situs judol lebih dari dua juta situs.

Namun Bagai cendawan dimusim hujan, tumbuh kembali dengan fantastis. Penetrasi judol berdampak sosial masif. Kabarnya 70 persen perceraian di Cianjur ada kontribusi efek judol.

Bahkan aparat TNI dan Polri juga terpapar dengan kegiatan judol. Seorang polwan membakar hidup hidup suaminya yang juga polisi karena kegiatan judol dari suaminya.

Lebih heboh lagi, PPATK menyampaikan kegiatan judol juga ada di Gedung DPR, dan sedang di selidiki oleh Mahkamah Kehormatan DPR adanya dugaan anggota DPR terlibat judol.

Pemerintah bereaksi membentuk Satgas Pemberantasan Judol. Kita harapkan Satgas ini menghasilkan kerja yang nyata bukan sekedar aksi gimmick.

Hendaknya Satgas ini beroperasi massif secara hirarkis hingga bawah. Mustahil membersihkan kotoran dengan sapu yang kotor.

Oleh sebab itu paling prioritas membersihkan aparat TNI, Polri dan birokrasi dari segala bentuk perjudian.

Pararel dengan langkah tersebut, perlu gerakan kebudayaan. Sebab perang melawan perjudian tidak bisa hanya di aras negara.

Gerakan kebudayaan hanya akan muncul bila Satgas bisa memberikan kerja nyata dengan membuktikan penangkapan besar besaran para pemain judi yang melibatkan seluruh kepangkatan tinggi dari TNI, Polri dan birokrasi.

Keteladanan ini akan membangkitkan kepercayaan rakyat sebagai bagian dari kekuatan semesta.

Kekuatan semesta inilah fondasi gerakan kebudayaan untuk melawan dan menghindarkan diri dari seluruh kegiatan perjudian.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler