jpnn.com, JAKARTA - Kemenkes menerbitkan aturan baru terkait pengelolaan BPJS Kesehatan. Yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih biaya dalam Progam Jaminan Kesehatan -Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Namun, peserta BPJS Kesehatan belum dikenai urun biaya. Dalam Permenkes disebutkan, ada tim yang akan mengkaji layanan apa saja yang dikenai urun biaya. Kemenkes menjelaskan bahwa pihaknya menunggu kajian dari tim yang terdiri atas organisasi profesi kesehatan dan asosiasi rumah sakit (RS) itu.
BACA JUGA: Hery Susanto Kritik Pengelolaan BPJS Kesehatan di Era Jokowi
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes Sundoyo menyatakan, jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenai urun biaya harus diusulkan terlebih dahulu oleh asosiasi RS, BPJS Kesehatan, atau organisasi profesi. Setelah itu akan dikaji Kemenkes. "Baru diputuskan menteri kesehatan," ucapnya Minggu (20/1).
Sampai saat ini belum ada usulan dari asosiasi RS, BPJS Kesehatan, dan organisasi profesi sehingga tim dari Kemenkes belum bekerja. Sehubungan dengan hal tersebut, menteri kesehatan juga belum menetapkan jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenai urun biaya itu.
BACA JUGA: Perlu Dibentuk Tim Penentu Jenis Pelayanan BPJS Kesehatan
Permenkes 51 merupakan amanat pasal 8 ayat (4) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berdasar pasal 104 perpres itu, permenkes harus sudah ditetapkan tiga bulan sejak Perpres 82 itu diundangkan.
Secara umum permenkes tersebut mengatur dua hal, yaitu urun biaya dan selisih biaya. Urun biaya dan selisih biaya tidak berlaku bagi peserta bantuan iuran (PBI), peserta yang didaftarkan pemda, dan pekerja penerima upah (PPU) yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
BACA JUGA: Aturan Baru terkait BPJS Kesehatan: Peserta tak Bisa Seenaknya Minta Pelayanan
"Untuk rawat jalan, terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenai urun biaya juga belum berlaku karena masih menunggu penetapan dari menteri kesehatan," ungkapnya.
Sundoyo menjelaskan, adanya urun biaya terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dimaksudkan sebagai kendali mutu dan kendali biaya. Dibutuhkan proses panjang untuk menetapkan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya.
Kemenkes harus menggelar rapat bersama BPJS Kesehatan, organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta asosiasi fasilitas kesehatan untuk membahas usulan layanan apa saja yang harus membayar.
Kemudian, menteri kesehatan membentuk tim khusus. Tugas pertama mereka mempertimbangkan usulan dari aspek pemanfaatan, penggunaan, serta prosedur pelayanan. Setelah itu usulan diuji publik. Baik melalui sosialisasi, seminar, lokakarya, maupun diskusi dengan stakeholder kesehatan, akademisi, dan kelompok konsumen.
Selanjutnya, tim akan memberikan hasilnya berupa rekomendasi ke menteri. Rekomendasi harus disampaikan paling lama tiga minggu sejak penugasan. "Tapi tidak langsung begitu saja disetujui menteri," ucap Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief.
Tentu menteri juga harus mempelajari dan mempertimbangkan lagi rekomendasi itu sebelum memutuskan untuk menetapkan atau menolak. Paling lama seminggu untuk memberikan keputusan sejak rekomendasi diterima. "Kalau rekom itu ditolak, menteri harus segera menyampaikan ke forum untuk segera dikaji ulang," imbuhnya.
Setidaknya, lanjut Budi, dibutuhkan waktu sebulan untuk menetapkan jenis pelayanan yang nanti dikenai urun biaya. Namun, faktanya, hingga saat ini belum ada kabar untuk menggelar pertemuan dengan Kemenkes bersama stakeholder kesehatan lainnya.
"Untuk penetapannya sampai saat ini juga belum jelas. Kalau ternyata pertengahan atau akhir tahun ya mungkin baru berlaku di pengujung 2019 atau tahun depan," ucap dr Kamelia, staf JPKR BPJS Kesehatan. (lyn/han/c9/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluhan Sistem Rujuk Balik Justru dari BPJS Kesehatan
Redaktur & Reporter : Soetomo