JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) A Hafiz Anshary menegaskan, pihaknya tidak sependapat bila di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada 26 Agustus 2010, menggunakan sistem e-voting. Alasannya, penggunaan e-voting belum punya payung hukumJika tetap dilaksanakan tapi belum ada aturannya, KPU tak mau disalahkan apbila ada masalah di kemudian hari.
”Secara pribadi saya berpendapat coblos dulu
BACA JUGA: Ade Komaruddin Digadang Pimpin SOKSI
Sebab kalau itu nanti ada masalah, karena orang bisa bilang itu pasti ketahuan pilihan dia, karena operator kan tahu sehingga kerahasiannya tidak terjamin,” kata Hafiz di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komite II DPD yang dipimpin Farouk Muhammad di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (3/5).Meski Kabupaten yang dipimpin I Gede Winasa berhasil menyelenggarakan pemilihan umum dengan sistem elektronik (e-voting) untuk 54 kepala dusun di 31 desa yang dimulai sejak pertengahan tahun 2009, namun menurut Hafiz peralatannya belum mencukupi secara keseluruhan untuk diterapkan pada Pilkada.
Hafiz juga membantah jika ada surat permintaan dari Bupati Jembrana yang menginginkan agar pada Pilkada diterapkan e-voting
Justru informasi yang diperoleh Hafiz dari I Gusti Putu Artha yang juga angggota KPU Pusat, bahwa Bupati Jembrana tidak siap karena pelaksanaannya memang sangat sulit
BACA JUGA: Marzuki Bantah DPR jadi Bunker Koruptor
“Seingat saya belum ada suratnyaMenurut Hafiz, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-undang No 12 Tahun 2008, amarnya antara lain menyatakan bahwa pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah konstitusional bersyarat terhadap 28 C ayat 1 dan 2 UUD 1945
BACA JUGA: Marzuki Alie Tolak Anggaran Gedung DPR Rp1,8 Triliun
Sehingga kata mencoblos dalam pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif, namun belum bisa dijadikan dasar karena masih ada pasal-pasal lain yang harus diatur.“Ini kan baru pasal untuk mencoblos yang dipersoalkanMK mengatakan mencoblos dalam pasal itu bisa dimaknai juga dengan ketentuan sebagai berikut (e-voting)Tapi pasal lain tidak dibatalkan, pengawasannya seperti apa, alat seperti apa, sedangkan logistik di situ tidak menyebut alat e-voting, mestinya kalau dirubah, pasal-pasal lain (juga) harus dicantumkan,” ucapanya.
Terhadap pengadaan mesin e-voting untuk pengadaan logsitik juga menjadi bumerang bagi KPU karena pengadaan itu bisa saja akan menjadi temuan karena belum diatur pengadaannya“Berani gak KPU membeli? Temuan nanti, bentuknya seperti apa, apalagi alatnya mahal, bahkan menurut Pak Putu formulasinya Rp 15 juta per unit,” ulasnya.
Dikatakan Hafiz, jumlah biayanya bisa berlipat-lipat dan tidak cukup dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)Dimisalkan, jika kabupaten/kota memerlukan 1000 mesin e-voting berarti dibutuhkan dana sebesar Rp 15 milyar“Ya, anggaplah misalkan kabupaten/kota sekitar 1000 kali Rp 15 juta ya Rp 15 MilyarAPBD-nya berapa sih di situ? Ini umpamanya,” ujarnya(awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Operasional Demokrat Akan Dikendalikan Direktur Eksekutif
Redaktur : Soetomo Samsu