Aturan Penomeran Kartu Seluler Dinilai Sia-sia

Minggu, 27 Oktober 2013 – 15:37 WIB

jpnn.com - JAKARTA--Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) penomeran kartu telepon seluler dalam RUU Konvergensi dianggap tidak ada gunanya. Pasalnya, masih belum jelas hak yang diterima operator setelah membayar biaya itu ke negara.

“Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap  Setyanto P Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dalam keterangan persnya, Minggu (27/10).

BACA JUGA: Minta Aturan Sertifikasi Makanan dan Farmasi Dibedakan

Apalagi, lanjut Setyanto, operator sudah mendapat banyak pungutan diluar pajak yakni, BHP Jasa Telekomunikasi (Jastel) dan Universal Service Obligation (USO). Masing-masing ditetapkan 0,5 persen hingga 1,25 persen dari pendapatan kotor bisnis operator.

“Kebijakan ini sejak jaman Soesilo Soedarman (Menkominfo tahun 1988-1993), dan BHP Jasa Telekomunikasi itu termasuk sudah BHP penomoran,” ungkapnya. Ia juga menegaskan, tidak ada satupun negara di dunia yang memungut biaya meskipun pemakaian nomor telepon seluler terus melonjak. Toh pertumbuhan pengguna telepon seluler di Tanah Air masih tergolong wajar.

BACA JUGA: PLN Setuju Penyesuaian Tarif

Dia menambahkan, penetapan BHP ini akan berpengaruh kepada harga jual nomor seluler ke pelanggan. Pembeli jadi enggan membeli dan bisnis telepon seluler dikemudian hari akan merosot. Padahal, saat ini industri telekomunikasi nasional masih bisa terus bertumbuh.

Oleh karena itu, Setyanto berharap pemerintah dan DPR bisa menghapus kewajiban ini pada draff RUU Konvergensi. Selain mempengaruhi bisnis, bisa jadi kebijakan ini akan membuat kualitas layanan operator merosot.

BACA JUGA: BPK Harus Tetap Audit Keuangan BUMN

“Pemerintah jelas salah, karena itu kami dari Mastel menolak tegas aturan ini karena tidak ada gunanya,” ungkapnya.  

Saat ini DPR RI tengah membahas RUU Konvergensi sebagai pengganti UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Salah satu pasal adalah adanya kewajiban dari seluruh operator seluler untuk menerapkan BHP penomeran. Sebelum sampai ke tangan DPR, RUU tersebut diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2010.

Pemerintah beranggapan, BHP penomeran perlu karena jumlah nomor digit kartu telepon pelanggan seluler adalah sumber daya terbatas. Selain Mastel, semua operator seluler di Tanah Air menentang keras kebijakan ini. Pasalnya, BHP ini tidak adil karena tidak hanya diterapkan kepada nomor-nomor baru, tetapi juga ditambah yang sudah terpakai oleh pelanggan masing-masing. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumut Disarankan Cari Pinjaman Sendiri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler