Awal pekan ini lembaga Grattan Institute di Melbourne merilis laporan yang menemukan banyak lulusan pelajar internasional di Australia diberikan "harapan palsu".
Laporan tersebut juga menganggap Australia "too generous" atau terlalu dermawan dengan memberikan hak untuk bekerja setelah lulus.
BACA JUGA: Kasus TPPO di Sukabumi Terungkap, AKBP Maruly Pardede Ungkap Fakta Ini
Brendan Coates, penulis utama laporan, sekaligus direktur program kebijakan ekonomi di Grattan Institute mengatakan keputusan pemerintah Australia untuk memberikan lebih banyak waktu bagi para lulusan untuk bisa lebih lama tinggal di Australia adalah sebuah kesalahan.
"Kalau jumlah lulusan internasional di Australia terus bertambah, otomatis kesempatan yang mendapatkan visa permanen berkurang," ujar Brendan.
BACA JUGA: Tak Banyak yang Tahu Suku Ainu, Warga Pribumi Jepang yang Makin Terpinggirkan
Laporan tersebut menemukan hanya setengah dari lulusan yang bisa mendapatkan pekerjaan penuh waktu atau full-time.
Sementara itu, pada tahun 2022, Brendan mengatakan kurang dari sepertiga pemegang visa 'Temporary Graduate' yang bisa beralih ke visa permanen atau menjadi penduduk tetap.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Kebakaran Hutan Melanda Sejumlah Negara Bagian di Australia
Jumlah tersebut menurun, dibandingkan pada tahun 2014 yang jumlahnya dua pertiga dari total keseluruhan.
"Tidak ada yang mau mendorong lulusan internasional untuk menetap dan menderita di Australia," kata Brendan.
"Kita punya tanggung jawab untuk bicara apa adanya kepada para lulusan soal kecil kemungkinan untuk menetap secara permanen."
"Untuk kebanyakan lulusan, jawaban yang seharusnya mereka dengar adalah mereka tidak diberikan tawaran hak kerja sehingga mereka bisa pulang lebih awal."Menimbulkan masalah akibat ketidakpastian
Laporan tersebut mencatat, jumlah pemegang visa 'Temporary Graduate' melonjak dua kali lipat hingga 200.000 sejak tahun 2019.
Mudahnya pemberian kerja di Australia setelah lulus diprediksi bisa melipatgandakan jumlah pemegang visa 'Temporary Graduate' menjadi 370.000 pada tahun 2030.
Brendan mengatakan hal ini malah akan membuat lebih banyak lulusan terjebak dalam ketidakpastian akibat visa, apalagi di tengah tekanan sulitnya menyewa rumah di Australia.
Seperti kebanyakan mahasiswa internasional lainnya, Mufthi Thanzeel belajar di Australia dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai bidangnya setelah lulus kuliah.
Ia juga berharap bisa menjadi 'permanent resident' atau penduduk tetap.
Namun, empat bulan setelah menyelesaikan gelar Masternya di Flinders University Adelaide, nasib pria berusia 27 tahun tersebut masih tidak menentu.
"Orang-orang bilang kita harus sudah punya pengalaman kerja waktu melamar, tapi seharusnya mereka memberi kami kesempatan dulu," katanya.
Lulusan jurusan Cyber Security tersebut sudah beberapa kali tidak diterima untuk magang selama masih kuliah, karena tidak memiliki hak untuk kerja penuh waktu sebagai pemegang visa pelajar.
Sejak lulus kuliah, Mufthi yang berasal dari Sri Lanka sudah melamar 15 pekerjaan dan mengakui ada rintangan tersendiri saat melamar pekerjaan.
Namun, ia tetap optimistis.
Tapi setidaknya perubahan visa yang baru memberikannya lebih banyak waktu untuk mencoba masuk dunia kerja di Australia.
Juli lalu, Pemerintah Australia memperpanjang visa 'Post-Study Work', yang memberikan kesempatan bagi sarjana lulusan Australia untuk menetap dan bekerja di negara tersebut dua tahun lebih lama.
"Saya punya waktu empat hingga lima tahun untuk mencoba yang terbaik," ujar Mufthi.
"Kalau beruntung, saya pasti bisa dapat. Tapi kalau tidak, mungkin harus sedikit berjuang."Alasan perusahaan tak pekerjakan pelajar internasional
Yeganeh Soltanpour, presiden organisasi Council of International Students Australia mengatakan mahasiswa internasional seringkali diberikan informasi yang "terlalu berlebihan"
"Banyak mahasiswa datang dengan tujuan dan harapan untuk bisa belajar dan mendapatkan pekerjaan," kata Yeganeh.
"Tapi dalam beberapa kasus, mereka tidak tahu apa yang mereka mau."
Ia juga mengatakan universitas seringkali tidak menjelaskan kualifikasi yang dibutuhkan untuk menggeluti karier pilihan mereka di Australia.
Mahasiswa internasional juga seringkali tidak mendapatkan kesempatan kerja yang sebanding dengan mahasiswa lokal.
Ketika Yeganeh pertama kali hadir di sebuah career expo tahun 2018, banyak lowongan pekerjaan secara terang-terangan menyebut mereka tidak menerima mahasiswa internasional.
"Ada beberapa lowongan yang menerima kami, namun jumlahnya sangat-sangat sedikit," katanya.
"Saya bisa menghitungnya dengan satu jari."
Ia mengatakan banyak yang sudah berubah, namun laporan Grattan Institute mencatat kebanyakan perusahaan masih tidak ingin mempekerjakan lulusan internasional.
"Alasan utama perusahaan tidak mau mempekerjakan lulusan internasional adalah karena mereka belum tentu bisa menetap di Australia dalam jangka waktu panjang," ujar Brendan.Anjuran mengubah aturan
Laporan Grattan Institute mengatakan Australia harus menolong lulusan internasional untuk bisa mendapatkan pekerjaan di Australia, salah satunya dengan merilis kampanye yang bisa mengubah persepsi perusahaan terhadap lulusan pelajar internasional.
Laporan tersebut juga menyerukan perubahan aturan visa untuk mengurangi jumlah lulusan yang mengalami ketidakpastian, serta agar bisa memilah lulusan terbaik yang bisa tinggal di Australia.
Rekomendasi yang diajukannya antara lain menaikkan standar bahasa Inggris, membatasi usia visa sementara hanya untuk lulusan berumur 35 tahun ke bawah, juga hanya memberikan visa lebih panjang untuk lulusan yang berpenghasilan setidaknya AU$70,000 setahun.
Batas umur untuk visa izin tinggal sementara tersebut saat ini adalah 50 tahun.
Temuan tersebut juga menyebutkan perpanjangan visa bagi lulusan dari bidang yang diprioritaskan juga harus dihapus.
"Belajar sebuah bidang ilmu bukan berarti Anda jadi lulusan berbakat," ujar Brendan.
Profesor Lesleyanne Hawthorne dari University of Melbourne, yang juga pakar kebijakan migrasi global menyetujui beberapa rekomendasi yang diberikan dalam laporan tersebut.
Namun ia mengatakan sistem saat ini setidaknya masih memberikan banyak manfaat.
"Jalur migrasi lewat studi menciptakan saluran bagi banyak pelamar pekerjaan, di mana pemerintah dapat memilih migran yang memiliki kemampuan," ujarnya.
"Di bidang kesehatan, kita sudah memiliki ribuan mahasiswa internasional ... jadi sumber daya yang besar bagi Australia."
"Banyaknya migran muda yang memiliki kemampuan" juga bermanfaat bagi beberapa bidang seperti perawatan lanjut usia dan disabilitas, menurut Profesor Lesleyanne.
Ia tidak setuju dengan rekomendasi untuk memberikan visa dengan masa berlaku lebih lama bagi lulusan yang berpenghasilan setidaknya AU$70,000 (Rp700 juta) per tahun.
Profesor Lesleyanne juga tidak setuju dengan rekomendasi untuk membatalkan keputusan memberikan visa dengan masa berlaku lebih panjang bagi pelajar internasional yang bekerja di bidang dibutuhkan.
"Menurut saya kedua elemen menghilangkan perpanjangan visa merupakan klaim yang terlalu sederhana," katanya.
Meski beberapa lulusan yang membantu mengisi kekosongan pekerja di Australia mungkin tidak akan pernah bisa dapat visa permanen, "masalah ketidakmenentuan sangatlah nyata," menurut Profesor Lesleyanne.
"Sangatlah penting untuk menjelaskan kepada calon mahasiswa internasional kalau tidak ada kepastian bagi mereka untuk bisa menetap di Australia."
Mufthi menyadari kemungkinan dirinya akan kembali ke Sri Lanka setelah visa 'post-study' nya rampung, namun ia tetap ingin menikmati waktunya di Australia.
"Kita punya kesempatan di sini, tapi kalau tidak ada jalan, kita harus punya rencana lain," katanya.
"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam empat tahun ke depan. Mungkin saya akan dapat pekerjaan, mungkin juga tidak.
"Kita tidak akan pernah tahu, tapi kita harus terus mencoba."
Laporan ini diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Video Viral Bagi-Bagi Sayur di Pesta Pernikahan, Apa yang Sebenarnya Terjadi?