Keputusan Australia untuk tidak lagi memproses pencari suaka yang berada di Papua Nugini mendapatkan reaksi beragam. Para pengungsi mengatakan ingin tinggal di Papua Nugini, namun yang lain merasa tidak aman.

Dalam sebuah pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia, Karen Andrews, mengatakan Pemerintah Australia akan menghentikan kontrak penanganan pencari suaka di Papua Nugini di akhir tahun nanti.

BACA JUGA: Terjemahan Squid Game di Netflix Bikin Warga Korsel Sewot

Setelah itu Papua Nugini akan bertanggung jawab penuh untuk menangani pencari suaka dan pengungsi di sana.

Sekitar 124 pria yang masih berada di Papua Nugini akan memiliki pilihan pindah ke pusat penananganan regional di Nauru atau menetap di Papua Nugini yang akan memberikan jalan untuk jadi jadi warga negara serta bantuan lainnya.

BACA JUGA: Ye Bingchen, Bintang Kung Fu Austrlia Tembus Industri Film Hollywood

Seorang pengungsi asal Bangladesh, Nurul Islam, 34 tahun yang sudah berada di Papua Nugini sejak tahun 2013 mengatakan kepada ABC jika kedua opsi itu tidak memberikan jaminan keamanan bagi dirinya.

"Kawasan ini tidak aman bagi saya, kami tidak bisa bergerak dengan bebas. Kami tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan," kata Islam.

BACA JUGA: Eks PM Australia Siap Bantu Taiwan Keluar dari Cengkeraman China

Dia mengatakan sudah berusaha mendapatkan perawatan kesehatan di Papua Nugini, namun mengatakan sistem layanan kesehatan di sana tidak memadai.

Nurul juga mengkhawatirkan keselamatan istri dan dua anak perempuannya yang tinggal bersamanya di Port Moresby, tapi tidak mau juga dipindahkan ke Nauru. Papua Nugini tidak dibuat untuk menangani pengungsi

Para aktivis pembela pengungsi sudah menyampaikan keprihatinan mengenai kesejahteraan mereka yang sudah mendapatkan status perlindungan sebagai pengungsi tersebut.

Direktur Advokasi dan Kampanye dari lembaga The Asylum Seeker Resource Centre, Jana Favero, menuduh Pemerintah Australia memindahkan tanggung jawab terhadap pengungsi dan pencari suaka kepada pemerintah Papua Nugini.

"Papua Nugini tidak berada dalam posisi yang secara aman bisa memukimkan mereka pada saat ini," kata Jana.

"COVID sedang mewabah. Baru sekitar 2 persen penduduk di sana mendapatkan vaksinasi," ujarnya.

 

Pastor Giorgio Licini dari Konferensi Wali Gereja Katolik di Papua Nugini mengatakan negaranya tidak dibuat untuk menangani pengungsi.

Ia mengatakan solusi yang ada saat ini sebagai "hal yang tidak bisa diterima".

"Papua Nugini tidak pernah ditata dengan benar dan tidak memiliki struktur untuk memukimkan pengungsi," katanya.

"Sayang sekali Australia muncul dengan solusi ini dan harus ada hal lain yang dilakukan."

Jana menyerukan kepada Pemerintah Australia untuk membawa para pengungsi dan pencari suaka ke daratan Australia, untuk diproses dan dimukimkan kembali di Australia, Selandia Baru atau di Amerika Serikat."

"Yang dibutuhkan mereka adalah keamanan dan kehidupan yang permanen, serta kebutuhan untuk berkumpul lagi bersama keluarga mereka," katanya.

Namun beberapa pengungsi menyambut baik kesempatan untuk tinggal di Papua Nugini.

Alam Bhuiyan yang meninggalkan Bangladesh di tahun 2013 dan menjalani penahanan di Manus Island mengatakan dirinya menyambut baik kemungkinan mendapatkan status warga negara di Papua Nugini, karena ia sudah memiliki usaha kecil dan juga sudah berkeluarga.

"Saya sudah berada di sini selama delapan tahun dan saya memiliki beberapa teman baik. Jadi saya merasa senang dengan Papua Nugini," kata Alam. Proses pengungsi di luar Australia berlanjut

Walau proses pemukiman pengungsi di Papua Nugini akan berakhir, Menteri Karen mengatakan kebijakan imigrasi Pemerintah Australia tidak berubah.

"Siapa saja yang berusaha memasuki Australia dengan kapal akan dikirimkan kembali atau dikirim ke Nauru," katanya.

Pekan lalu, Australia menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Nauru untuk melanjutkan proses penanganan regional di sana.

Saat ini ada 107 orang yang berada di pusat pemrosesan regional di Nauru tersebut.

Jana mengatakan proses penanganan pengungsi yang dilakukan di luar Australia sudah menciptakan penderitaan besar bagi pencari suaka dan pengungsi di Papua Nugini dan Nauru selama delapan tahun terakhir.

Sedikitnya 12 orang meninggal di pusat penanganan tersebut, termasuk seorang warga Iran, Reza Berati yang tewas dalam kerusuhan di Manus Island tahun 2014.

"Saya merasa malu dan sedih melihat bagaimana kita menangani orang-orang yang sebenarnya hanya berusaha mencari keselamatan dengan tiba di tanah kita," kata Jana.

Di tahun 2016, Mahkamah Agung Papua Nugini memutuskan pusat penahanan pengungsi milik Australia di Manus Island sebagai tindakan ilegal.

Di akhir tahun 2019, hampir seluruh pengungsi sudah dipindahkan ke ibukota Papua Nugini, Port Moresby.

ABC sudah berusaha mendapatkan komentar langsung dari Departemen Dalam Negeri Australia.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Alexander Meninggal Karena Minum Pil yang Dibeli di Snapchat, Ibunya Menuntut

Berita Terkait