jpnn.com - Sosok Aryani Widagdo mungkin pengejawantahan dari semangat belajar tak mengenal waktu. Serius menggeluti dunia fashion baru pada usia 40 tahun, tak menghalanginya mengukir prestasi di bidang tersebut. Tak heran, banyak desainer top tanah air lahir dari sentuhan ilmunya.
Panji Dwi Anggara, Surabaya
BACA JUGA: Rahmawaty, Anak Pemulung Sampah jadi Wisudawan Terbaik
Gaya bicaranya lembut namun tegas. Selipan uban di rambut dan gurat di wajah yang teduh, tak mengerutkan semangatnya dalam berkarya. Secara resmi, akhir Januari lalu menjadi titik finish baginya mengajar di institusi resmi yang dia dirikan, Arva School of Fashion.
Namun, layaknya triathlon, finish di satu tempat bukan berarti tugas telah usai. Masih ada tantangan lain yang menunggu di depan mata. Hal itu pula yang kini dilakukan oleh perempuan kelahiran Semarang 6 juli 1949.
BACA JUGA: Temukan Emas di Gundukan Sampah
Usai memutuskan pensiun sebagai guru fashion, dia tidak mau berleha-leha di rumah menikmati masa tua. Baginya, eksistensi seorang manusia adalah ketika masih bisa berkarya dan bermanfaat bagi orang lain. ”Karena terbiasa beraktivitas, jadi kalau nganggur malah tidak enak,” ujarnya saat ditemui di apartemennya yang nyaman di kawasan Surabaya Barat.
Aktivitas Aryani kini lebih banyak menulis buku serta membuat aneka kerajinan tangan. Nantinya dua hal tersebut akan dia kolaborasikan dalam sebuah buku berisi step by step membuat kerajinan. Sehingga tujuannya untuk memaksimalkan peran perempuan dapat tercapai.
BACA JUGA: Dua Kali Melahirkan Bayinya Jumbo Semua, Selamat ya...
Syukur-syukur, jika dari kemampuan membuat kerajinan tangan mampu menjadikan kaum hawa dapat menciptakan lapangan kerja baru di industri kreatif. Mimpi besar itulah yang sudah ada di benak Aryani sejak puluhan tahun silam. Itu dia salurkan melalui fashion.
Dulu, sebelum pertengahan dekade 1980an, Aryani tak ubahnya ibu rumah tangga biasa. Rutinitasnya hanya mengurus suami, (Alm) Freddy Haryanto dan kedua putra mereka, Dibya Hody dan Satya Hody. Sesekali dia sambi dengan menjaga toko keluarga.
Tapi, dasarnya sudah punya keinginan memberdayakan perempuan. Aryani berusaha mewujudkan. Namun, karena tidak ada pengalaman di bidang fashion. Terpaksa dia belajar secara otodidak. Apalagi di masa itu belum ada sekolah fashion berkualitas di Surabaya.
Melihat kesungguhannya belajar fashion, suami dan beberapa teman mulai menyarankan agar Aryani belajar ke Jakarta. Tapi, lagi-lagi karena alasan keluarga dia tidak bisa mengiyakan hal tersebut. Meninggalkan suami dan kedua anak yang masih kecil adalah hal yang sangat berat baginya.
Tapi perempuan yang tetap segar di usia 67 itu tak patah arang. Dia meminta bantuan seorang kenalannya yang bersedia bolak balik ke Surabaya – Jakarta untuk belajar fashion ke salah seorang guru senior.
”Jadi saya membayar orang untuk naik kereta api setiap Jumat ke Jakarta dan kembali ke Surabaya setiap (hari) Minggu. Dari situ saya pelajari apa yang dititipkan guru saya ke dia. Termasuk kalau ada PR, ya saya titipkan ke orang itu. Untungnya guru saya mau mengerti,” jelasnya.
Merasa sudah mendapat banyak ilmu dari gurunya di Jakarta, Aryani akhirnya memilih jalan lain lagi dalam menimba pengetahuan fashionnya. Dia memutuskan belajar fashion lewat korespondensi ke International Corespondence School Pennsylvania, Amerika Serikat.
”Karena saat itu teknologi belum secanggih sekarang. Dimana kalau mau cari informasi ya tinggal klik di Google. Makanya dulu saya bela-belain surat-menyurat. Biar ilmu yang saya dapatkan utuh,” kata perempuan yang hobi membaca tersebut. ”Selain itu, karena kondisi ekonomi yang belum terlalu mapan, tentu berat jika harus mengeluarkan budjet membeli majalah fashion luar negeri. Makanya saya memfotokopi saja,” imbuh Aryani.
Berbekal kemampuan yang sudah dia miliki, pada tahun 1989, saat dia berusia 40 tahun, Aryani memutuskan membentuk sekolah fashion yang dia beri nama Arva School of Fashion. Nama Arva merupakan pemberian sang suami yang artinya dalam bahasa Jerman Kuno adalah Sesuatu yang Agung.
Awalnya hanya ada empat siswa dengan empat bangku saja di sekolah besutan Aryani itu. Namun berjalannya waktu membuktikan bahwa kualitas pengajaran Aryani sangat mumpuni. Lambat laun, sekolahnya mulai kebanjiran murid. Bahkan hingga kini memiliki ribuan alumnus. Beberapa nama desainer lahir dari pola mengajarnya.
Tepat saat berusia perak atau 25 tahun, Aryani resmi melepas seluruh kepemilikannya di Arva School kepada pihak lain. Itu dia lakukan karena kedua anaknya sudah memiliki rutinitas lain dan tidak ada yang memiliki passion lebih di bidang fashion. ”Jika lebih baik di tangan orang lain, ya kenapa tidak,” jawabnya.
Namun, meski sudah mundur, Aryani tetap bertahan sebagai pengajar di sana selama setahun lebih. Baru pada akhir Januari lalu dia resmi mengundurkan diri sebagai pengajar. ”Saya bersyukur apa yang sudah saya jalankan masih berbuah manis. Sebab, sekali lagi saya menyadari bahwa seseorang yang sukses adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” pungkasnya. (pda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kursi Roda untuk Penderita Stroke, Digerakkan Sinyal Otak
Redaktur : Tim Redaksi