ANGGAPAN bahwa sampah merupakan barang yang tidak berguna masih melekat di masyarakat. Zamzami Umanansyah berusaha mengubah mindset tersebut. Bagi dia, sampah merupakan benda yang bermanfaat hingga bisa menghasilkan uang. Melalui Bank Sampah Syariah, dia membuktikan hal itu.
------------
Nanda Putu Dermawanti, Surabaya
------------
MENGUBAH mindset memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal itulah yang dialami mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Zamzami Umanansyah, 22. Dia ingin mengubah mindset masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Bahkan, laki-laki yang akrab disapa Zamzami tersebut ingin menanamkan pemikiran bahwa sampah itu bernilai dan bermanfaat.
”Mahasiswa menganggap sampah itu nggak berguna. Padahal, kalau didaur ulang, bisa bermanfaat,” kata laki-laki kelahiran Sampang, 3 April 1992, tersebut. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Zamzami menggagas Bank Sampah Syariah (BSS) di UINSA.
BACA JUGA: Menilik Eks Lokalisasi Dolly dan Jarak Setelah Lebaran
Sebelum mendirikan BSS, Zamzami bercerita bahwa dirinya sempat dipanggil ’’rombeng’’ oleh kawan-kawannya. Sebab, dia hobi mengambil dan mendaur ulang sampah. ”Biasanya selesai rapat banyak sampah, saya mengambil sampahnya, terus diejek rombeng sama teman-teman, hahaha,” ujar ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah itu lantas tertawa.
Begitu pula saat berada di kelas, jika melihat sampah berserakan, Zamzami langsung mengambilnya. Bahkan, teman-temannya kerap menelepon Zamzami untuk mengambil sampah di kos-kosannya. Dia pun mendatangi kos temannya yang terletak di daerah Wonocolo untuk menerima sampah dan mendaur ulang.
BACA JUGA: Obituari Rukin Firda, Perginya Jurnalis Pro-Edukasi
Bagi Zamzami, sikap tersebut merupakan salah satu cara untuk mengubah mindset kawan-kawannya mengenai sampah. Dia ingin mengajak teman-temannya membuang sampah pada tempatnya dan membuktikan bahwa sampah itu berguna. Caranya dengan memberikan contoh dan sikap.
Namun, lanjut Zamzami, tidak mudah mengubah paradigma seorang mahasiswa yang konon punya intelektual tinggi.
BACA JUGA: Melihat Sembahyang Kubur Kedua di Singkawang
”Banyak mahasiswa bilang bahwa BSS untuk kepentingan pribadi. Kata mereka, kalau mau membersihkan kampus, ya tinggal sewa 100 cleaning service saja. Tapi, saya pikir percuma pasti nanti kotor lagi. Makanya, yang harus diubah itu mindset orangnya biar bisa jangka panjang,” paparnya dengan nada serius.
Di sisi lain, agar bisa membangun BSS, Zamzami juga harus berjuang untuk meyakinkan rektor dan jajaran rektorat lain. Kerja keras tersebut membuahkan hasil. Mereka menyetujuinya dan me-launching BSS pada 21 Mei 2014.
Meski baru berdiri tiga bulan, jumlah nasabahnya cukup banyak, yaitu 100 mahasiswa dan 56 cleaning service. Beberapa contoh produk daur ulangnya adalah pupuk daun dan tanaman hias buatan. Pupuk dengan berat 5 kg dijual seharga Rp 6 ribu, sedangkan tanaman hias Rp 40 ribu.
Dari kegiatan itu, Zamzami mengungkapkan bahwa dalam sebulan BSS bisa mengumpulkan sampah kertas HVS sebanyak 500–600 kg. Pendapatan bersih dalam sebulan bisa mencapai Rp 1,8 juta hingga Rp 1,9 juta. Penghasilan tersebut digunakan sesuai dengan sistem syariah.
"Dalam sistem syariah, 20 persen untuk bagi hasil ke nasabah dan 80 persen untuk biaya operasionalnya,” papar Zamzami.
Ada beragam produk di BSS. Misalnya, simpanan sampah, deposito sampah, konsultasi sampah dan lingkungan, pembiayaan lingkungan, serta daur ulang sampah. Untuk simpanan sampah, nasabah bisa menyetorkan sampah-sampahnya ke BSS. Setelah itu, jumlah angka yang ada pada buku tabungannya bisa bertambah sesuai dengan harga jenis sampah.
Untuk pembiayaan lingkungan, BSS menerima pesanan yang berhubungan dengan lingkungan. Misalnya, ada nasabah yang membutuhkan tanaman hijau. BSS siap menalanginya tanpa ada bunga bank. BSS akan menyediakan dan menjual pesanan itu kepada nasabah.
Untuk pengembaliannya, kata Zamzami, nasabah cukup menyetor sampah sesuai dengan uang yang dipinjam. ”Kalau pinjam uang, nanti mengembalikannya dengan sampah karena kami ingin menghilangkan sampah,” jelas Zamzami.
Menurut Zamzami, BSS memang berbeda dengan bank sampah lain. Pasalnya, BSS mengaplikasikan sistem syariah. Misalnya, jika ada nasabah yang melakukan transaksi pembiayaan, BSS tidak menerapkan bunga. Melainkan, sistem bagi hasil. Sayangnya, program itu hanya bisa diikuti mahasiswa UINSA. Sebab, BSS belum berani menerima orang luar.
Untuk pengelolaannya, sampah-sampah tersebut didaur ulang menjadi kompos dan kerajinan. Setelah jadi, produk itu dijual kepada masyarakat. Kemudian labanya bisa menjadi bagi hasil untuk mahasiswa yang menabung di BSS.
Dalam menjalankan BSS, Zamzami dibantu empat temannya. Mereka adalah Pipit Rizki Kurniasari, Titin Humairoh, Diyah Purnama Sari, dan Singgih Robiul Fajar.
Mahasiswa jurusan ekonomi syariah semester 7 itu menargetkan bisa mendapatkan 1.600 nasabah dalam waktu dekat ini. Dalam jangka panjang, Zamzami bercita-bercita menjadikan UINSA sebagai eco-campus.
Untuk mewujudkan mimpinya itu, Zamzami berjanji pada dirinya sendiri tidak akan meninggalkan BSS jika UINSA belum bersih. ”Meskipun sudah lulus, saya tidak ingin meninggalkan BSS kalau UIN belum bersih,” tegasnya.
Salah seorang mahasiswa UINSA, Ahmad Rosul, mengungkapkan bahwa program BSS bisa menambah kreativitas mahasiswa. Program tersebut, kata Ahmad, menjadi solusi lingkungan kampus.
Ahmad juga menuturkan bahwa dirinya sangat mendukung program BSS dalam mewujudkan kampus yang bersih. Sebab, dengan adanya BSS, mahasiswa akan berupaya menabung sampah-sampah tersebut ke BSS.
”Ide BSS itu menurut saya ide brilian. Jadi, nggak ada alasan untuk tidak mendukung. Apalagi BSS hadir di lingkungan kampus yang memang punya masalah dengan lingkungan,” beber Ahmad saat diwawancarai kemarin (3/8).
Tak heran, Ahmad dan kawan-kawan rajin mengumpulkan sampah. Bagi dia, lebih baik menyetorkan sampah itu ke BSS. Sebab, sampah pun bisa menjadi uang. (*/c7/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Meja Pakai Bahasa Inggris, Meja Lain Mandarin
Redaktur : Tim Redaksi