jpnn.com - SABTU kemarin (2/8), wartawan dan redaktur senior Jawa Pos Rukin Firda, berpulang. Bukan hanya koran ini yang berduka. Para aktivis dan pegiat pendidikan di Surabaya pun turut berkabung dengan kepergian itu.
*****
BACA JUGA: Melihat Sembahyang Kubur Kedua di Singkawang
Suasana duka menyelimuti ruang jenazah RSU Siti Khadijah, Kecamatan Taman Sidoarjo kemarin siang. Di ruang itu, jenazah Rukin Firda disemayamkan. Beberapa saat sebelumnya, Rukin mengalami kecelakaan, dilanggar bus Sumber Selamat, yang baru saja keluar dari Terminal Bungurasih.
Di rumah sakit tersebut, Tri Yuniarie, istri Rukin, bersama tiga anaknya, Annisa Firdausi, Valiant Shan Firdaus, dan Mauludy Candra Firdaus, begitu terpukul. Ya, kepergian Rukin memang tiba-tiba. Jumat malam (1/8), Rukin masih melaksanakan tugasnya sebagai redaktur kompartemenSportainment Jawa Pos. Dia bahkan sempat menyalami satu per satu wartawan dan redaktur yang duduk di kursi masing-masing. Wajahnya segar sambil terus menebar senyum.
BACA JUGA: Satu Meja Pakai Bahasa Inggris, Meja Lain Mandarin
”Tak ada firasat apa pun. Papa hanya pamit mau berangkat halalbihalal di Unesa (almamater almarhum, Red),” kisah Annisa dengan air mata bercucuran.
Tak hanya keluarga yang kehilangan. Dunia jurnalistik juga kehilangan sosok bersahabat dan memiliki idealisme tinggi itu. Ya, Rukin bukanlah seorang jurnalis biasa. Dia dikenal sebagai salah satu wartawan yang caredengan dunia pendidikan.
BACA JUGA: Indonesian Card Artists, Pengembang Skill Unik Card Flourish
Dia kerap melakukan liputan tentang potret pendidikan di daerah terpencil dan terluar di penjuru negeri ini. Ketika menulis tentang pendidikan Rukin tidak hanya menorehkan isi pikiran dan pancainderanya. Dia juga menuangkan isi jiwanya sebagai seorang pendidik yang baik.
Alumnus Jurusan Bahasa Inggris IKIP Surabaya Angkatan 1985 itu juga dikenal para praktisi pendidikan. Beragam artikel seputar kondisi pendidikan di Indonesia lahir dari tangan telatennya. Mulai cerita tentang para guru di daerah-daerah terpencil di Maluku, hingga kisah para tenaga pendidik yang harus rela bercengkerama dengan suku-suku pedalaman.
Tak hanya itu, beragam karya tentang dunia edukasi ditelurkan sang jurnalis senior ini. Salah satunya adalah buku berjudul Ibu Guru, Saya Ingin Membaca yang dieditori Rukin.
Buku dengan warna latar merah dan putih dengan gambar seorang bocah SD tanpa alas kaki itu mengandung nilai optimisme dunia pendidikan di daerah terpencil dan terluar. Buku tersebut menceritakan sebuah pengalaman para guru muda alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang tergabung dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Saya benar-benar kagum dengan karya beliau. Di buku itu, kita serasa diajak menyusuri medan berat untuk tiba di lokasi para sarjana ini mengabdi,” kata Suryo Eko, salah seorang wartawan Jawa Pos.
Sejumlah jurnalis di Jawa Pos juga sangat kehilangan sosok Rukin. Maklum, tak hanya seorang redaktur, lelaki 48 tahun ini juga dikenal sebagai seorang ”guru” bagi para wartawan yang ada di bawah arahannya.
”Beliau sering mengajarkan pada saya bagaimana menjaga idealisme seorang jurnalis. Termasuk beliau juga sangat ngemong,” kata Aris Imam, wartawan kompartemen Metropolis Jawa Pos.
Wartawan ini sempat merasakan kerja sama dengan Rukin itu mengaku memiliki sejumlah kenangan yang tak terlupakan. ”Yang sangat ingat betul waktu beliau rela jauh-jauh dari Sidoarjo ke Gresik hanya untuk mengajak kami ngopi bareng sambil sharing,” katanya.
Bagi kru Sportainment, kompartemen terakhir tempat Rukin bekerja, almarhum dikenal sebagai sosok yang hangat. Meski senior, dia tidak segan membaur dengan juniornya. Kali terakhir menjalani rapat untuk perencanaan Piala Dunia 2014 di Pasuruan awal tahun lalu, Rukin bersedia menjadi wasit dalam permainan-permainan yang diselenggarakan setelah rapat.
Di tengah kesibukannya menyelesaikan pendidikan S-2 (lulus beberapa bulan lalu), dia juga tetap menjalankan tugas sebagai redaktur dengan baik. ”Saya hanya minta libur Sabtu, Nang. Soalnya hari Sabtu saya ada jadwal kuliah sore,” kata Rukin semasa hidup kepada rekannya di bagian olahraga, Nanang Prianto.
Duka mendalam juga dirasakan para sahabat Rukin Firda. Prof DrLuthfiyah Nurlaela MPd pun merasakan kehilangan yang teramat sangat. Dia mengibaratkan, saat ini, dia dan teman-temannya seperti burung yang kehilangan sayap. Lelah, lunglai akibat kesedihan. ”Pak Rukin itu orang yang sangat helpful, lurus, jujur. Bukan hanya saya yang merasakan itu, tapi juga teman-teman lainnya,” katanya.
Menurut dia, keterlibatan Rukin di kegiatan PPG (Pendidikan Profesi Guru) sangat berarti. Dia selalu dinanti. Saat diajak ke daerah pelosok pun dia tidak pernah menolak. ”Pak Rukin itu yang terbaik,” lanjut dia. Bapak tiga anak itu tidak pernah pilih-pilih ”pekerjaan” saat terlibat dalam berbagai kegiatan. Dari melakukan kerjaan kasar seperti tukang angkot hingga pekerjaan yang membutuhkan konsep dan pemikiran yang sulit serta kompleks pun dapat dilakukan.
Karena itu, setelah Rukin tiada, Luthfiyah dan teman-teman kebingungan mencari penggantinya. Banyak kegiatan di PPG yang dikerjakan. Bahkan, dia juga bersedia menulis buku hingga menjadi editor. Kerja total, all outyang menjadi ciri khas Rukin sulit ditemukan pada banyak orang.
”Jauh sekali dari pemikiran dia nanti kalau bekerja dapat apa, dapat seberapa besar. Kami sangat kehilangan. Belum temukan orang sebaik Pak Rukin,” tegas guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Di kelas literasi yang diampu Rukin, banyak mahasiswa yang dekat dengannya. Ada 30 hingga 35 mahasiswa yang menjadi peserta di kelas tersebut menganggap Rukin bukan sebagai pengajar saja. Lebih dari itu, dia juga bisa menjadi sosok orang tua. Sebab, dia tidak hanya mengajarkan tentang menulis. Rukin juga memberi contoh tentang kehidupan.
Rukin merasa senang berbagi ilmu pengetahuan. Bahkan, dia memiliki target agar para peserta PPG bisa menulis artikel populer yang dapat dimuat di media massa. ”Beliau tidak pernah mengeluh. Padahal, tidak dibayar sama sekali. Benar-benar tidak dibayar,” lanjut ujar Lutfiyah.
Luthfiyah mengaku, dirinya dan Rukin beserta istrinya, Tri Yuniarie, sudah seperti saudara. Saat mahasiswa mereka aktif di berbagai kegiatan. Bahkan, kemarin Luthfiyah dan Rukin memiliki jadwal bersama untuk menghadiri acara Halalbihalal di Mapala. Tapi, Luthfiyah yang tiba duluan di tepat acara tidak pernah bisa berjumpa dengan temannya Rukin Firda.
Dia mendapat kabar duka dari keluarga yang mengabarkan karibnya saat mahasiswa itu telah tiada. ”Antara percaya dan tidak saat tadi lihat pusaranya,” kata Luthfiyah.
Luthfiyah sendiri, memiliki kenangan yang tidak pernah hilang terhadap sosok Rukin sampai sekarang. Yakni, saat mereka terjun bersama ke Memberamo Raya. Untuk menuju ke tempat tersebut, mereka harus menempuh dengan perjalanan udara dari Papua. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan darat selama sepuluh jam dan naik speedboatdengan waktu tujuh jam.
Selama perjalanan tersebut, Rukin sangat perhatian pada rekan-rekannya. Mulai dari kesiapan untuk menempuh perjalanan, sudah makan atau belum hingga pemasangan pelampung yang tepat. Karena hal itu, Rukin terkenal dengan hal-hal kecil yang detail yang tidak terpikirkan orang lain.
Selamat jalan Rukin…(ris/may)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ludruk Tjap Toegoe Pahlawan setelah Minus Cak Lontong
Redaktur : Tim Redaksi