jpnn.com, JAKARTA - Para penderita obesitas sebaiknya berhati-hati, karena berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan.
Di antaranya gagal jantung dan mendengkur.
BACA JUGA: Benarkah Obesitas Menurunkan Gairah di Ranjang?
Menurut dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Niken Ageng Rizki, lingkar leher dari diameter jalan napas berpengaruh pada munculnya dengkuran.
Menurut staf Departemen THTKL Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan itu, lingkar leher antara lain dipengaruhi obesitas.
BACA JUGA: Obesitas Picu Gagal Jantung, Lebih Mematikan daripada Kanker
Kelebihan berat badan menyebabkan lebih banyak jaringan berkembang di tenggorokan yang dapat menyebabkan mendengkur.
"Obesitas yang berpengaruh pada lingkar leher dari diameter jalan napas," ucapnya.
BACA JUGA: Pernyataan Jaksa Agung Tegas Banget Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor, Begini
Dengkuran atau gangguan bernapas saat tidur terjadi karena ada sumbatan di jalan napas.
Suara parau yang muncul akibat getaran udara di langit-langit mulut atau tenggorokan.
Penyebabnya, henti napas atau apnea sehingga tubuh tidak menerima oksigen saat tidur akibat ada penutupan jalan napas. Menyebabkan getaran pada tenggorokan atau jalan napas.
Sumbatan di hidung, belakang hidung, tenggorokan karena amandel, langit-langit, iritasi asam lambung, pembengkakkan pita suara dan dasar lidah berkontribusi pada kondisi mendengkur.
Lebih lanjut, mendengkur termasuk gangguan saat tidur atau Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan angka kejadian meningkat di usia tua baik itu pada laki-laki maupun perempuan.
Selain dengkuran yang kerap tak disadari penderitanya, mereka yang mendengkur saat malam juga kerap tersedak, batuk-batuk, tidur tidak nyenyak, sering buang air kecil (BAK).
Kemudian, karena tidur malamnya tidak berkualitas, saat bangun di pagi mengalami sakit kepala, mengantuk, sulit berkonsentrasi dan kelelahan.
Pada anak, hiperaktif bisa menjadi gejala yang perlu diwaspadai orang tua.
Mereka perlu mendapatkan pemeriksaan pada jalan napasnya, untuk mengetahui pasti gejala OSA yang dapat menyebabkan konsentrasi anak berkurang.
Dengkuran yang muncul awalnya bisa sesekali.
Namun, karena sumbatan makin parah, misalnya akibat sumbatan hidung, alergi, peradangan pada rongga hidung tonsiln membesar, langit-langitnya turun, bisa mengakibatkan dengkuran yang menetap.
Bila begini, maka kondisi sudah masuk kategori ada penyempitan jalan napas yang berujung sleep apnea dengan kategori ringan, sedang dan berat.
Evaluasi masalah mendengkur dilakukan pertama kali dengan mencari tahu letak sumbatan apakah di hidung, tenggorok atau gangguan di asam lambung.
Biasanya dokter akan meminta pasien menjalani pemeriksaan antara lain THT, polisomnografi untuk melihat grafik bernapas, pergerakan otot, otak, kaki serta seluruh badan dan gejala lambung.
Bila penyebabnya sumbatan hidung, maka pengobatannya bisa dengan cuci hidung atau semprot hidung anti-radang.
Menurut Niken, paling sering awalnya sumbatan hidung dulu sehingga pasien bernapas melalui mulut.
Untuk tenggorokan, dokter harus memastikan ada tidaknya amandel yang membengkak, kemudian karena kebiasaan bernapas dari mulut langit-langitnya turun, kemungkinan juga harus dikoreksi.
Terkait obesitas, seperti dikutip dari WebMD dan Healthline, menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi bahkan menghilangkan dengkuran.
Mereka dengan obesitas perlu menerapkan diet sehat dan sering berolahraga.
Berkonsultasi dengan dokter tentang mengembangkan rencana diet dan olahraga.
Selain mengurangi dengkuran, menjaga berat badan yang sehat dapat membantu mengontrol hipertensi, meningkatkan profil lipid dan mengurangi risiko diabetes.
Risiko gagal jantung
Di sisi lain, mereka yang mengalami obesitas juga berisiko terkena gagal jantung.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Universitas Hasanuddin DR. dr. Antonia Anna Lukito mengatakan dari belasan persen penyandang obesitas di Indonesia, ada yang berhubungan dengan gagal jantung.
Menurut Antonia yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) itu, obesitas menyebabkan gangguan metabolisme gula, kolesterol, hipertensi, gangguan ginjal, mengorok atau mendengkur dan gagal jantung.
Lebih lanjut mengenai gagal jantung, yakni kondisi gangguan fungsi otot jantung yang berakibat sesak napas dan bengkak di tungkai atau perut.
Perut terasa sesak memungkinkan pasien tidak bisa makan lagi. Walaupun hanya makan sedikit perut sudah penuh karena berisi air.
Selain obesitas, penyebab gagal jantung juga meliputi otot jantung mengalami gangguan, kondisi jantung bawaan, gangguan irama terus menerus menyebabkan otot jantung lelah, serangan jantung, penyakit jantung katup bisa karena umur dan infeksi serta gaya hidup pasif.
Orang dengan gagal jantung tak lagi bisa tidur dalam posisi terlentang, tidak cukup hanya satu bantal melainkan ditopang dengan bantal tinggi atau bersandar pada meja.
Mereka juga cenderung tidur sambil tengkurap dengan berpenggangan pada meja. Selain itu, pasien pun mengeluhkan kaki bengkak, mudah capek disertai sesak dan berdebar-debar.
Pada posisi berdiri sehari-hari pasien umumnya tidak sesak, tetapi pada malam hari saat hendak tidur, cairan darah yang terkumpul di tungkai karena posisi berdiri begitu tidur menjadi sejajar sehingga darah segera menuju ke jantung dengan mudahnya.
"Itu bagi jantung yang sudah lemah bagaikan tsunami, pasien merasa sesak harus cepat-cepat duduk. Salah satu gejala yang mulai mengkhawatirkan, wajib konsul ke dokter," kata Antonia.
Mereka dengan kondisi gagal jantung umumnya mengalami sejumlah gejala.
Antara lain lemas, tak lagi bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa, misalnya semula sanggup naik tangga lantai 3 sekarang hanya 1 lantai saja.
Gejala lain, penumpukan cairan di paru sehingga pasien jadi batuk, susah napas padahal tidak ada riwayat sakit paru.
Selain itu muncul bengkak berupa penumpukan cairan di tungkai bawah mata kaki tungkai paha dan bahkan perut.
Walau begitu, sebagian besar orang tidak menyadari sudah mengalami gagal jantung karena gejalanya tidak selalu muncul.
Agar ini tak terjadi, deteksi dini salah satunya melalui USG jantung disarankan.
Selain itu, juga bisa menjalani pemeriksaan biomarker untuk menilai besar risiko, mendeteksi kerusakan otot jantung dan lemah jantung, mendapatkan diagnosis lebih akurat hingga membantu terapi jika memang gagal jantung terdiagnosis.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang