Awas! Sistem Pemilu Berbiaya Tinggi Picu Politik Uang, Berujung Korupsi

Kamis, 05 Januari 2023 – 07:29 WIB
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril mengingatkan soal pemilu berbiaya tinggi, bisa memicu politik uang dan korupsi. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril mengatakan sistem Pemilu 2024 proposional terbuka dan tertutup pernah diberlakukan di Indonesia.

Namun, saat ini muncul kembali perdebatan antara sistem tersebut.

BACA JUGA: Soal Sistem Pemilu, HNW: Mahkamah Konstitusi Harusnya Konsisten dengan Putusannya Sendiri

Sebagian kalangan menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup dengan nyoblos partai lebih simpel dan lebih murah, tetapi sebagian yang lain tetap menginginkan agar sistem proporsional terbuka diterapkan.

“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi, pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka,” ujar Dr. Oce, di Jakarta, Kamis (5/1).

BACA JUGA: Potensi Terjadinya Politik Uang di Daerah ini Sangat Tinggi

Dr. Oce mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut.

Dia mencontohkan pada sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap calon legislatif berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.

BACA JUGA: 2 Oknum Polisi Diduga Terlibat Politik Uang Pilkades Serentak Tangerang

Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics).

"Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran Caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut 1 kursi," ungkap Oce.

Biaya yang tinggi, lanjut Oceh, digunakan caleg untuk berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Para Caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan Caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.

“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang (money politics). Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” ujar pegiat anti-korupsi itu.

Menurutnya, pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.

"Rumusnya sederhana, karena biaya (modal) yang harus dikeluarkan Caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya," ungkapnya.

Dr. Oce mengatakan persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini. Dia menyebutkan saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.

Di sisi lain, sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik.

Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (nyoblos partai) kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas.

"Tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” pungkas Oce Madril.(mcr10/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler