Azan & Pengeras Suara

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 24 Februari 2022 – 11:40 WIB
Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat gebrakan lagi. Kali ini ia mengeluarkan surat edaran tata cara penggunaan pengeras untuk azan di masjid dan musala.

Aturan ini sebenarnya sederhana, tetapi menjadi sumber kontroversi yang luas dalam praktik beragama di Indonesia.

BACA JUGA: Subhanallah, Suami Tetap Azan Saat Istri dan Anaknya Tersambar Petir

Masyarakat menyebutnya toa atau loudspeaker, pengeras suara yang menjadi ciri khas masjid di Indonesia.

Ketua Dewan Masjid Indonesia M. Jusuf Kalla sudah cukup lama punya konsen terhadap penggunaan pengeras suara di masjid dan mengusulkan untuk dikeluarkan aturan.

BACA JUGA: HNW Berharap SE Menag Terkait Pengeras Suara di Masjid Direvisi

Pengeras suara menjadi salah satu indikator keberadaan masjid. Makin ramai pengeras suara akan kian terdengar makmur masjid itu. Bagi umumnya warga yang tinggal di perkampungan yang padat, suara azan dan bacaan Al-Qur'an dari masjid di pagi hari menjelang subuh adalah hal yang biasa.

Namun, bagi sebagian lainnya hal itu bisa menjadi gangguan dan dianggap sebagai polusi udara.

BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Menag Soal Pengaturan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid

Sudah menjadi pendengaran yang jamak di setiap waktu salat tiba akan terdengar kumandang azan bersahut-sahutan dari setiap pengeras suara di masjid. Dalam satu kampung bisa terdapat lebih dari satu masjid yang cukup berdekatan, jaraknya hanya puluhan meter.

Tradisi ini sudah berjalan lama, sejak sound system diperkenalkan di Indonesia pada 1970-an. Ketika itu tentu penduduk masih tidak sepadat sekarang. Pengurus masjid bisa mengoperasikan pengeras suara dengan leluasa.

Seiring dengan perubahan zaman kemudian penduduk makin padat. Wilayah kampung yang dahulunya hanya dihuni warga kampung sekarang dikepung oleh berbagai perumahan, mulai kelas rumah sederhana sampai ke kelas real estat mewah.

Warga kampung yang dahulu menjadi tuan rumah, sekarang berubah menjadi minoritas yang dikepung oleh berbagai kompleks perumahan. Perubahan sosial ini membawa perubahan kebiasaan.

Bunyi atau ucapan yang keluar dari pengeras suara yang dahulu hanya didengar oleh warga kampung, sekarang didengar oleh warga yang lebih banyak.

Kalau dulu warga kampung relatif homogen, saling kenal, dan menjadi semacam keluarga besar, sekarang berubah menjadi sangat heterogen dan lebih individualistis.

Pengeras suara di masjid tidak sekadar menjadi alat syiar azan atau pun pengajian, tetapi sudah menjadi alat komunikasi untuk mengumumkan berbagai persoalan warga, misalnya kalau ada warga yang meninggal dunia.

Itu menjadi tradisi masyarakat kampung yang menunjukkan kerekatan kekerabatan di antara mereka. Namun, setelah kampung itu terkepung oleh berbagai macam kompleks perumahan baru maka kampung itu menjadi terisolasi dan teraleniasi. Tradisi pengeras suara yang dulu dianggap sebagai hal yang biasa sekarang dianggap sebagai hiruk-pikuk yang mengganggu.

Dialektika perubahan struktur masyarakat ini menimbulkan berbagai ketegangan. Masyarakat tradisional yang merasa terancam oleh kedatangan orang-orang baru, kemudian menciptakan kelompok sendiri yang hidup di dalam sebuah enclave, wilayah tersendiri, dan menciptakan identitasnya sendiri.

Warga asli yang tinggal di dalam enclave yang terkepung itu mempertahankan eksistensinya dari ancaman penetrasi budaya luar. Sementara para pendatang juga mempertahankan privilege-nya sebagai kelas menengah baru yang hidup di balik rumah berpagar tinggi menjadi kelompok ‘’gated community’’ masyarakat berpagar.

Kelompok ini tinggal di permukiman tertutup dalam kelompok sosial yang homogen dengan ruang publik yang diprivatisasi dengan membatasi akses melalui penerapan perangkat keamanan.

Sebagai makhluk sosial, manusia punya kecenderungan hidup berkelompok dan saling bergantung satu sama lain. Kecenderungan itu mendorong manusia membentuk beragam jenis persekutuan dalam masyarakat, mereka adalah himpunan manusia yang hidup bersama, memiliki hubungan timbal balik yang saling memengaruhi, serta punya kesadaran untuk saling menolong dan membutuhkan satu sama lain.

Ahli sosiologi yang merumuskan kategorisasi kelompok sosial dalam masyarakat ialah sosiolog Jerman, Ferdinand Tonnies (1855-1936). Tonnies membedakan kelompok sosial berdasar sifat ikatan anggotanya menjadi gemeinschaft (paguyuban) dan gesselchaft (patembayan).

Kelompok patembayan disebut juga gesellschaft, istilah bahasa Jerman yang dirumuskan untuk merujuk pada makna asosiasi. Patembayan adalah kelompok sosial yang ikatan antara anggotanya tidak terlalu kuat karena hubungan dan interaksi mereka terjalin dalam waktu singkat.

Dalam patembayan, struktur kelompok bersifat mekanis dan berpengaruh dalam hal pikiran saja. Hal ini membuat hubungan antaranggota kelompok patembayan cenderung bersifat formal dan lebih memperhitungkan nilai guna dari interaksi dan komunikasi yang terjadi.

Masyarakat patembayan merupakan tipe kelompok sosial dengan ciri hubungan antaranggota yang didasari oleh ikatan lemah, bahkan sering kali antarindividu tidak saling mengenal.

Karena itu nilai, norma, dan sikap tak berpengaruh besar dalam interaksi mereka. Karena itu, dalam kelompok patembayan, hubungan antaranggota umumnya bersifat sementara.

Dorongan yang membuat manusia bergabung dalam kelompok patembayan berupa kemauan yang disebut Tonnies sebagai ‘’kurwille’’. Makna kurwille adalah kemauan yang didorong oleh pikiran rasional dan terkait dengan tujuan-tujuan tertentu.

Dengan demikian, orang bergabung dalam suatu kelompok patembayan karena memiliki kepentingan-kepentingan rasional, dan karena itu, tidak bersifat langgeng. Akibatnya, dalam kelompok patembayan, kepentingan individu lebih menonjol daripada kepentingan bersama.

Patembayan juga diidentikkan dengan ikatan kelompok sosial di masyarakat modern.

Hubungan antaranggota cenderung terkait pertukaran ekonomi dan bersifat sementara. Hubungan antaranggota tidak intim dan lebih bersifat formal. Ikatan antaranggota tidak bersifat pribadi dan motivasi anggota bergabung didorong kepentingan rasional.

Paguyuban disebut pula dengan gemeinschaft, yang merujuk ke makna komunitas. Gemeinschaft merupakan kelompok sosial yang anggotanya mempunyai ikatan batin murni, alamiah, sangat kuat, dan bisa bertahan lama.

Meski hubungan antaranggota paguyuban bersifat informal, mereka menjalani kehidupan bersama dengan intim, pribadi dan eksklusif. Gemeinschaft berkaitan dengan ‘’wessenwille’’, sebentuk kehendak manusia yang bersifat kodrati dan timbul secara alamiah.

Wessenwille berhubungan dengan perasaan dan pikiran manusia yang terbentuk oleh kesatuan hidup alamiah dan organis. Kelompok paguyuban merupakan bentuk ikatan antar-individu yang didasari oleh ikatan batin bersifat murni dan alamiah, serta cenderung langgeng.

Hubungan antar-anggota dalam kelompok paguyuban didasari oleh cinta dan perasaan batin yang telah dikodratkan.

Masyarakat paguyuban adalah ciri khas masyarakat tradisional di pedesaan, dan masyarakat patembayan adalah ciri khas masyarakat perkotaan. Dua-duanya mempunyai kepentingan dan identitasnya masing-masing.

Dua kelompok ini hidup di wilayah yang berbeda sehingga tidak saling berinteraksi.

Namun, perkembangan penduduk yang pesat dan kebutuhan lahan perumahan yang tinggi membuat dua kelompok masyakatat itu bertemu dalam satu titik. Dalam pertemuan itu kedua kelompok berusaha mempertahankan idenitas sosial dan budaya masing-masing. Pada titik inilah terjadi beberapa ketegangan.

Pengeras suara yang kencang di masjid menjadi semacam penegas identitas kelompok paguyuban yang ingin mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran perubahan sosial yang serbacepat. Sementara kelompok patembayan yang muncul sebagai pendatang, ingin mempertahankan privilege sosial dan ekonominya sebagai masyarakat eksklusif.

Pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid lebih banyak didasari oleh motivasi politik ketimbang motivasi sosial-keagamaan. Aturan ini akan menjadikan kelompok paguyuban tradisional makin terdesak dan merasa makin dikalahkan.

Alih-alih menyelesaikan masalah, pembatasan ini akan menimbulkan ketegangan baru. Aturan ini akan menjadi semacam demarkasi baru yang mempertegas segregasi sosial di antara kelompok-kelompok itu. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler