jpnn.com, JAKARTA - Masalah pertanahan di Indonesia begitu beragam.
Mulai dari tidak terkendalinya alih fungsi lahan, hingga harga tanah yang makin tinggi.
BACA JUGA: Bank Tanah Wujudkan Pengelolaan Tanah yang Modern di Masa Depan
Permasalahan tanah ini sering kali menghambat pembangunan.
Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berusaha hadir dari sisi penyediaan, yaitu berusaha menyediakan tanah untuk kepentingan yang lebih berkeadilan.
BACA JUGA: UU Cipta Kerja Kenalkan Konsep Bank Tanah, Bakal Ampuh Tekan Spekulan
Hal tersebut diungkap Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto pada Rapat Kerja Ke-2 The HUD Institute, Senin (28/6) via daring.
Dia menjelaskan masalah pertanahan dan kebutuhan akan tanah berdampak pada kesenjangan pembangunan.
BACA JUGA: Kementerian ATR/BPN Mempercepat Penyelesaian Pengadaan Tanah Tol Pekanbaru-Bangkinang
Beberapa masalah di antaranya yakni keterbatasan tanah untuk pembangunan, terjadi ketimpangan kepemilikan tanah sehingga harga tanah tidak terkendali dan terdapat banyak potensi tanah idle atau terlantar yang belum dioptimalkan.
“Di sini perlunya peran pemerintah untuk menguasai, mengendalikan, dan menyediakan tanah bagi kepentingan pembangunan dan pemerataan ekonomi,” tutur Himawan.
Berdasar amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), peran Badan Bank Tanah diperlukan dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.
Menurut Himawan, Badan Bank Tanah berada di bawah presiden dan melalui komite Bank Tanah yang terdiri dari menteri ATR/kepala BPN, menteri keuangan dan menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
“Melalui Badan Bank Tanah, pemerintah memiliki tanah cadangan strategis, mengontrol penguasaan tanah, dan menyediakan tanah untuk pembangunan,” tuturnya.
Meski begitu, Badan Bank Tanah termasuk ke dalam lembaga sui generis, yakni badan hukum Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU untuk melaksanakan sebagian kewenangan khusus untuk pengelolaan pertanahan secara independen dan fleksibel.
“Badan Bank Tanah tidak profit oriented seperti halnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara, red),” tambahnya.
Hal ini terjadi karena berdasarkan Pasal 2 Ayat 4 PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah disebutkan bahwa Kekayaan Bank Tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
Juga tercantum pada Pasal 4 PP Bank Tanah yang disebutkan bahwa Bank Tanah bersifat transparan, akuntabel dan nonprofit.
Nah, nonprofit di sini adalah pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaran Bank Tanah digunakan untuk pengembangan organisasi dan tidak membagikan keuntungan kepada organ Bank Tanah.
Nantinya, lanjut Himawan, ketersediaan tanah akan direncanakan untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan serta reforma agraria dan keadilan pertanahan.
Tanah yang diperoleh pun bermacam-macam, mulai dari tanah hasil penetapan pemerintah seperti tanah bekas hak, kawasan tanah telantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah dari pihak lain seperti pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD melalui pembelian, penerimaan hibah/sumbangan, tukar menukar, pelepasan hak dan bentuk lainnya yang sah.
Sebagai tambahan, dia mengatakan bahwa Badan Bank Tanah berdiri bukan sebagai pengguna tanah, namun penyedia tanah.
"Nantinya, tanah akan berstatus Hak Pengelolaan (HPL). "HPL itu hak menguasai dalam bentuk pengelolaan, bukan Hak Atas Tanah (HAT)," tutup Himawan Arief Sugoto. (*/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy