Tiongkok dan Taiwan jaraknya ribuan kilometer dari Ausralia. Namun, dampak konflik antara dua saudara itu dirasakan komunitas Tionghoa di Negeri Kanguru.
Dari rumahnya di Melbourne, Isabel Zhang mengamati meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan.
BACA JUGA: Australia Bakal Hukum Medsos yang Lindungi Netizen Tukang Fitnah
Selama tiga hari, Tiongkok mengirimkan sekitar 100 pesawat tempur jet ke wilayah pertahanan udara Taiwan.
Tiongkok melihat Taiwan sebagai bagian wilayahnya, sementara Taiwan menyatakan kedaulatannya sendiri.
BACA JUGA: Ratusan Anak Terpapar COVID-19 Setelah PTM, Apa yang Harus Diantisipasi Orang Tua dan Sekolah?
Semakin meningkatnya gerakan militer di kawasan dan pembicaraan yang mengarah ke perang membuat sebagian orang mulai khawatir.
"Semua orang akan cemas bila terjadi perang. Sebagai warga migran, kami khawatir dengan anggota keluarga kami di sana," kata Isabel.
BACA JUGA: Gejala Mirip COVID, Dakota ternyata Sakit Karena Vaping
Isabel memiliki hubungan kuat dengan komunitas Tiongkok dan Taiwan di Australia. Ia lahir di Tiongkok, pernah tinggal di Malaysia dan Singapura, kemudian menikah dengan suaminya asal Taiwan di Melbourne.
""Saya kira ini masalah politik dan kami tidak membawa masalah politik ke meja makan di rumah," katanya.
"Hal yang tidak kita inginkan adalah perang. Saya kira perang tidak akan bisa menyelesaikan perbedaan dan konflik politik dan sejarah ini."
Austin Tuon, presiden Asosiasi Persahabatan Taiwan Australia mengatakan komunitas warga Taiwan mengkhawatirkan "ancaman retorik" yang disampaikan pemerintah Tiongkok dan juga semakin meningkatnya peralatan militer negara tersebut.
"Banyak di antara kami masih memiliki akar yang kuat di Taiwan. Kami memiliki keluarga dekat, kakek nenek, kakak adik, paman dan tante yang tinggal di Taiwan," katanya.
"Meski adanya tindakan otoriter dari Partai Komunis Tiongkok, saya kira warga Tiongkok tidaklah menginginkan perang.
"Kita harus mengingat sejarah kemanusiaan bersama."
Isabel, seorang peneliti kebudayaan dan bisnis, mengatakan komunitas Tiongkok di Australia akan terkena dampak dari ketegangan tersebut.
"Sulit untuk tidak mempedulikan masalah ini, karena akar, budaya, sejarah kami saling terkait," katanya.
"Warga Tiongkok Australia berasal dari berbagai tempat berbeda seperti Tiongkok daratan, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Kami tidaklah menjadi bagian dari politik di sana.
"Kami adalah warga Tiongkok Australia, tanpa melihat dari mana kami berasal.' Apa yang terjadi Taiwan saat ini?
Selama beberapa bulan terakhir sudah muncul berbagai pernyataan dari Tiongkok dan Taiwan yang membuat suhu politik meningkat.
Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, mengatakan bila Tiongkok melancarkan perang terhadap Taiwan, maka Taiwan akan mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan.
Mereka juga meminta Australia untuk membantu dengan keamanan dan intelijen.
Di hari peringatan 100 tahun Partai Komunis Tiongkok, Presiden Xi Jinping berjanji "menyatukan kembali" dan akan menghancurkan "rencana kemerdekaan Taiwan".
Minggu ini Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menulis di Majalah Foreign Affairs jika negaranya terus memperkuat armada militer, namun "tidak berusaha mencari konfrontasi militer".
"Kami berharap adanya kehidupan bertetangga yang stabil, damai dan saling memberi manfaat dengan tetangganya. Namun bila demokrasi dan gaya hidupnya terancam, Taiwan akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan diri."
Di Australia, pakta pertahanan baru bersama Amerika Serikat dan Inggris, termasuk pembuatan kapal selam nuklir dilihat sebagai usaha untuk menandingi semakin kuatnya pengaruh Tiongkok.
Namun Dr Jade Guan, pakar masalah strategis di Deakin University di Melbourne mengatakan kemungkinan perang tidaklah perlu terlalu dibesar-besarkan, karena di masa lalu kemungkinan konflik malah lebih besar.
"Di masa Krisis Selat Taiwan ketiga antara 1995-1996, Tiongkok meluncurkan sejumlah rudal ke beberapa pulau kecil di sekitar Taiwan," katanya.
"Ketegangan yang ada sekarang antara Tiongkok dan Taiwan tidaklah serius seperti sebelumnya." Mempertahankan situasi yang ada
Lina Chen pindah dari Taipei ke Sydney hampir 50 tahun lalu dan mengatakan Taiwan, yang memiliki nama resmi Republic of Tiongkok, pada dasarnya adalah negara berdaulat.
"Partai Komunis tidak pernah menguasai kami. Sekarang mereka bersikap provokatif," katanya.
"Warga di Taiwan khawatir pada akhirnya Tiongkok akan mengambil alih Taiwan."
Dia mengatakan masalah geopolitis ini sudah merembet ke komunitas lokal, di mana dia mendapat desakan untuk mengisi petisi mendorong agar Australia mengakui Taiwan sebagai sebuah negara.
"Akan bagus sekali bila Taiwan bisa menjadi negara independen, seperti Singapura," kata Chen.
"Tapi bagus juga dalam situasi seperti sekarang ini sehingga warga Taiwan dan Tiongkok daratan bisa menjadi teman." Bisa meningkatkan rasisme di Australia
Erin Wen Ai Chew, dari Asian Australian Alliance mengatakan meningkatnya ketegangan mengenai Taiwan bisa semakin meningkatkan serangan rasisme terhadap warga Tiongkok di Australia yang sudah memburuk karena pandemi COVID-19 dan perang dagang antara Tiongkok-Australia.
"Dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak pernyataan anti-Tiongkok yang muncul, khususnya di Australia," katanya.
Erin mengatakan pembicaraan mengenai kemungkinan adanya perang akan memperburuk masalah rasisme.
Kurangnya pemahaman soal Asia membuat mereka yang berwajah Asia dikelompokkan menjadi satu kelompok di Australia.
"Hanya karena kami mungkin berwajah Tiongkok, kami harus menunjukkan kesetiaan kepada Australia, bila tidak akan dianggap sebagai musuh," katanya.
Masalah lain menurutnya adalah mereka yang dikenal sebagai "pakar masalah Tiongkok" yang memberikan komentar adalah kebanyakan pria berkulit putih, berusia menengah, yang sebenarnya tidak memahami nuansa dan budaya yang ada.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melepas Kondom Tanpa Izin di Tengah Pertandingan Jadi Tindakan Kriminal