jpnn.com - Bukan sekali dua kali upaya pemerintahan termasuk sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti korupsi ikut serta dalam penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Upaya inspektorat di masing-masing kementerian/lembaga (K/L) berhenti di tangan menteri selaku pimpinan K/L satu dan lain hal dianggap dapat memalukan K/L-nya dan menimbulkan keresahan yang berdampak luas, antara lain jika pimpinan K/L terlapor menjatuhkan sanksi kepada jajarannya.
BACA JUGA: Mau Tahu Menu Makan Siang Presiden Jokowi Hari Ini? Nyam
Peristiwa baru-baru ini di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan saat ini dipastikan menimbulkan keresahan yang memengaruhi gairah kerja dan terjadi pengkambinghitaman (scape-goat theory) atau saling tunjuk hidung.
UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam praktik mandul karena berbagai sebab.
BACA JUGA: 1.043 Sertifikat Tanah Dibagikan kepada Warga Blora, Ganjar Berpesan Begini
Utamanya karena pegawai pajak dan bea cukai tidak disiplin dan tidak takut lagi melanggar perintah undang-undang, termasuk terhadap satuan pengawas internal atau inspektorat yang ditugaskan untuk mengawasi.
Begitu pula BPK atau BPKP, dalam praktiknya sudah banyak kasus suap melibatkan petugas BPK/BPKP dan kontrol LSM yang merupakan representasi masyarakat luas, telah terkontaminsasi oleh perbuatan tercela.
BACA JUGA: Tangkapan Besar, Bea Cukai Sidoarjo Sita Banyak Rokok Ilegal Selama Februari-Maret
Utamanya di daerah kota dan kabupaten di mana setiap tahun anggaran daerah baru, selalu diganggu oleh LSM tertentu dengan imbalan hasil temuannya tidak dibuka ke publik atau dilaporkan ke APH.
Saat ini masyarkat dikagetkan oleh laporan Kepala PPATK yang memojokkan kemenkeu, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Di mana peredaran 'uang haram' termasuk pencucian uang sangat fantastis, seperti dikemukakan oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
Yaitu senilai Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan, lembaga negara pengelola APBN, satu-satunya yang setiap tahun anggaran mengelola ratusan ribu triliun rupiah dana pembangunan.
Jika kalkulasi Sumitro Djoyohadikusumo, bahwa dana APBN bocor sebesar 30-35 persen, maka selama periode tujuh kali masa pemerintahan dapat dipastikan -ceterus paribus- kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak akan dapat dipulihkan dalam tempo 5 sampai 10 tahun yang akan datang.
Kesempatan emas untuk mempercepat pemulihan keuangan negara atau perekonomian negara yang diharapkan dari Pemerintahan Joko Widodo tidak dapat dicapai.
Penyebabnya bersifat multi-kompleks, antara lain masalah internal masing-masig kementerian/lembaga, termasuk institusi penegakan hukum yang terlambat di menej secara efisien dan efektif serta kontra produktif.
Keadaan tersebut belum lagi diperparah oleh keterlibatan aktor-aktor oknum anggota partai poltiik yang telah menyimpang jauh dari cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bebas dan bersih dari KKN.
Berangkat dari uraian di atas adalah sikap munafik dan penghianatan jika menampakkan wajah seolah mematuhi perintah undang-undang, padahal tampak di belakang dipenuhi kecurangan dan sikap serakah (greedy) perilaku korup.
Sejak 75 tahun yang lalu, kira-kira di tahun 1960-an, kita dan pemerintah berjuang keras melawan korupsi melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
Namun, seketika terhenti oleh perbuatan kolusi dan nepotisme yang nyata-nyata telah mengerogoti tatanan yang bersih dan bebas korupsi.
Sekali pun telah dinormakan dalam UU KKN 1999 sebagai tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 milliar, tetapi sejak diberlakukan UU KKN pada 19 Mei 1999 sampai kini, APH tidak pernah menuntut tindak pidana kolusi atau nepotisme dalam perkara terkait tindak pidana korupsi.
Di dalam setiap mega skandal korupsi dipastikan terdapat kolusi dan nepotisme, yaitu melibatkan keluarga, kerabat dan pejabat negara lainnya atau pihak swasta.
Angin segar harapan pemulihan aset tindak pidana khusus korupsi ditandai oleh sikap poliitik pemerintah, di mana Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan jajarannya untuk segera mengesahkan pembahasan Rancangan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA).
Pembahasannya kini telah masuk dalam prolegnas prioritas Tahun Anggaran 2023.
Selain menunggu pengesahan RUU PA, pemerintah perlu mempertimbangkan penguatan hukum acara pemberantasan korupsi baru.
Yakni, dengan menggunakan pendekatan perampasan atas harta kekayaan pelaku -in rem forfeiture- lebih diutamakan, dibanding dengan perampasan aset tindak pidana -in personam forfeiture- yang khusus ditujukan terhadap pelakunya beserta harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana dan mengutamakan penghukuman.
Keistimewaan (RUU) Perampasan Aset Tindak pidana antara lain, prosedur beracara lebih sederhana, karena digunakan acara keperdataan dilengkapi beban pembuktian terbalik.
Di mana tersangka yang diduga memiliki harta kekayaan dari tindak pidana diwajibkan untuk membuktikan asal usul kekayaan yang sah yang diperolehnya, di hadapan sidang pengadilan.
Kegagalan tersangka membuktikannya maka aset yang diduga berasal dari tindak pidana dirampas atau perintah pengadilan.
Selain hal tersebut fungsi dan peranan JAMDATUN, bukan JAMPIDSUS, sangat mewakili Jaksa Agung di hadapan sidang pengadilan.
Pengelolaan harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah dirampas berada di tangan Jaksa Agung.
Masalah pelik dalam hal perampasan aset tindak pidana adalah hak asasi pihak ketiga yang berkepentingan dengan harta kekayaan yang telah dirampas kejaksaan dan akan dilelang melalui Direktorat Jenderal Keuangan Kemenkeu, di mana pihak ketiga diberikan hak untuk mengajukan keberatan.
Perlidungan hak pihak ketiga atas harta kekayaan yang telah disita menjadi krusial jika sistem peradilan tidak memberikan secara maksimal yang akan berujung muncul dugaan pelanggaran HAM.
Di dalam sistem peradilan atas perkara perampasan aset tindak pidana perlu dipahami APH prinsip keterbukaan (transparansi), akuntabilitas dan pada akhirnya prinsip integritas APH dalam pengelolaan harta/aset tindak pidana tersebut.
Melengkapi uraian ini, sejalan dengan rencana pemerintah dan DPR RI, seyogyanya pemerintah mempersiapkan petunjuk mekanisme administrasi prosedur beracara perampasan aset dan pengelolaannya pasca-putusan pengadilan.
Putusan pengadilan dimaksud hanya diperkenakan untuk mengajukan perlawanan melalu kasasi saja dan tidak lagi diajukan PK (peninjauan kembali).
Di antara perubahan yang bersifat strategis selain pengesahan RUU Perampasan Aset adalah perubahan signifikan dan komprehensif atas UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mengeimbangi keunggulan-keunggulan UU Perampasan Aset Tindak Pidana. (*/JPNN)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Langkah Strategis Bea Cukai dalam Mengoptimalkan Pelayanan dan Pengawasan
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang