Bahaya Politisasi Hukum Dalam Penyelenggaraan Negara Demokrasi

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH – Anggota Komisi III DPR RI

Selasa, 10 September 2024 – 11:39 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Prinsip ini sering kali menjadi kata kunci dan utama atau menjadi bagian pendahuluan dalam berbagai karya tulis dan opini dari para ahli dan sarjana hukum.

BACA JUGA: Presidium Pusat ISKA Soroti Dinamika Politik Menjelang Pilkada 2024, Pakai Frasa Krisis Demokrasi

Hal ini menjadi sebuah keniscayaan mengingat sering kali perlu diingatkan kembali bahwa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945 menganut prinsip negara hukum bukan negara kekuasaan (machtstaat).

Prinsip ini selalu ditegaskan oleh para ahli hukum sebagai landasan utama dalam menjalankan prinsip demokrasi, penyelenggaraan negara, dan berjalannya sistem hukum.

BACA JUGA: Kader PDIP Lampung Serukan Tumbangkan Oligarki di Negara Demokrasi

Namun, sering kali dalam praktiknya, prinsip ini seperti bias atau sirna karena dalam menjalankan kekuasaannya, cabang-cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif bersama dengan seluruh instrumennya, bertindak melampaui apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip demokrasi. Artinya kedaulatan di tangan rakyat.

BACA JUGA: Imparsial Minta DPR Setop Pembahasan Sejumlah RUU yang Membegal Konstitusi & Mengancam Demokrasi Ini

Hal ini berarti bahwa Indonesia yang merupakan negara hukum juga menganut prinsip-prinsip dalam demokrasi.

Prinsip ini merupakan pengejewantahan dari Pancasila. Negara demokrasi ini kemudian mengandung banyak ciri atau prinsip seperti kedaulatan di tangan rakyat, penyelenggaraan sistem perwakilan (pemilihan umum) yang jujur, adil, bebas, dan bersih, jaminan Hak Asasi Manusia, penyelenggaraaan pemerintahan berdasarkan hukum, toleransi pluralisme atau berkebinekaan serta persamaan di muka hukum (equality before the law).

Maka sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut mengatur bahwa “segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Aturan ini menegaskan supremasi hukum dalam penyelenggaraaan kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengandung prinsip atau asas hukum yang telah diakui secara universal dalam suatu negara hukum, yakni kesamaan di muka hukum (equality before the law), keadilan sosial, kepastian hukum, dan pemerintahan yang berdasarkan pada aturan atau hukum, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip dalam negara demokrasi.

Prinsip pembagian kekuasaan menjadi salah satu implementasinya dimana kekuasaan dibatasi oleh undang-undang dan dilakukan berdasarkan sistem check and balance dalam suatu format ketentuan.

Akan tetapi apa yang terjadi belakangan ini dalam kontestasi politik tentu mengusik beberapa pihak termasuk saya sehingga memilih untuk menuliskan pendapat saya mengenai bagaimana implementasi sistem penegakan hukum dan koridor aturannya (law and enforcement).

Hal netralitas aparatur sipil negara dan institusi, terutama aparat penegak hukum masih menjadi persoalan.

Tudingan sebagian pihak dalam Pemilu, baik di Pemilu yang telah berlangsung di masa lalu, maupun yang baru saja terjadi di 2024 lalu yang mengisyaratkan keraguan terhadap netralitas aparat (TNI-Polri) dan sistem penegakan hukum, tampaknya masih belum berakhir.

Intervensi atau bahasa di lapangan “cawe-cawe” ini masih bergulir di masyarakat.

Setelah selesai dengan Pemilu 2024, kini kembali bergulir dalam hal Pilkada serentak 2024.

Setelah rakyat kembali dipusingkan dengan RUU Pilkada kemarin, rakyat kembali dikejutkan dengan penahanan terhadap calon kepala daerah, dalam hal ini Bupati Batubara di wilayah Sumatera Utara.

Hal ini menjadi sorotan tajam karena pemeriksaan kasus korupsi yang menyeret nama calon Bupati Batubara dilakukan oleh Polda Sumatera Utara di tengah bergulirnya tahapan Pilkada.

Alhasil banyak pihak kemudian justru mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah ini bentuk politisasi hukum atau intervensi oleh kekuasaan menggunakan proses hukum?

Mengapa dilakukan justru pada saat masih dalam tahapan Pilkada?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan keniscayaan karena calon merupakan kader dari partai politik yang masih belum satu suara dengan “kekuasaan terpilih”.

Hal ini bukan semata sebuah tuduhan, namun memang terjadi di momen dimana seharusnya rakyat dapat memilih dengan bebas terhadap calon pemimpinnya.

Apa yang dilakukan Polda Sumut tersebut memang merupakan diskresi yang menjadi implementasi dari aturan dalam sistem penegakan hukum.

Namun, sebagaimana prinsip negara hukum, diskresi tersebut tentu harus dilakukan sesuai dengan aturan dan terlebih mengedepankan kebijaksanaan, keadilan, kemanfaatan, dan persamaan di muka hukum. Isu Politisasi Hukum mengemuka kembali.

Adapun aturan terkait dengan netralitas aparat penegak hukum ini sesungguhnya telah ada.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, dan UU Pilkada sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020.

Demikian pula aturan ini kemudian juga telah diatur selanjutnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2407/X/HUK 7.1/2023 tertanggal 20 Oktober 2023 tentang Komitmen Polri untuk bersikap Netral, maupun Instruksi Jaksa Agung (InsJA) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024.

Aturan tersebut mengatur bahwa seluruh aparatur sipil negara, termasuk aparat penegak hukum wajib bebas dari pengaruh dan intervensi politik.

Aparat dilarang memberi dukungan kepada calon Kepala Daerah tertentu, baik secara langsung maupun melalui keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.

Aturan ini kemudian ditegaskan kembali oleh Presiden dalam pernyataaanya pada hari bhayangkara ke-78 pada 1 Juli 2024 yang mengingatkan Polri untuk menjaga netralitasnya pada Pilkada 2024 disamping tidak tebang pilih dan mengedepankan Profesionalisme.

Selanjutnya, dalam Surat Telegram pada 20 Oktober 2023 tersebut, Kapolri menegaskan bahwa untuk menjaga kondusifitas keamanan dan netralitas aparat penegak hukum. Aturan ini dibuat bukan tanpa sebab.

Keputusan atau kebijakan tersebut dilakukan untuk menjawab keraguan sebagian masyarakat terhadap netralitas Polri

Alhasil, dalam penerapannya hal ini memang kemudian diterapkan dalam beberapa perkara.

Penerapan penundaan ini pernah diterapkan oleh Polda Jateng dalam kasus penganiayaan oleh eks-Ketua parpol Gerindra di Semarang terhadap kader PDIP yang dihentikan sementara.

Demikian pula dilakukan oleh Kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Gakumdu.

Kebijakan ini merupakan jalan untuk menjamin netralitas dan independensi sistem penegakan hukum.

Akan tetapi, tidak demikian dalam proses hukum yang dialami calon Bupati Batubara H. Zahir, dalam masa tahapan Pilkada Serentak 2024 ini.

Proses ini justru “melanggar komitmen Polri dalam menjaga netralitas dan independensi aparat penegak hukum” sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau Instruksi Kapolri.

Hal ini karena tindakannya telah merugikan calon dan menguntungkan calon lainnya.

Selain itu, tindakan ini tidak mencerminkan prinsip kesamaan di muka hukum, karena dilakukan terhadap calon yang boleh dianggap berseberangan dengan kepentingan kekuasaan.

Apa yang dilakukan oleh Polda Sumut tersebut mencerminkan ketidaknetralan dan boleh dikatakan pembangkangan terhadap aturan yang telah menjadi komitmen Kapolri untuk netral atau tidak ikut berperan serta dalam Pilkada 2024 dalam bentuk apapun.

Oleh sebab itu, sebaiknya dengan bijaksana Polda Sumut seharusnya dapat bersikap adil, profesional, dan seimbang dalam melakukan proses hukum terhadap calon Bupati Batu Bara tersebut.

Apa yang telah diterapkan oleh Polda Jateng seharusnya menjadi contoh atau benchmark netralitas Polri dalam penyelenggaraan kontestasi politik.

Persamaan di muka hukum sebagaimana diatur dalam Konstitusi seharusnya dapat diterapkan.

Hal ini semata untuk menjaga keadilan dan kemanfaatan dan menjamin stabilitas keamanan dan ketertiban.

Apa yang dilakukan oleh Polda Sumut tersebut bisa jadi memicu berbagai polemik dan perpecahan yang sebenarnya kita hindari mengacu pada pengalaman-pengalaman yang telah terjadi.

Langkah-langkah hukum tentu akan dilakukan dan tentunya memicu kembali perdebatan di masyarakat.

Ujungnya, komitmen Kapolri dipertanyakan dalam hal netralitas dan profesionalitas. Hal in akan menambah buruk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum atau sistem peradilan pidana terpadu masih diragukan.

Upaya-upaya hukum berdasarkan prinsip restoratif yang disuarakan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan hanya akan menjadi slogan belaka, karena kekuasaan atau diskresi masih berada di atas undang-undang.

Preseden buruk akan terjadi di kala kepentingan sebagian orang yang ingin “mengambil muka” terhadap kekuasaan kemudian melupakan aturan dan komitmen bersama.

Kita belum lupa dengan sejarah dalam penyelenggaraan Pemilu yang pernah dilakukan sejak Indonesia merdeka.

Bahkan dalam beberapa periode kepemimpinan, Pemilu dirasa oleh sebagian pihak masih belum mencerminkan prinsip-prinsip negara demokrasi atau dengan kata lain dilakukan tidak dengan jujur, adil, dan bersih.

Pada zaman orde baru, sistem penyelenggaraan Pemilu maupun Hukum masih diragukan independensi dan netralitasnya.

Hal ini juga berpengaruh pada kualitas sistem kepemimpinan dan perwakilan yang duduk di dalam kekuasaan.

Kita mengetahui bersama dan bahkan beberapa dari masyarakat yang hidup saat ini masih ingat dengan bagaimana orde baru dijalankan. Terlepas dari pembangunan nasional yang telah dicapai, penyelenggaraan negara demokrasi sangatlah terasa gelap dan tertutup.

Kekuasaan menjadi simbol dimana-mana. Para penguasan seolah melenggang mudah dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri. Oleh sebab itu, rakyat kemudian merasa “tidak tahan” dan bergerak untuk reformasi.

Bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia dapat berjalan dan legacy dari para pendahulu kita mengingatkan bahwa kekuasaan merupakan hal wajar namun bukan bersifat mutlak atau absolut.

Kebijaksanaan, etika, dan moral masih menjadi hal terdepan sebagai falsafah dan prinsip hidup bangsa Indonesia.

Penting dalam hal ini saya menegaskan dalam tulisan ini bahwa manusia pada hakikatnya tidak sempurna, sehingga ketika melakukan tindakan atau mengambil keputusan, terkadang keluar dari jalur atau aturannya.

Maka dari itu kita tidak berprasangka kepada siapapun melainkan perlu untuk mengedepankan kebijaksanaan dalam mengambil sebuah keputusan atau dalam berbagai tingkah laka laku kita di masyarakat.

Namun, perlu ditekankan dalam hal ini bahwa diskresi yang diberikan oleh undang-undang tidak serta merta membuat seorang pejabat atau penyelenggara negara bebas dan merdeka seluas-luasnya.

Hal ini masih perlu disesuaikan dengan aturan dan keadilan sosial di masyarakat.

Idealnya, penegakan hukum harus menjunjung tinggi persamaan di muka hukum, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Penegakan hukum tidak boleh dijadikan alat bagi kekuasaan untuk menjalankan kekuasaannya dan menimbulkan kekacauan hukum apalagi berdampak buruk pada keamanan dan ketertiban masyarakat.

Penegakan hukum tidak boleh dipolitisasi. Penyelenggaraan demokrasi di Indonesia tidak boleh dinodai oleh pelampauan kekuasaan dan sistem penegakan hukum yang berat sebelah.

Demokrasi harus berjalan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan mampu menghasilkan sistem kepemimpinan atau kekuasaan yang berintegritas dan berkualitas sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia.

Semoga harapan ini dapat terwujud sesuai dengan cita-cia kita bersama.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler