jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan konvensi ketatanegaraan bukanlah hal baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Dia menyebut maklumat Wakil Presiden Moh Hatta Nomor X, 16 Oktober 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Pusat (KNP) sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, itu merupakan salah satu terobosan konvensi ketatanegaraan.
BACA JUGA: Bamsoet Heran Masih Ada yang Ragukan PPHN sebagai Panduan Pembangunan Nasional
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengungkapkan MPR menerima usulan dari berbagai kalangan untuk menghadirkan kembali utusan golongan dalam keanggotaan sebelum amandemen keempat konstitusi pada 2002 lalu.
Adapun usulan tersebut antara lain datang dari PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu.
BACA JUGA: Fadel Muhammad Dicopot dari Posisi Wakil Ketua MPR, Ketua Pansus BLBI DPD RI Merespons
Ketiga perwakilan tersebut dapat merefleksikan kehendak demokrasi secara komprehensif, yakni demokrasi yang bersifat partisipatoris.
Karena pada hakikatnya prinsip demokrasi yang terkandung dalam konstitusi Indonesia dijiwai oleh sila keempat pancasila, yaitu 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'.
BACA JUGA: Hadiri Peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR RI, Menpora Singgung Kesepakatan Para Pendiri Bangsa
"Kami tidak mengenal diktator mayoritas, kelompok mayoritas cenderung mengabaikan dan mencederai hak-hak kelompok minoritas. Kami juga tidak mengenal tirani minoritas, kelompok minoritas meskipun jumlahnya sedikit, namun memiliki posisi yang kuat mengabaikan kepentingan mayoritas," ujar Bamsoet dalam podcast bersama Aliansi Kebangsaan di Jakarta, Senin (29/8).
Ketua DPR RI ke-20 itu menjelaskan, amandemen konstitusi di masa lalu selain menghilangkan Utusan Golongan juga Haluan Negara.
Akibatnya, fungsi GBHN digantikan dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 - 2025.
Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan.
"Misalnya, kecenderungan eksekutif sentris dan adanya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan, PPHN sebagai sebuah Haluan Negara harus mempunyai legal standing yang kuat, tetapi sekaligus tidak kaku.
Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR, yang secara hirarki berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang.
Untuk memberikan hak konstitusional dan mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN, maka idealnya diperlukan amandemen terbatas.
Namun, mengingat dinamika politik, saat ini sulit untuk direalisasikan, sehingga bisa diupayakan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) adalah melalui Konvensi Ketatanegaraan.
"Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila itu menambahkan, sebagai langkah awal September, MPR akan menggelar Sidang Paripurna untuk membentuk Panitia Ad Hoc MPR yang komposisinya terdiri dari unsur Pimpinan MPR serta keterwakilan Fraksi dan Kelompok DPD secara proporsional.
Pembentukan alat kelengkapan MPR itu dimaksudkan untuk menindaklanjuti kajian substansi dan bentuk hukum PPHN, yang diselesaikan oleh Badan Pengkajian MPR.
"Gagasan ini didasari oleh niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah," pungkas Bamsoet. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang Tahunan MPR, Megawati dan 4 Eks Wapres RI Tampak Hadir, SBY Absen
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian