Bamsoet: Tudingan Amendemen UUD 1945 untuk Presiden Tiga Periode Sangat Prematur

Senin, 13 September 2021 – 22:59 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, BALI - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memandang wacana perpanjangan periodesasi jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan wacana yang prematur.

Menurut Bamsoet, dari segi politik juga jabatan presiden tiga periode sulit terjadi, mengingat partai politik sudah bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.

BACA JUGA: Bamsoet: Vaksinasi Ideologi Bangsa Penangkal Bahaya Infiltrasi Ideologi Asing

"Di internal MPR RI sendiri, dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan MPR, tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodesasi presiden menjadi tiga periode," kata Bamsoet dalam Webinar yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, secara virtual dari Bali, Senin (13/9).

Bamsoet menegaskan, rencana MPR melakukan amendemen terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

BACA JUGA: Bamsoet Minta Segera Evaluasi Sarana Prasarana Lapas di Daerah

"Bukan yang lain," tegasnya.

Turut hadir dalam webinar tersebut, seperti Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Ketua Fraksi Demokrat MPR RI Benny Harman, Ketua LHKP PP Muhammadiyah Yono Reksoprodjo, dan Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini.

BACA JUGA: Bamsoet: Vaksinasi Empat Pilar MPR Perkuat Imun Ideologi Bangsa

Selain itu juga hadir Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro, dan Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jakarta Iwan Satriawan.

Bamsoet menjelaskan, di Indonesia, aturan mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur secara tegas pada pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut. Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun," jelas Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, untuk melakukan perubahan konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar.

Mengingat persyaratannya sangat berat, sebagaimana tertuang dalam pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945.

Di ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 dari 711 jumlah anggota MPR).

Di ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (474 dari 711 anggota MPR).

"Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Artinya, satu partai saja tidak setuju dengan rencana amandemen, maka amendemen tidak bisa dilakukan," terang Bamsoet.

Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, jika merujuk referensi global, memang ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan presiden lebih dari dua kali.

Sejarah Amerika mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden AS selama 4 kali dalam periode kepresidenan 1933-1945 ketika krisis akibat Perang Dunia II.

Namun pasca-amendemen konstitusi tahun 1951, Presiden AS kemudian dibatasi masa jabatannya selama 2 periode.

"Hingga saat ini, masih ada beberapa negara yang mengadopsi pemberlakuan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode. Antara lain misalnya Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok," terang Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan, sejarah mencatat Indonesia pernah melakukan penundaan Pemilu dan juga pernah melakukan percepatan Pemilu.

Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 membuat Pemilu yang seharusnya dilakukan pada Januari 1946 ditunda ke tahun 1955, mengingat ketidaksiapan dan masih adanya ancaman dalam mempertahankan kemerdekaan.

"Sedangkan percepatan Pemilu pernah dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR RI pada 10-13 November 1998 yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie, mengharuskan Pemilu dipercepat dari jadwal sebelumnya pada tahun 2002 menjadi diselenggarakan pada tahun 1999," tutur Bamsoet.

Ketua MPR RI ini menuturkan, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia adalah buah dari reformasi, agar selalu ada penyegaran dalam setiap periodesasi pemerintahan.

Untuk menjamin adanya kesinambungan, agar tidak setiap berganti pemerintahan berganti pula haluannya, maka kehadiran PPHN merupakan keniscyaan. (mkr/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bamsoet Apresiasi Universitas Trilogi Angkat Tema Pancasila dan Kebhinekaan


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler