Bamsoet: Vaksinasi Empat Pilar MPR Perkuat Imun Ideologi Bangsa

Senin, 06 September 2021 – 19:07 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan tumbuhnya radikalisme di dalam negeri bisa dipicu karena dinamika yang terjadi di lingkungan global.

Salah satu yang menjadi perhatian berbagai negara di dunia saat ini adalah keberhasilan Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan.

BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi Universitas Trilogi Angkat Tema Pancasila dan Kebhinekaan

Bamsoet menyampaikan, meski Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani menyebut belum ada informasi soal keterkaitan Taliban di Afghanistan dengan jaringan teroris di Indonesia, ada kekhawatiran dari berbagai pihak kondisi itu mempengaruhi kondusifitas politik di tanah air.

Menurut pejabat Kemlu tersebut, jaringan-jaringan teroris di Indonesia biasanya punya hubungan dengan Al-Qaeda ataupun ISIS.

BACA JUGA: Bamsoet: Universitas Terbuka Pionir Inovasi Pendidikan Jarak Jauh

Menurutnya, Taliban tidak identik dengan dua kelompok teroris internasional itu.

"Tapi tidak ada salahnya mengedepankan sikap kewaspadaan. Namun juga penting untuk kita ingat bersama, bahwa alat pertahanan terbaik dalam menangkal radikalisme bukanlah semata mengandalkan tindakan represif, melainkan dengan penguatan benteng ideologi," kata Bamsoet, Senin (6/9).

BACA JUGA: Bamsoet Jawab Hoaks Amendemen UUD 1945 Lewat Buku Negara Butuh Haluan

Bamsoet menyampaikan itu dalam 'Webinar Vaksinasi Ideologi' yang diselenggarakan Lembaga Pemilih Indonesia dan Forum Intelektual Muda, di Jakarta.

Turut hadir Deputi Komunikasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto, ahli politik dari Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens, ahli keamanan dan hubungan internasional Kusnanto Anggoro, pengamat terorisme Milda Istiqamah, dan Co Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna.

Bamsoet menjelaskan, bangsa Indonesia tidak boleh mengabaikan fakta faham radikalisme tidak semata-mata terpapar dan terdistribusi melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara langsung, atau melalui pendekatan dan metodologi konvensional lainnya.

Perkembangan teknologi informasi memungkinkan paparan faham radikalisme dapat dijangkau dan diakses hanya dalam batas sentuhan jari di layar smartphone.

"Inilah yang memungkinkan, misalnya, remaja wanita di Inggris atau Australia, dapat dengan mudahnya bergabung dengan ISIS di Irak," papar Bamsoet.

Era disrupsi yang menghantarkan fenomena 'the internet of things', lanjut Bamsoet, menjadikan ancaman paparan radikalisme terasa begitu dekat karena jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dan kendala.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengingatkan, di tengah kerja keras mengatasi pandemi Covid-19, semua pihak tidak boleh melupakan bahwa dampak pandemi yang telah menggerus kehidupan sosial ekonomi sedemikian dalam, menempatkan bangsa Indonesia pada posisi rawan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,54 juta atau meningkat 1,12 juta dari Maret 2020.

Dengan pandemi Covid-19 yang masih membayangi, angka ini masih mungkin berpotensi naik. Mengingat angka pengangguran hingga tahun 2021 diprediksi mencapai 12,7 juta.

"Tekanan dan beban kehidupan yang dirasakan semakin sulit dan berat, terutama di saat pandemi saat ini, berpotensi mendorong tumbuh suburnya radikalisme sebagai solusi instan dan pelarian dari berbagai himpitan persoalan," kata Bamsoet lagi.

Di samping itu, lanjutnya, fakta sosiologis bangsa ini ditakdirkan dengan tingkat heterogenitas yang tinggi dan berada dalam posisi rentan dari ancaman potensi konflik.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, berdasarkan Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tercatat sepanjang tahun 2020, terjadi penurunan angka penyebaran paham radikalisme secara signifikan.

Pada 2017 berada di kisaran 50 persen, turun menjadi 14 persen lebih pada tahun lalu.

Namun dari aspek 'kualitas' atau tingkat 'kenekatan', manifestasi dari paham radikalisme justru lebih mengkhawatirkan. Misalnya ditandai dengan adanya aksi bom bunuh diri yang melibatkan, atau mengorbankan, wanita dan anak-anak.

"Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 mengindikasikan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain," terang Bamsoet.

Pada 2019, penelitian kualitatif SETARA Institute di 10 kampus perguruan tinggi negeri menemukan terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam negara Pancasila.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, dari survei Wahid Institute tahun 2020, diketahui sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat dari 46 persen menjadi 54 persen.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mensinyalir ASN yang pro radikalisme, atau bersikap anti-Pancasila jumlahnya lebih dari 10 persen.

Bahkan TNI dan POLRI juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme, karena tidak kurang dari 4 persen anggota terindikasi terpapar dengan paham radikalisme.

"Karenanya, MPR RI gencar melaksanakan vaksinasi ideologi berupa Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ke berbagai kalangan masyarakat guna memperkuat imun ideologi setiap anak bangsa dalam menghadapi berbagai gempuran ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia," tegasnya. (mar1/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... MPR di Usianya ke-76 Tahun, Bamsoet: Selalu di Tengah Rakyat


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler